Selasa, 10 Maret 2015


K.G.P.A.A. MANGKUNAGARA I
Pasang Surut Dinasti Mataram
Penulis                                                  : R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo
                                                                : Rangga Suryo Joedoprawiro
                                                                : R. Kurniawan Prawiraningrat
Editor                                                     : Sulung Prabuwono
Layout & Cover                                   :  Irawan Joedoprawiro
CETAKAN PERTAMA – JANUARI 2012
Diterbitkan pertama kali : JANUARI 2012
Diterbitkan oleh : SANGGAR KEBUDAYAAN  GARDA MANGKUNAGARAN
Dilarang mengkopi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................   ii
PRAKATA.............................................................................................................   iii
PENGANTAR .......................................................................................................   vi
PASANG SURUT DINASTI DAN PEREBUTAN KEKUASAAN DI MATARAM
Oleh: R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo......................................................... ..1
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... .4
BELANDA MEREBUT KEKUASAN DAN PEMBAGIAN KERAJAAN MATARAM
Oleh: R. Kurniawan Prawiraningrat........................................................................ ..6
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... .9
MEMBANGUN STABILITAS MATARAM
Oleh: R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo.........................................................  10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... .16
MATARAM DALAM NEGARA MODEREN
R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo................................................................... .17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... .20
KEBUDAYAAN MATARAM DALAM NEGARA INDONESIA
Oleh: R. Kurniawan Prawiraningrat........................................................................ .21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 22
KERAJAAN MATARAM
Oleh : Rangga Suryo Joedoprawiro....................................................................... .23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 29
K.G.P.A.A. MANGKUNEGARA II
Oleh : Rangga Suryo Joedoprawiro....................................................................... .31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 37
PRAKATA
K.G.P.A.A. Mangkunagara I adalah bapak pendiri dinasti Mangkunagaran. Reputasinya dalam peperangan dan kesenian telah dibuktikan dan diakui sebagai warisan yang membanggakan. Nama julukannya adalah Pangeran Sambernyawa, sebuah julukan yang membuat situasi penuh dengan aroma seram tetapi sekaligus juga aroma kewibawaan.
Terlahir dengan nama R.M. Said, putra dari R.M. Suro yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunagara Kartasura, Putra Mahkota Kerajaan Mataram yang beribukota Kartasura. Sejak usia remaja telah terlibat dalam aktivitas konflik dan perang sehingga bertahun-tahun menjadi Pangeran yang selalu hidup dari hutan satu ke hutan yang lain memenuhi panggilan tugas sejarahnya.
R.M. Said mendirikan Mangkunagaran sebagai pusat kekuasaan ketiga setelah Kasunanan dan Kasultanan. Mangkunagaran didirikannya sebagai buah dari suatu perjuangan yang panjang selama lebih kurang 16 tahun. Jawa sebagai sentral kekuasaan dan politik dipaksa untuk mengakui keberadaannya sebagai kekuatan yang diperhitungkan.
Pembagian Kerajaan Mataram 1755 belum juga mengakhiri peperangan sehingga tercipta kedamaian di Jawa secara permanen. Perjanjian 1757 di salatiga meskipun merubah keadaan Jawa untuk tidak lagi tercabik-cabik oleh konflik bersenjata tetap saja tidak mampu menghapus peta kekuatan yang secara defacto bermain dalam pergolakan dan suksesi di Mataram.
Sharing power yang semula dimainkan dengan kekuatan senjata berlanjut dalam cara lain yang kemudian membentuk suatu kekhasan dari masing-masing pusat kekuasaan. Mangkunagaran yang sadar akan tugas kesejarahannya memainkan peran sebagai perwakilan Jawa yang tidak pernah surut. Mangkunagaran menolak dilucuti kekuatan bersenjatanya yang telah dibangun sejak kehidupan dari hutan ke hutan. Mangkunagaran menjadi satu-satunya kekuatan Jawa yang tetap mempertahankan kehadiran keprajuritan dengan segala kebolehannya dalam medan perang.
R.M. Said adalah sosok tokoh yang menghadirkan kembali figure kekuatan Jawa. Dengan Tri Darma nya R.M. Said mengajak kepada segenap lapisan masyarakat kerajaan, bahwa urusan negara bukan hanya milik sekelompok  golongan saja melainkan siapa saja yang masih merasa memiliki keberadaan Mataram hendaklah secara bersama-sama turut serta memikirkan dan memperjuangkannya.
Mangkunegaran adalah satu dari 3 kraton yang mewarnai  peta perpolitikan di Jawa. Semula dalam perjanjian Salatiga 1757, Mangkunegaran itu merupakan suatu kraton otonom namun penguasanya diwajibkan oleh Kasunanan Surakarta untuk wajib hadir dalam setiap persidangan kerajaan yang dihadiri oleh Sunan.
Masih dalam pejanjian itu, Penguasa Mangkunegaran oleh penguasa Kasunanan tidak diijinkan untuk memiliki “dampar” atau kursi  seperti layaknya seorang penguasa/raja. LARANGAN YANG SEKALIGUS JUGA RESTU. Disebut sebagai larangan karena secara real perjanjian tidak diperbolehkan duduk di dampar/kursi  penguasa/raja. Disebut sebagai restu dari  Sunan dan Sultan (Penguasa Mataram di Surakarta dan di Yogyakarta) karena larangan memiliki dampar sama saja ungkapan dari; Silahkan berdiri (Mangadeg). Tafsir bebasnya  adalah; Panjenengan (R.M. Said) mboten dipun parengaken lenggah wonten dampar, Panjenengan Mangadeg kemawon.
Suatu larangan yang disponsori oleh tiga kekuatan di Jawa pada waktu itu, oleh Mas Said di implementasikan dalam menata kekuasaan yang diperolehnya dan memainkan peran politiknya secara aktif dan kreatif.
Sehabis perang Jawa, wilayah dua kraton lainnya menyusut tetapi wilayah Mangkunegaran sebaliknya bertambah dan secara proporsional  luas wilayahnya berimbang dengan dua kraton yang wilayahnya  menyusut . Pada masa pemerintahan Mangkunegara VI, oleh penguasa yang keenam ini Mangkunegaran dilepaskan ikatannya dengan Kasunanan sehingga kewajiban menghadiri persidangan tidak lagi dijalaninya. Penggantinya yakni Mangkunegara VII semakin menegaskan lagi kemandirian Mangkunegaran bahwa Mangkunegaran bukan bawahan dari Kasunanan.
Penegasan yang dipelopori oleh Mangkunegara VII itu dengan bergulirnya waktu telah banyak yang melupakan. Mangkunegaran sejak berdirinya itu telah menanamkan dan membuat sejarah. Mangkunegaran bukan pengekor pembuatan sejarah melainkan telah mengukir sejarah dan kebudayaan.
Yogyakarta,   Januari 2012
Sulung Prabuwono
Editor
PENGANTAR
Mengawali penerbitan informasi tentang Mangkunagaran, buku yang berisi tentang K.G.P.A.A. Mangkunagara I ini merupakan suatu rintisan untuk selanjutnya kami mencoba menampilkan informasi tentang para Mangkunagara yang lainnya. Selanjutnya informasi ini mudah-mudahan dapat memberikan pengetahuan yang selama ini masih berisi sebatas kisah-kisah sepenggal tanpa ada penjelasan yang memadai terutama untuk kalangan masyarakat pada umumnya.
Rintisan penerbitan ini juga merupakan partisipasi dari Generasi Muda Mangkunagaran untuk memberikan informasi yang memiliki guna dan manfaat terutama bagi para wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara tentang Kraton Mangkunagaran. Kami dari generasi Muda menerjunkan diri untuk memberi perhatian dan sumbangsih bagi pengembangan kebudayaan Mangkunegaran, karena kami perduli dan ikut memiliki.
Akhirnya tidak ada gading yang tidak retak, kami berusaha sempurna dalam penerbitan informasi ini, namun kami juga menyadari bahwa dalam penerbitan ini masih jauh dari sempurna yang diharapkan secara universal. Oleh sebab itu kami tidak menutup kemungkinan bahwa penyempurnaan dalam penerbitan berikutnya adalah menjadi pilihan utama.
Jakarta, Januari 2012
R. M. ANDRE ADRIANO SOERJOKOESOEMO
Ketua Umum GARDA MANGKUNAGARAN


