Sabtu, 12 Desember 2015

Pangeran Adipati Arya Paku Alam

Paku Alam I


Bendara Pangeran Harya Natakusuma (bahasa Jawa: Bendoro Pangeran Haryo Notokusumo, lahir pada 21 Maret 1764 (versi lain 1760) di Yogyakarta. Ia adalah putera ketiga Hamengkubuwono I dan Raden Ayu Srenggara, seorang selir yang berasal dari desa Karangnangka. Di dalam urutan seluruh putra-putri Hamengkubuwono I Notokusumo adalah urutan ke 11. Ia merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I.

Daftar isi

Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam

Kiprah BPH Natakusuma dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 ia mendapat gelar Bendara Pangeran Harya (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggara ini sangat dekat hubungannya dengan Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi Hamengkubuwana II.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwana II timbul intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih Danureja II (semacam Sekretaris Negara) dan Van Braam, minister untuk Surakarta. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara Hamengkubuwana II dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi Hamengkubuwana III tidak harmonis. Untuk meredam ambisi Danureja II, Sultan mengangkat RT Natadiningrat (kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan yang ada.
Dengan sedikit intrik, Danureja II berhasil memancing pemberontakan Bupati Madiun, Raden Rangga. BPH Natakusuma dan terutama putranya RT Natadiningrat ikut terseret dan dituduh mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat Danureja II dan van Braam, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Belanda-Perancis di Batavia, memerintahkan pembebasan tugas RT Natadiningrat dari sekretaris istana.
Selanjutnya Daendels meminta Hamengkubuwana II untuk menyerahkan Natakusuma dan Natadiningrat ke Semarang. Akhirnya Natakusuma dan Natadiningrat diberangkatkan ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka. Setelah dari Cirebon, Natakusuma dan Natadiningrat dipindahkan ke Batavia. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan 7000 pasukan Belanda-Perancis, Hamengkubuwana II dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai Hamengkubuwana III.
Di Batavia ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga. Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens. Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Natakusuma dan Natadiningrat tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun ia berdua tetap belum diperbolehkan kembali ke Kesultanan Yogyakarta.
Pada jeda waktu yang tak terlalu lama terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan Inggris mulai masuk perairan Laut Jawa. BPH Natakusuma dan RT Natadiningrat diminta ke Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Perancis. Setelah tentara Belanda-Perancis kalah di Batavia dan Meester Cornelis (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan Kerajaan Inggris menuju Bogor, Kedua bangsawan Yogyakarta dipindahkan ke Semarang dan akhirnya ke Surabaya.
Di Surabaya, Natakusuma ditemui Pejabat Kerajaan Inggris. Pemerintah Kerajaan Inggris tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses penyelidikan akhirnya Raad van Indie berpendapat kedua bangsawan tersebut hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat Belanda-Perancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Natakusuma adalah orang yang tepat untuk melunakkan Hamengkubuwana II yang menentang Inggris. Kemudian ia diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal di kota tersebut.
Di kota lumpia itu BPH Natakusuma mendapat sambutan yang baik. Ia berterima kasih kepada Inggris atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris berharap Natakusuma bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya Soedarisman Poerwokoesoemo mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Natakusuma pada tahun 1811-1812 di Yogyakarta.
Versi pertama mengatakan setelah kembali ke Yogyakarta BPH Natakusuma menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles ketika datang ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.
Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Natakusuma diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Akhirnya diusulkan Letnan Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.
Versi kedua mencatat segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan bebrapa tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH Natakusuma dan RT Natadiningrat .
Oleh Raffles Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera mengadakan perundingan dengan Sunan Surakarta untuk melepaskan diri dari Inggris.
Sultan secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.
Dan akibatnya pada pertengahan Juni 1812, Admiral Gillespie datang ke Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran Prangwadana (Mangkunagaran) juga diperbantukan. Segera Gillespie mengirim ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran merdika. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.
Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi Hamengkubuwana III ditahtakan sebagai Sultan Yogyakarta.

Tahta Paku Alaman

Pada 29 Juni 1812 Natakusuma diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Inggris menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813 (sering disebut dengan Politiek Contract) Natakusuma secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdika dibawah Pemerintah Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan kesetiaan kepada Pemerintah Inggris. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah kemantren di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.
Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat Raffles menjadi wali Hamengkubuwana IV antara 1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencana, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan. Semasa Hamengkubuwana V (ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwalian. Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.