PASANG SURUT DINASTI
 DAN
PEREBUTAN KEKUASAAN
DI MATARAM
Oleh: R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo
Pasang surut dinasti Mataram adalah benang merah yang mencermati gejolak antar waris tahta terutama pada perebutan tahta III yang pada akhirnya melahirkan dinasti dinasti yang baru sebagai kelanjutan dari dinasti Mataram. Tampilnya dinasti baru sebagai kelanjutan dengan para cikal bakal mencatatkan sejarah tersendiri sebagai suatu strategi bangsa Indonesia di wilayah jawa menghadapi hegemoni kekuasaan Belanda sekaligus benteng budaya dengan corak dasar sama (Jawa) tetapi mengembangkan dengan gaya/style berbeda.
Menelusur perebutan kekuasaan di Mataram menjadi sangat unik ketika dua kubu yang semula bermusuhan dan berhadapan di kemudian hari bergandeng tangan dengan segala romantisme waktu.Antara kekuasaan dan kebudayaan yang didalamnya memuat unsur unsur religi dalam kekausaan Mataram disatukan dan penguasa tampil sebagai personifikasi yang diagungkan dan dijunjung tinggi.
1. Sultan Agung
Sultan Agung tampil sebagai penguasa Mataram menggantikan adiknya RM.Martapura yang hanya sebentar duduk di kursi tahta Mataram.Selanjutnya tampil RM.Rangsang menempati tempat yang ditinggalkan oleh adiknya.Ceritera babad mengisahkan dengan begitu romantismenya dan menutup kesan telah terjadi penggeseran tampuk kekuasaan. RM. Martapura menjadi raja Mataram bukan sekadar basa basi karena pesan raja sebelumnya adalah hukum yang tidak boleh dilanggar.
2. Sunan Amral dan Pangeran Puger
Pemberontakan Trunajaya yang kemudian menguras harta benda dan penduduk Mataram telah menimbulkan konflik antar kakak dan adik yaitu Sunan Amral dan Pangeran Puger.Konflik antara kakak dan adik menghasilkan dua penguasa Mataram sebagai raja dengan dua keraton.Sunan Amral tampil sebagai penguasa Mataram di Kartasura sedang pangeran Puger tampil sebagai penguasa Mataram di Keraton Plered. Antara Sunan Amral dengan Pangeran Puger kemudian dicapai kata sepakat dan Pangeran Puger mengakhiri Mataram yang di Plered sebagai raja.Mataram berhasil disatukan dengan Sunan Amral sebagai Raja Mataram.
3. Sunan Mas Dengan Pangeran Puger
Sunan Amral digantikan oleh putra mahkota yang tampil sebagai Sunan Mas menggantikan ayahnya sebagai penguasa.Konflik pada masa ini terjadi antara Pangeran Puger dan Sunan Mas.Pangeran Puger dengan bantuan militer Belanda menyerbu keraton dan berhasil mengusir Sunan mas dari kursi kekuasaan. Pangeran Puger kemudian berkuasa dngan gelar Sunan Pakubuwono I.
4. Pangeran Arya Mangkunegara Dengan Pangeran Balitar
Pola perebutan kekuasaan terulang kembali selewat Pakubuwono I. Putra Mahkota Mangkunegara yang menjadi penguasa menggantikan ayahnya tidak mempergunakan gelar Pakubuwono melainkan gelar pendahulu ayahnya dan untuk dirinya Pangeran Mangkunegara setelah menjadi raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat IV.
Dalam konflik antara Pangeran Mangkunegara dengan Pangeran Balitar, Belanda sekali lagi berpihak yang diramalkan memiliki peluang untuk menang yaitu Mangkunegara.
5. Sunan Pakubuwono II dengan Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura
Semula Sunan Amangkurat IV menyiapkan putera sulungnya menjadi putra mahkota menggantikan dirinya.RM. Suro sebagai putera tertua Sunan diwisuda sebagai sebagai putra mahkota dengan gelar yang sama seperti Amangkurat IV yaitu gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.
Sepeninggal Sunan, kedudukan putra mahkota bergeser dari Mangkunegara kepada adiknya Pangeran Adipati Anom yang kemudian setelah menjadi raja bergelar Sunan Pakubuwono II.Meski tergeser dari kedudukan calon raja, Pangeran Mangkunegara tetap menjalankan tugas tugasnya di Mataram tetapi keberadaan sang pangeran menjadikan sang adik tidak begitu nyaman dalam menjalankan pemerintahannya.Alhasil Pangeran Mangkunegara kartasura dibuang ke Ceylon.
6. Pakubuwono II Dengan Amangkurat V
Pakubuwono II tidak pernah sepi dari tantangan dan setelah mendepak kakaknya, Pakubuwono II yang peragu ini digulingkan dari kursi kasunanan oleh pemberontakan yang didukung oleh orang Cina dan Jawa yang dikenal sebagai geger pacina. Pemberontakan yang berhasil ini kemudian mengangkat cucu Sunan Mas sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat V.
Pakubuwono II yang terusir dari singgasana kerajaan mencari bantuan Belanda dan Pangeran Cakraningrat dari Madura untuk mengusir para agresor yang berhasil.Satuan gabungan Belanda-Mataram-Madura berhasil mendepak Amangkurat V dari singgasana dan terus melakukan pengejaran dan penangkapan. Penangkapan Sunan berakhir dengan keputusan pembuangan Amangkurat V ke Ceylon.
7. Pakubuwono II Dengan Raden Mas Said
Keberhasilan penangkapan Amangkurat V oleh satuan Belanda-Mataram-Madura tidak diikuti dengan keberhasilan menangkap panglima perang Amangkurat V yaitu Pangeran Prangwadana, yang tidak lain adalah Raden Mas Said putera Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura.
Mas Said yang tidak tertangkap memperkuat barisan di Sukowati sampai kemudian ada sayembara perang penumpasan pemberontakan.Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwono II menyanggupi maju dalam sayembara dan pasukan pemberontak dapat terusir dari Sukowati tanpa penangkapan Mas Said. Tidak tertangkapnya Mas Said oleh Pangeran Mangkubumi menjadi kecurigaan yang berujung pada bergabungnya sang pangeran kepada pemberontak.
Sekembalinya Pakubuwono II dari tempat pengungsian, Sunan memindahkan keraton dari Kartsura ke desa Sala dan membangun keraton yang baru. Sala adalah tempat atau ibukota Kraton Mataram sedangkan Giyanti, Salatiga dan Magelang adalah tempat yang menyisakan catatan catatan sejarah Mataram. Perhelatan kekuasaan Mataram meninggalkan jejak jejak nya di tempat tempat termaksud; Solo, Giyanti (Sragen), Salatiga dan Magelang.
DAFTAR PUSTAKA
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipedia ; http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
BELANDA MEREBUT KEKUASAN
DAN
 PEMBAGIAAN
KERAJAAN MATARAM
Oleh:  R. Kurniawan Prawiraningrat
Melalui usulan dan perjanjian yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwono II akhirnya Belanda mendapatkan kewenangan dan kendali kekuasaan atas Kerajaan Mataram. Belanda mendapatkan itu semua dari Sunan yang sedang terbaring dalam ranjangnya pada saat saat yang terakhir. Dengan Kewenangan itu Belanda mplic izin dan mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III.
Kemenangan Belanda merebut Mataram bukan berarti tanpa perlawanan. Penentangan terhadap otoritas dan kehadirannya di Mataram mengundang persekutuan baru yang melancarkan agresi penyerangan kepada Belanda. Persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said menentang pengangkatan itu tak bisa dihindari dan defacto Mataram terpecah kedalam dua kekuatan yang saling berhadapan. Sebagai Sunan tandingan Mas Said menjadikan mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa tandingan di Mataram sedangkan dirinya menempatkan diri sebagai patih dan panglima perang.
Persekutuan yang merupakan kekuatan besar yang mplic saja mencapai kemenangan akhir secara tiba tiba pecah menjadi dua kelompok mengikuti pemimpinnya; Mas Said dan Mangkubumi. Perpecahan persekutuan ini juga membawa akibat terbelahnya Mataram kedalam beberapa Dinasti atau Wangsa.
Perpecahan yang membawa pada pembelahan kerajaan Mataram di Jawa bukan pengetahuan baru lagi karena dari zaman sebelumnya pembelahan pembelahan terjadi untuk siasat yang menunggu waktu yang pada saatnya pula yang tepat disatukan kembali dengan tenggelamnya yang lain dan muncul satu kekuatan yang eksistensial. Perpecahan Mataram juga bisa dimengerti sebagai suatu cara untuk menyelamatkan “suatu species” yang terancam punah dengan membentuk suatu habitat yang baru.
Perpecahan yang membelah Mataram membawa konsekuensi di rumus ulang kembali konsep konsep kekuasaan di Jawa dalam kekuasaan mplic kerajaan.
Perundingan I Pembagian Mataram
Perundingan di Giyanti sering disebut sebagai Perjanjian Giyanti yang merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan dan juga membentuk suatu persahabatan baru. Perjanjian yang ditanda tangani 13 Februari 1755 ini merupakan ekor dari perpecahan Mangkubumi dengan Mas Said. Perjanjian Giyanti ini merupakan persekutuan baru dari yang bermusuhan menjadi persahabatan untuk melenyapkan musuh bersama Mas Said. Seain itu perjanjian ini juga merupakan Proklamasi’ dari Mangkubumi terhadap perpecahan yang dihadapi dengan menantunya Mas Said. Siratan dari Perjanjian Giyanti ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mangkubumi tanpa persekutuan dengan Mas Said berhasil menjadi Raja meskipun hanya menjadi Raja di separuh wilayah Mataram.
2. Mangkubumi membutuhkan Belanda untuk bisa menjadi Raja sekaligus dukungan dan bantuan untuk melenyapkan pesaing utamanya Mas Said.
3. Mangkubumi bersedia mengalah kepada Belanda tetapi kepada Mas Said adalah sebaliknya.
4. Mangkubumi memberikan keyakinan kepada Mas Said bahwa tanpa persekutuan dengannya Mas Saidtidak bisa mencapai kemenangan akhir mengusir Belanda dari Mataram.
5. Mangkubumi kepada Mas Said menantu secara mplicit dengan Perjanjian Giyanti menyampaikan maksud bahwa dirinya mampu mencapai level legitimasi kerajaan sebagai Sultan meskipun terikat perjanjian dengan Belanda.
6. Dengan Perjanjian Giyanti Mangkubumi melegitimasi diri sebagai penguasa kerajaan yang secara sah memiliki kewajiban menumpas pemberontak atau kekuatan kekuatan yang menentang Kerajaan.
Perundingan II Pembagian Mataram
Seperti hal nya di Giyanti, Perundingan di Salatiga sering disebut sebagai perjanjan Salatiga yang juga merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan sekaligus jembatan untuk naik dalam struktur politik Jawa. Perjanjian yang ditanda tangani 17 Maret 1757 ini memberikan siratan yang mplic serupa dengan ‘Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga memberikan suatu yang tersirat dari Mas Said yang menyampaikan pesan sebagai berikut;
1. Mas Said menghidupkan kembali kartu mati Paku Buwono III dalam neraca permainan politik di Jawa. Paku Buwono III menjadi berfungsi kembali dalam percaturan politik.
2. Mas Said tanpa Belanda dan Mangkubumi berhasil menjadi Raja Muda dengan mendapatkan wilayah kekuasaan yang diambil dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
3. Mas Said memberikan keyakinan kepada mertuanya Mangkubumi bahwa tanpa persekutuan dengan mertuanya dirinya masih membuktikan keunggulan dengan menggulung kekuatan gabungan sampai menewaskan Van Der Poll dan ancaman pembakaran Kraton Mangkubumi. Van der Poll adalah pahlawan perang Madura dan komandan utama pasukan gabungan.
4. Mas Said dengan merangkul Paku Buwono III kepada mertuanya Mangkubumi menyampaikan suatu kritik secara tersirat bahwa pecahnya Mataram menjadi dua bagian bukan keinginannya melainkan keinginan Mangkubumi. Belanda sampai kapan pun tidak akan mengizinkan Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang tunggal. Pembagian Mataram selain izin Belanda juga kesepakatan Mangkubumi.
5. Mas Said kepada mertuanya Mangkubumi secara mplicit memberikan khabar bahwa terancamnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun merupakan pesan bahwa Mas Said menantunya tidak layak dimusuhi karena taruhannya adalah robohnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun.
6. Dengan Perjanjian Salatiga Mas Said melenyapkan stigma pemberontak bagi dirinya dan masuk dalam kancah struktur percaturan politik Jawa secara sah sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipedia ; http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
MEMBANGUN
STABILITAS MATARAM
Oleh : R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo
Riwayat Mataram akhirnya sampai pada perundingan di Magelang yang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan. Dalam perjalanan waktu sampai pada perundingan di Magelang disini dapat ditelusur lintasan dari pasang surutnya wangsa atau dinasti Mataram dalam mempertahankan keberadaannya. Berakhirnya Perang Jawa ini menandai terselenggaranya suatu kawasan yang stabil di Mataram dengan penyederhanaan wilayah masing masing dinasti.
1. Dinasti Baru
Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.
Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.
2. Persaingan Dan Rivalitas Dinasti
Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai zaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.
Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur. Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.
3. Tiga Serangkai Dinasti Pendahulu
Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa. Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.
Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan. Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.
Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja. Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.
Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.
4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus
Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.
Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.
Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.
Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffles ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;
a. KaSunanan Surakarta
1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.
2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh
3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.
b. KaSultanan Yogyakarta
1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri. Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.Dalam masa nya 'Serat Surya Raja' berhasil diselesaikan.
2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.
3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles. Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.
c. Mangkunegaran
1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran
2). Mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.
3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.
5. Dinasti Yang Penuh Konflik
Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari berbagai kalangan terpelajar baik dalam negeri maupun luar. Riwayat Mataram adalah riwayat mati dan hidupnya Negara Jawa dalam ketradisionalannya. Pada masa Mataram ini konsep nasionalisme belum muncul tetapi rakyat sudah diajari untuk memetakan bahwa tidak adanya persatuan dalam menghadapi lawan bersama adalah kelemahan.
Negara Kerajaan Mataram pada hakikatnya adalah monarki absolut yang kurang dapat mengimplementasikan keabsolutannya kedalam pemerintahan yang kuat. Ilmu pemerintahan dan ideologi pada masa Mataramitu belum ada dan untuk menerangkan kepada masyarakat tentang kehidupan bernegara maka sarana yang dipergunakan adalah elemen elemen kebudayaan, agama, seni pertunjukan wayang dan mitos mitos sebagai penguat legitimasi.
Ketika Belanda menjadi unsur stabilisator yang menjadikan Mataram stabil, tak kurang disini ditemui beberapa hal yang menjadikan cermatan bahwa para personil Belanda di Jawa adalah para bandit yang berkedok dermawan kepada penguasa Mataram. Peristiwa klasik yang dapat dilihat adalah peristiwa pemahkotaan Amangkurat II yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Mataram. Kapten Tack, seorang perwira Belanda, mendapat kehormatan untuk menyematkan Mahkota Mataram ke Amangkurat II. Mahkota yang dipakai raja baru ini sudah hilang berliannya di Mahkota karena di ambil oleh Kapten Tack.
Para petualang yang tergabung dalam korps militer Belanda memang sudah ditengarai membawa penyakit ketidak beresannya dalam kapasitas sebagai pegawai di dinas kemiliteran VOC-Belanda. Stabilitas dan ketenteraman di Jawa bagi sebagian orang Belanda yang dinas di militer sangat tidak menguntungkan posisinya karena peran dan penghasilan mereka sebagai pegawai menjadi berkurang (Soekanto, Dr.,1952). Tambahan penghasilan dan karier dalam dinas menjadi berarti ketika tenaga dan keberadaan mereka dibutuhkan dan ini hanya terjadi jika konflik yang berujung perang terbuka terjadi.
Dinasti Mataram sepanjang sejarahnya adalah dinasti penuh dengan konflik antar keluarga yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Yogyakarta sebagai pecahan dari Mataram tidak terkecuali pula dalam hal ini. Kekerabatan di Kasultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti meningkat dengan pesat. Peningkatan ini disebabkan tingkat kelahiran di kalangan bangsawan Yogyakarta lebih tinggi dibanding dua kerabat Kraton yang lain (Lihat: Ricklefs, MC.,2002).
Meningkatnya jumlah keturunan di Yogyakarta tidak diimbangi dengan kekompakan di antara para pewaris yang mengakibatkan terjadinya banyak kesedihan pada diri Sultan (Soekanto, Dr.,1952). Konflik yang bermula di antara para pewaris Yogyakarta ini lantas sedikit banyak mengundang pihak luar untuk terseret dan campur tangan.
Konflik yang semakin panas dan tegang sudah dapat ditengarai tradisi Mataram yang lama bakal muncul kembali. Tradisi yang menyelesaikan permasalahan dengan kekuatan bersenjata adalah cara klasik yang kembali dipergunakan untuk mengakhiri suatu konflik sampai seorang yang menang mengungguli dan mengatasi yang lain.
Tahun 1825-1830 di Jawa pecah perang yang kemudian diselesaikan di Magelang. Sehabis perang yang telah memakan korban dan harta benda yang relatif besar wilayah kerajaan di jawa mengalami penyempitan dan Belanda mengontrol secara ketat sampai datangnya Jepang yang menghapus keberadaan Belanda di Nusantara ini. Asia untuk Asia. Itulah yargon dan semboyan yang diekspos pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipedia ; http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
MATARAM
DALAM
NEGARA MODEREN
Oleh: R. M. Andre Adriano Soerjokoesoemo
Lahirnya negara moderen Republik Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 di jawa Tengah segara disambut serta didukung penuh oleh keempat Dinasti wangsa Mataram di Surakarta dan di Yogyakarta. Pada tanggal 1 September 1945 Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengeluarkan Maklumat yang isinya bahwa Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa dan kepala daerah istimewa yaitu Sunan dan Adipati bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Demikian juga sehubungan dengan hal ini di Yogyakarta pada tanggal 5 September 1945 Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman juga mengeluarkan Maklumat yang isinya kurang lebih sama yaitu Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman merupakan wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kepala daerah istimewa bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dalam persoalan daerah istimewa antara Surakarta dengan Yogyakarta ditemukan beberapa perbedaan;
1. Di Surakarta Kasunanan dan Mangkunegaran masing masing berdiri sebagai daerah istimewa karena hal ini mengacu pada fakta sejarah keduanya yang di zaman pendudukan Jepang pemerintahan mengakui masing masing sebagai daerah istimewa yang dikenal dengan sebutan koochi dan kepala daerah istimewa disebut sebagai koo.Dari zaman Jepang ini kemudian dikenal adanya Surakarta Koochi dengan pembesar daerah istimewa nya adalah Surakarta koo yaitu Sunan, sedang yang satunya lagi adalah Mangkunegaran koochi dengan pembesar daerah istimewa nya adalah Mangkunegara koo.
2. Di Yogyakarta Kasultanan dan Paku Alaman secara bersama sama menggabungkan wilayahnya kedalam daerah istimewa Yogyakarta dengan Sultan sebagai pembesar daerah istimewa sedang Paku Alam sebagai wakil pembesar daerah istimewa.
3. Kelanjutan daerah istimewa di Surakarta dan Mangkunegaran kemudian mengalami hambatan karena mendapat penentangan dari kelompok yang tidak menginginkan keberadaan swapraja sehingga Kasunanan dan Mangkunegaran untuk menyelamatkan dari pertikaian disatukan dalam karesidenan.
4. Di Yogyakarta keberlanjutan daerah istimewa tidak mengalami hambatan dan Sultan Hamengku Buwono IX dengan Adipati Paku Alam yang ke VIII dalam satu paket menjadi Kepala Daerah istimewa dan wakil Kepala daerah istimewa.
5. RM.Said yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa sebagai Founding Father dari kadipaten yang didirikannya dalam perjanjian menyatakan ketundukannya pada Kasunanan Surakarta yang dituangkan dalam perjanjian Salatiga tetapi pada realitasnya membentuk Mangkunegaran yang otonom yang pada akhirnya di zaman Mangkunegara VI lepas ikatan dengan Kasunanan. Dengan posisi yang otonom ini Jepang mengakuinya sebagai wilayah istimewa disamping wilayah istimewa Surakarta yang dipegang oleh Sunan. Di Surakarta wilayah daerah istimewa dengan melihat sejarah kedua keraton yang ada di kota ini menjadi lain karena jauh sebelum kemerdekaan Indonesia kedua keraton memiliki hubungan yang otonom sehingga tidak memungkinkan untuk mendudukan dalam satu paket untuk daerah istimewa Surakarta bahwa Sunan adalah kepala daerah istimewa dan Adipati Mangkunegara sebagai wakil kepala daerah istimewa.Mengacu pada masa Jepang disini dapat dikatakan bahwa keduanya; Sunan dan Adipati adalah para Koo yaitu para pembesar daerah istimewa.
6. Kalau di Yogyakarta antara Kasultanan dan Paku Alaman dapat melenggang dalam satu paket kepemimpinan daerah istimewa persoalannya bukan karena kompak atau tidak kompak tetapi perkembangan masyarakat dan keraton dalam perjuangan menegakkan Republik Indonesia dalam rongrongan Belanda bukan isapan jempol belaka melainkan nyata. Kasultanan dan Paku Alaman bisa mencapai kata sepakat untuk memasuki tatanan dunia baru yaitu Republik Indonesia.Dua daerah swapraja; Kasultanan dan Paku Alaman bergabung kembali menjadi utuh dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gabungan wilayah Kasultanan yogyakarta dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman ini disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta
7. Dengan dasar perbedaan di Surakarta dan Yogyakarta selanjutnya dalam bulan Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946 yang namanya Daerah istimewa Surakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia itu memang pernah ada. Daerah Istimewa ini dipimpin dan diperintah bersama. Pada Oktober 1945, berdiri gerakan Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta yang bertujuan untuk membubarkan Mangkunegaran dan Kasunanan.Motifasi dari gerakan anti monarki di Surakarta ternyata menyimpan tujuan lain dari sekadar pembubaran dua monarki di kota Bengawan itu. Dua monarki hendak dibubarkan karena gerakan anti monarki bertujuan untuk merampas tanah tanah Mangkunegaran dan Kasunanan untuk dibagi bagikan kepada rakyat. Pada tanggal 16 Juni 1946 Daerah Istimewa Surakarta diganti menjadi daerah Karesidenan. Pergantian ini dilakukan karena status Daerah Istimewa dengan gerakan anti monarki menimbulkan kerusuhan, pencullikan serta pembunuhan. Daerah Surakarta menjadi daerah dalam keadaan bahaya.Status ke dua keraton selanjutnya menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
8. Untuk Yogyakarta meski status sebagai daerah Istimewa goal namun mengalami kegagalan dalam menerapkan sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Yogyakarta. Semula Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat dan menunjuk para pejabat di lingkungan kepatihan yang berasal dari para kerabat namun karena kontrol dari pusat sebagai kebijakan Presiden Soekarno yang karena alasan alasan ideologis, maksud Sultan menjadi gagal. Kegagalan ini berlanjut ketika iklim pergantian kekuasaan dan politik terjadi tahun 1965-1966.Dengan masih mempertahankan Sultan dan Sri paduka Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakilnya, untuk jabatan yang lain seperti Walikota dan Bupati juga posisi strategis banyak dijabat oleh kalangan militer.
9. Republik Indonesia yang berdiri 1945 memiliki "claim" bahwa wilayah negara proklamasi ini adalah bekas Hindia Belanda. Nah disinilah akar permasalahannya untuk suatu daerah yang harus disebut sebagai "Yang Istimewa". Apakah daerah swapraja adalah wilayah Hindia Belanda pada masa itu jauh sebelum Republik ini berdiri?
DAFTAR PUSTAKA
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipedia ; http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
KEBUDAYAAN MATARAM
DALAM
NEGARA INDONESIA
Oleh : R. Kurniawan Prawiraningrat
Negara kesatuan Rapublik Indonesia mewarisi wilayah dari Sabang sampai Merauke sebagai warisan wilayah dari kolonial Belanda. Jakarta yang semula Batavia menjadi ibukota negara dan kediaman Gubernur Jenderal menjadi Istana Presiden.Presiden Soekarno kemudian menata ulang konsep tata ruang kota mengikuti pola pola kota kerajaan dengan membangun Monumen Nasional dan tempat peribadatan umat muslim.Istana sekarang benar benar mengikuti pola lama kerajaan Jawa masa lalu; ada istana, tempat peribadatan, lapangan terbuka dan tugu atau monumen sebagai lambang yoni dalam paham Jawa masa lalu.
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dalam memimpin negara memadukan unsur unsur pengetahuan moderen dengan kultur nusantara dan dari berbagai kultur nusantara itu kultur dari Jawa sedikit menonjol dalam kepemimpinannya.
Soekarno merangkul para raja-raja dan penguasa lokal di nusantara untuk bersama sama membangun negeri dan menjaga kultur yang telah menjadi ciri setempat kedalam integralitas kultur Indonesia.Soekarno menjadi representasi dari rakyat dan penguasa dalam menggantikan peran Belanda mengatur negeri.
Soeharto sebagai penerus dari Soekarno sebagai Presiden Negara Republik Indonesia tidak jauh juga dalam menjalankan roda negeri ini dengan dasar-dasar dan filsafat kebudayaan Jawa. Pada masanya konsep-konsep kekuasaan Jawa yang tersohor dengan sentralistiknya diadaptasikan dalam tatanan modern tanpa harus meninggalkan jati dirinya.
Konsep Tri Darma dari K.G.P.A.A. Mangkunagara I oleh presiden kedua Republik Indonesia disuarakan kembali; bila merasa bahwa permasalahan-permasalahan bangsa itu adalah tanggung jawab bersama maka hendaklah kita semua jangan hanya berpangku tangan.
DAFTAR PUSTAKA
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipedia ; http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
KERAJAAN MATARAM *)
Oleh: Rangga Suryo Joedoprawiro
Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1587 Masehi sebagai suatu kerajaan dengan kombinasi antara Demak dan Majapahit. Kasultanan Demak yang merupakan kerajaan maritim di pantai utara Jawa dengan dominasi kaum saudagar berbasis Islam dikombinasikan dengan Majapahit yang aristokrat dan agraris dan berbasis Hindu-Budha menjadi corak dari kerajaan Mataram.

Kombinasi yang diciptakan oleh Mataram dalam bernegara menjadikan sistem birokrasi yang terjadi mengikuti paham sistem negara patrimonial seturut dengan kriteria Max Weber. Dalam sistem ini lapisan masyarakat negara terbagi kedalam kelas penguasa dan kelas yang dikuasai.(Lihat : Wibawa, Samodra, 2001).Sistem patrimonial ini selain dilapangan poltik dan ekonomi juga merembet kedalam kebudayaan. Oleh sebab itu sangat tidak mengherankan kalau kraton kraton di Jawa pada umumnya merupakan pusat pusat kekuasaan, kemakmuran dan kebudayaan secara turun temurun melalui prospek waktu dan adaptasi jaman yang secara tradisional diwariskan kepada generasi berikutnya.

Seperti pada umumnya negara patrimonial, Mataram sebagai suatu negara kerajaan memiliki ciri ciri birokrasi (lihat: Wibawa, Samodra, 2001) antara lain:
  1. Sumber legitimasi seorang raja adalah keturunan atau wahyu/pulung.
  2. Raja adalah penjaga kesatuan dunia, pemelihara alam semesta, pelindung kerajaan dan rakyatnya.
  3. Raja memegang kemutlakan dalam keputusan pemerintahan .bersifat lisan (tidak tertulis) sehingga          dapat  berubah setiap saat tergantung selera raja/penguasa.
  4. Kraton menjadi patronage gaya hidup, kesenian, kemakmuran-kesejahteraan.
  5. Jabatan pemerintahan dipegang oleh elite secara personal, bersifat paternalistik serta berbasis keturunan-kekerabatan.
Naiknya Senopati ke panggung kekuasaan Jawa dengan semangat dan ideologi "Wong Agung" dihadapkan pada soal legitimasi dan pengakuan lawan lawannya yang harus dibeli dan ditundukan dengan jalan kekerasan dan perang. Senopati yang berasal dari keluarga petani Jawa untuk maksud tujuan dan langkah menuju kekuasaannya berjuang all out dengan berbagai sarana dan prasarana yang diciptakannya.

Pembangunan mitos tentang Ratu Kidul yang menjadi isterinya untuk melegitimasikan diri bahwa setiap raja Jawa terikat kontrak menjadi suami penguasa laut selatan berhasil dibangun secara gemilang. Keberhasilan dalam membangun mitos ini tak kurang pula diiringi oleh penyusunan silsilah yang merayap keatas sampai menembus pangkal silsilah di kerajaan Majapahit . Dengan demikian ada suatu pesan yang melegitimasi dirinya sebagai penguasa Jawa karena memang dari akarnya adalah keturunan penguasa yang agung dan binathara yaitu keluarga ningrat Majapahit.
Penyusunan silsilah dan pembangunan mitos ini dikombinasi dengan persetujuan para wali untuk mengesahkannya sebagai penguasa tunggal atas Jawa. Wilayah wilayah yang tidak tunduk dan membangkang diserang dan ditaklukan sampai Sunan Giri untuk mencegah perang besar antara Mataram dan Surabaya menyampaikan suatu teka teki untuk dipilih oleh kedua belah pihak.
Sunan Giri mengemukakan antara "Wadhah dan Isi" untuk dipilih oleh Senopati dan Pangeran Surabaya yang secara geneologis adalah trah keluarga para Wali di pantai utara Jawa.Alhasil Senopati memilih wadhah sedang Pangeran Surabaya meilih isi.Prabu Satmata tersenyum lebar dan memberi penjabaran bahwa memang sudah kehendak takdir bahwa Senopati menjadi penguasa negara karena wadhah adalah lambang dari negara atau kerajaan dan isi adalah lambang dari kawula atau rakyat.Bagaimana pun juga yang namanya wadhah adalah menguasai isi atau kawula/rakyat sebab apabila rakyat tidak tunduk dan patuh kepada wadhah/negara maka penguasa dapat melenyapkan atau mengusirnya dari wilayah yang dikuasainya.
Mataram sebagai kerajaan pengganti Demak dan Pajang sampai pada raja yang kedua bergelar Panembahan. Pangeran Jolang sebagai putra Mahkota Kerajaan tampil menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1601 Masehi dengan gelar Panembahan Hanyakrawati atau Panembahan Seda Ing Krapyak. Pemerintahan dari Panembahan Hanyakrawati ini berlangsung dari tahun 1601 sampai 1613 kemudian digantikan oleh putranya Raden Mas Martapura yang hanya duduk sebentar di tahta kerajaan dan kemudian Raden Mas Rangsang tampil sebagai penguasa Mataram dengan mengambil gelar Sultan. Pemerintahannya berlangsung dari tahun 1613-1645 Masehi.
Wafatnya Sultan Agung digantikan dan dilanjutkan oleh para warisnya tidak dengan gelar Sultan lagi melainkan dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Putra Mahkota yang menjadi penguasa dengan gelar Sunan Amangkurat Agung menjalankan pemerintahan yang berbeda dengan ayahnya.Pemerintahannya yang berlangsung 1646-1677 Masehi menimbulkan banyak kekecewaan dikalangan para pejabat dan pembantu pembantu ayahnya. Pada masanya ini pemberontakan Trunojaya berhasil menggulingkannya dari tahta Mataram dan inilah untuk pertama kalinya dalam pelarian di Tegalwangi Raja Mataram mengajukan bantuan kepada Belanda untuk menumpas suatu pemberontakan.
Belanda yang sudah mencermati dan mengintai peluang untuk turut serta dalam menanamkan pengaruhnya di kerajaan melihat adanya peluang emas yang tidak akan disia siakannya begitu saja.Trunojaya yang dibantu orang Makasar dan Bugis hampir saja membuat dinasti baru di Jawa tetapi gagal karena ditundukan oleh Belanda dan Putra Mahkota yang kemudian menjadi sunan Amangkurat II atau Sunan Amral.
Perebutan kekuasan di Mataram yang sudah dicampuri oleh tangan tangan VOC Belanda mulai menaikan suhu konflik dan perebutan tahta kerajaan. Kakak beradik anatara Pangeran Piger dan kakaknya Sunan Amral berebut tahta Mataram sepeninggal ayanhandanya di Tegalwangi. Sunan Amral bersikukuh bahwa dirinya yang berhak atas tahta Mataram karena dirinya yang tertua diantara putra Amangkurat I dari permaisuri. Pangeran Puger yang juga lahir dari permaisuri bukannya tidak sadar kalau dirinya kalah tua dengan kakaknya tetapi dalam konsep kekuasaan Jawa yang dianutnya, dirinya mendapatkan wahyu kerajaan sehubungan dengan detik detik meninggalnya Amangkurat I oleh Puger dilihatnya ada cahaya sebesar merica keluar dari tubuh ayahnya dan ditangkap olehnya.

Sampai akhir hayatnya Amangkurat I kelihatan dengan sangat jelas bahwa yang ada disamping sang raja adalah Pangeran Puger dan bukan Sunan Amral/Putra Mahkota. Jauh sebelum terjadi pemberontakan yang menumbangkan kekuasaan di Mataram, Sunan Amral atau Putra Mahkota karena kekecewaan terhadap pemerintahan ayahnya lebih banyak berkawan dengan Trunajaya. Ironisnya begitu begitu naik tahta dan memegang kekuasaan Mataram eksekusi terhadap Trunajaya dilakukan langsung sendiri olehnya.

Berhubung sampai akhir hayat Sunan yang duduk disampingnya adalah Pangeran Puger maka dapat dimengerti bahwa pengajuan bala bantuan kepada VOC-Belanda diterima langsung oleh sang Pangeran sebagai suatu "titah" dari raja untuk negara. Bersama dengan Belanda Pangeran Puger kemudian memerangi dan mengusir Pangeran Trunajaya dari Mataram.

Tahta Mataram kembali kepada dinastinya tetapi sekarang ada dua pemimpin yang memiliki kualifikasi yang sama. Belanda yang sudah terjun bermain dalam kancah perdagangan di Jawa bagai melihat seorang puteri kahyangan dengan beberapa saudaranya turun ke bumi untuk mandi di danau hutan. Belanda akhirnya menjalankan apa yang dilakukan oleh Jaka Tarub yaitu mencuri peluang dengan mendukung Sunan Amral duduk di tahta Mataram sebagai Sunan Amangkurat II yang memerintah tahun 1677-1703.

Kapten Tack seorang perwira militer VOC-Belanda mendapat penghormatan mengenakan mahkota kerajaan diatas kepala Amangkurat II dan disaksikan dengan keheranan para pejabat Mataram berhubung Mahkota yang dipegang perwira itu telah berkurang berlian mutiara penghias mahkota. Tidak disangsikan lagi bahwa sebagai perwira dalam jajaran militer Belanda sang kapten selalu mengambil kesempatan dalam meraup keuntungan dan ini kelak yang akan dibayar dengan tewasnya di alun alun Kartasura.

Beban biaya penaklukan Trunajaya oleh Belanda dikemudian hari setelah bertahtanya Amangkurat II dibebankan kepada kerajaan Mataram. Pembebanan ini dirasakan berat oleh raja dan usaha untuk mengingkari perjanjian mulai dijalankan, apalagi Mataram menjadi tidak bebas dalam menentukan kebijakan.

Telah disebutkan diatas bahwa sistem negara patrimonial antara lain adalah sistem peraturan yang bersifat lisan sehingga penguasa atau raja dapat membatalkan setiap saat tergantung dengan situasi dan selera. Berhadapan dengan Belanda sang Raja tidak bisa berbuat banyak lantaran yang dihadapi memegang legalitas perjanjian secara tertulis yang tidak mungkin dibatalkan tanpa ada perjanjian terulis baru  untuk pembatalan.

Pola lama dengan sistem intrik dan desas desus adalah langkah yang kemudian ditempuh oleh raja Mataram.
Suropati seorang bangsawan Bali yang telah lama bekerja untuk Belanda di Batavia dalam pelariannya diterima di Kartasura dalam perlindungan Sunan.Dari tangan Suropati ini pula Kapten Tack yang memimpin pengejaran  dari Batavia tewas ditusuk Suropati dengan senjata tikam.

Belanda mulai ragu terhadap Amangkurat II dan tidak mempercayainya serta mulai mempertimbangkan Pangeran Puger untuk didudukkan sebagai raja Mataram namun tindakan menuju target belum dilaksanakan karena raja memiliki putra mahkota yang menjadi warisnya.

Pangeran Puger yang turun jabatan menjadi Pangeran kembali tetap membantu kakaknya dalam mengelola kerajaan dan menunggu waktu  dan nasib yang akan berpihak kepadanya kembali ke panggung kekuasaan Mataram. Pada tahun 1703 Amangkurat II wafat, warisnya putra Mahkota menggantikannya sebagai Amangkurat III.

Perebutan tahta Mataram kembali berkobar. Naiknya Amangkurat III yang beraliansi dengan Untung Suropati mendorong Pangeran Puger meninggalkan Mataram tahun 1704 menuju Semarang untuk meminta dukungan Belanda menjadi raja.Kecondongan Belanda pada Pangeran Puger diwujudkan dengan dukungan militer yang membantu Pangeran Puger merebut kekuasaan Mataram. 18 Maret 1705 Pangeran Puger dinobatkan menjadi penguasa Mataram dengan gelar Susuhunan Paku Buwono I, sedang Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Ceylon.

Paku Buwono I memerintah Mataram tidak sampai 20 tahun karena tahun 1719 wafat kemudian digantikan oleh puteranya yang mengambil gelar Amangkurat IV.Pemerintahannya yang hanya pendek karena tahun 1727 wafat kemudian digantikan puteranya menjadi Paku Buwono II.

Pada masa Paku Buwono II ini gejolak kerajaan seperti tidak ada habisnya dan kerajaan tidak pernah dalam kondisi stabil. Sampai wafatnya tahun 1749 Mataram terus saja bergejolak. Penggantinya Paku Buwono III dalam lindungan Belanda tidak juga mampu meredam gejolak.

Pengangkatan Paku Buwono III ke tampuk kekuasaan Mataram direspon dengan pengangkatan penguasa tandingan di luar tembok keraton. Pangeran Mangkubumi adik Paku Buwono II didudukan sebagai Sunan Mataram dengan mendapat dukungan militer Raden Mas Said. Mataram terjerembab kembali oleh perang saudara yang pada akhirnya memuncak dengan tamatnya kerajaan Mataram di Desa Giyanti 13 Februari 1755.

Dalam perjanjian 13 Februari 1755 yang dikenal sebagai perjanjian Giyanti Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Dalam perjanjian itu Surakarta penguasanya Sunan Paku Buwono III dan Yogyakarta penguasanya Pangeran Mangkubumi yang mengambil gelar Sultan Hamengku Buwono I. Surakarta bukan penerus Mataram  demikian juga Yogyakarta bukan pengganti Mataram. Yogyakarta dan Surakarta adalah kerajaan baru di Jawa.
Jero Baluwarti Kraton, 10 Oktober 2010
*) Pernah dimuat di www.legiunmangkunegaramuda.org
DAFTAR PUSTAKA
  • Anderson, Benedict, R.O'G., Language And Power, Exploring Political Cultures in Indonesia,   Jakarta,Kuala Lumpur :  Equinox Publishing, 2006.
  • Berger, L, Peter, Kabar Angin Dari Langit, Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, terj. Sudarmanto, JB., Jakarta: LP3ES, 1991.
  • De Graaft, HJ, Dr., PUNCAK KEKUASAAN MATARAM, Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
  • Hanna, A, Willard, HIKAYAT JAKARTA, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
  • Heryanto, Ariel, Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia, dalam PRISMA, Jakarta,No.1, Tahun XVIII, Januari 1984.
  • Kartono, Sartono, Messianisme dan Futurisme, dalam PRISMA, Jakarta, No. 1, Tahun XIII, Januari 1984.
  • Sutrisno, Slamet, Manusia Dalam Sinkretisme Jawa, dalam PRISMA, Jakarta, No. 1, Tahun XIII, Januari 1984.
  • Tjondronegoro, Soediono dan Wiradi, Gunawan, DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, Pola Penguasaan tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia, 1984.
  • Wibawa, Samodra, NEGARA NEGARA DI NUSANTARA,  Dari Negara Kota hingga Negara Bangsa dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, Yogyakartam Gadjah Mada University Press, 2001.
  • Yamin, Muhammad, Prof., Tata Negara Majapahit, Tananariwu, 1960.
K.G. P. A. A. MANGKUNEGARA II *)
Oleh : Rangga Suryo  Joedoprawiro
Penerus dari K.G.P.A.A. Mangkunegara I adalah cucunya yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa sebagai K.G.P.A.A. Mangkunegara II. Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835). Beliau  merupakan keturunan yang lahir dari keluarga  Pangeran Hario Prabuwijaya.
Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III (pihak Ibundanya) dan Mangkunegara I (pihak Ayahandanya). Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.
Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi selain telah dipersiapkannya seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa-masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

Masa Pemerintahan

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan Hamengku buwono I. Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.
Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan dan Mangkunegaran cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran telah berhasil membaca tanda tanda jaman.Tiga Serangkai Penguasa kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh jaman dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi Kerajaannya.

Penambahan Luas Wilayah

Dalam pemerintahan Mangkunegara II daerah Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah dari 4.000 cacah menjadi 5.500 cacah.Penambahan perluasan ini diperoleh semasa Raffless menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.Pada jaman Daendels sebelum Raffless kedudukan Mangkunegara sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang dituakan .Pada tahun 1808 Legiun Mangkunegaran dibentuk dan dibangun.Legiun ini berkekuatan 1.150 personil dan dipersenjatai untuk memperkuat kedudukan dan posisi Mangkunegaran.Pertambahan luas wilayah Mangkunegaran diikuti juga dengan penambahan jumlah personil Legiun menjadi 1.500 orang.Pembentukan dan pembangunan Legiun menggunakan dana upeti Belanda ke Mangkunegaran dan sebagai Komandan pertama adalah Mangkunegara II.Praja Mangkunegaran dalam tata praja terdiri dari daerah daerah yang meliputi; Daerah Malangjiwan, Daerah Wonogiri dan Daerah Karanganyar. Masing masing daerah dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.
Legiun Mangkunegaran mengangkat prestise Mangkunegaran ditingkat percaturan politik yang lebih mandiri.Kekuatan untuk memaksakan kehendak dalam politik bukan sekadar tanpa tindakan melainkan alat untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain sudah dipersiapkan.Pembangunan Korp Legiun Mangkunegaran dilengkapi dengan pendidikan kemiliteran yang disebut sebagai Sekolah Kadet Legiun Mangkunegaran.Komandan Legiun Mangkunegaran adalah Mangkunegara yang sedang bertahta dengan pangkat kemiliteran Kolonel. Dalam Korp Legiun ini terdapat Pasukan Infantri, Kavaleri dan Artileri. Dengan Legiun Mangkunegaran maka Praja Mangkunegaran menjadi satu satunya Istana dimana tradisi tradisi militer bangsawan Jawa tetap hidup meski berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan korp Militernya Mangkunegaran tampil aktif dan lebih terbuka terhadap ide ide baru.
Penggunaan kata "Legiun" dalam Korp kemiliteran Mangkunegaran merupakan serapan ide baru dalam hubungannya dengan Perancis melalui Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Seperti Korp Elite Militer Perancis sekarang Legiun Asing yang menyatukan anggotanya dengan bahasa Perancis, demikian juga Legiun Mangkunegaran anggotanya dipersyaratkan menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu.Penggunaan bahasa Melayu di Korp militer Mangkunegaran menjadi catatan tersendiri untuk Mangkunegaran dalam sumbangsihnya untuk kepentingan Nasional Indonesia, karena bahasa Melayu kemudian ditetapkan menjadi bahasa Nasional Indonesia.Mangkunegaran telah memberikan kontribusi awal jauh sebelum Bangsa Indonesia Merdeka lewat tradisi berbahasa Indonesia yang kala itu disebut sebagai bahasa Melayu.Sebagai syarat bahasa Melayu adalah wajib yang harus dikuasai oleh anggota Legiun disamping bahasa Belanda.
Situasi Jawa Permulaan Tahun 1800 M
Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan.Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran Natakusuma diangkat sebagai Paku Alam I dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya.Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.
Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengku Buwono II.Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan.Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda.Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa.Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Tahun 1807 Daendels datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan aturan aturan baru semacam protocular kepada penguasa penguasa setempat termasuk para raja di Jawa.Pabu Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.Mangkunegaran yang terampil dan cepat membaca perubahan jaman dengan segera merespon dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan. Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima resiko kemerosotan Kerajaan.
Kekuatan Bangsa Eropa di Jawa
Berbeda dengan Belanda, kekuatan Eropa yang datang di tahun 1800 an itu memiliki militer sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa, kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat disamping juga kelompok Putra Mahkota (calon Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni Tan Jiem Sing (kelak bergelar Tumenggung Secadiningrat).Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; Kasultanan dan Gubernur Belanda.
Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.
Intervensi Eropa di Jawa
Dalam dua periode Gubernur Jenderal (Daendels dan Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa Hamengku Buwono II turun tahta.Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta.Daendels menurunkan Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai Hamengku Buwono III dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai tawanan.Pada bulan Juli 1812 gantian Raffles dengan 2.000 tentara menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan dijual ke Belanda dan ditinggalkan Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak Pangeran Prangwadana dari Mangkunegaran untuk mengerahkan Legiun Mangkunegaran memback up pasukan Natakusuma.
Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak segan segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan kekuasaan dan penguasa tradisional di Jawa.Korban pertama dengan datangnya Daendels ke Jawa adalah Banten. Oleh Daendels Kasultanan Banten dibubarkan.
Destabilisasi Kraton Yogyakarta
Pada masa Raffles memerintah Jawa menggantikan Janssens, Kasultanan Yogyakarta terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan penyelesaian berdirinya Kadipaten Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.
Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran Natakusuma. Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih jaman Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.
Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta
Konflik kekuasaan di Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam tetapi ini baru awal dari peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta.

Referensi

·         Peter  Carey : The Power of Prophecy Prince Dipanagara and The End of  An Old Older in Java 1785-  1855,
·         MC.Ricklefs; Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
·         MC. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
·         Djumadi, Thojip,Majalah SENANG, Jakarta; 7 Maret 1982
·         Susilantini,Endah.,Mumfangati,Titi.,Suyami., Konsep Sentral Kepengarangan KGPAA.Mangkunegara IV,Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
·         Moedjanto, G., 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
·         Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

·         Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta 1755-1825 (Perjanjian Giyanti-Perang Dipanegara),Djakarta: Mahabarata-Amsterdam, 1952



Tidak ada komentar:

Posting Komentar