Paku Alam II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
RT Notodiningrat dilahirkan 25 Juni 1786 (versi lain 1785) di Yogyakarta. Ia adalah putera pertama BPH Notokusumo (Paku Alam I). Kiprah RT Notodiningrat dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Ketika terjadi intrik di istana ia sempat diangkat menjadi sekretaris istana oleh pamannya, Sultan Sepuh. Notoningprang juga turut dibuang bersama ayahnya ke Semarang dan Batavia. Selama pemerintahan Paku Alam I ia sudah mendampingi ayahnya memerintah.
Pada 1814 ia dilantik menjadi Pangeran Suryaningrat. Setelah ayah mangkat, maka pada 31 Desember 1829 sang pangeran ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat. Melalui perjanjian politik 1831-1832-1833 dengan Pemerintah Hindia Belanda, KGP Adipati Suryaningrat dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II. Dalam masa pemerintahannya ditandai dengan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dan kesusastraan disamping meletakkan dasar pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Kebudayaan menemukan wujud yang baru dalam kadipaten walaupun tidak meninggalkan pokoknya.
Perlu dicatat bahwa Paku Alam II dari garwa padmi (permaisuri) mendapat empat orang putra. Sementara keseluruhan putra-putrinya berjumlah 16 orang. Pada waktu ia naik tahta putra sulungnya yang bernama GPH Suryoputro telah wafat. Putra kedua yaitu GPH Suryaningrat terganggu ingatannya karena terlalu mendalami soal mistik. Putra yang ketiga GPH Nataningprang mendampinginya dalam memegang tampuk pemerintahan dan merupakan tulang punggungnya. Namun putra ketiga ini mendahului meninggal dunia pada 1857. Dengan demikian putra terakhirnya, GPH Sasraningrat, yang menggantikan membantu tampuk pemerintahan sekaligus pewaris tahta berikutnya. Akhirnya KGPA Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 setelah bertahta sekitar 30 tahun dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.


Paku Alam III

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam III
GPH Sasraningrat dilahirkan pada 20 Desember 1827 oleh permaisuri Paku Alam II GK Ratu Ayu di Yogyakarta. Sebelum menjadi penguasa kadipaten ia pernah membantu ayahnya mulai 1857. Setelah ayahnya mangkat pada 23 Juli 1859, GPH Sasraningrat ditahtakan pada 19 Desember 1858 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat. Seperti mendiang Paku Alam II, Kepala Kadipaten Pakualaman ini juga gandrung akan kesusastraan. Ia sempat menulis beberapa karangan antara lain, Serat Darmo Wirayat, Serat Ambiyo Yusup (saduran ceritra Amir Hamzah) dan Serat Piwulang. Selain itu ia juga mengadakan kontak surat dengan para sastrawan Surakarta.
KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] memiliki 10 putra-putri. Salah seorang putranya adalah KPH Suryaningrat. Pangeran ini merupakan ayah dari Ki Hajar Dewantoro (pendiri Taman Siswa dan menteri Pendidikan RI yang pertama). Pemerintahan KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] tidak berlangsung lama karena ia mangkat pada 17 Oktober 1864 ketika berusia 37 tahun. Saat ia mangkat putra-putrinya semua masih kecil sehingga belum ada yang dapat menggantikan sebagai Paku Alam IV. KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam III] dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta. Sampai saat mangkat ia secara resmi tidak menggunakan gelar KGPA Paku Alam III karena belum berusia 40 tahun. Gelar Paku Alam hanya dapat digunakan secara resmi oleh penguasa Kadipaten mulai usia 40 tahun. Namun peraturan ini banyak mengalami perubahan nantinya.


Paku Alam IV

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam IV
RM Nataningrat dilahirkan 25 Oktober 1841 (versi lain 1840) di Yogyakarta. Ia diperjuangkan GK Ratu Ayu permaisuri PA II untuk menjadi pewaris tahta. Di sini sekali lagi dapat dilihat peranan perempuan dalam mengatur pemerintahan pada zaman kerajaan (bandingkan dengan pengaruh besar ibu Hamengkubuwono III dalam mendudukkan putranya dengan mendongkel kedudukan suaminya).
Pada 1 Desember 1864 RM Nataningrat ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat menggantikan almahrum pamannya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemunduran Kadipaten Pakualaman. Banyak dari kebijakan Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menimbulkan ketidakpuasan. Selain itu ia tidak begitu mahir dalam hal kesusastraan dan kebudayaan. Di keluarga besar Paku Alam pun terjadi beberapa perubahan yang cenderung kurang baik akibat sering bergaul dengan orang-orang Belanda. Kemewahan dan foya-foya menjadi penyebab kehancuran beberapa anggota keluarga Paku Alam.
Namun disamping itu, dengan perjanjian politik 1870, Kadipaten Pakualaman diperkenankan memiliki setengah batalyon infantri dan satu kompi kavaleri. Legiun ini lebih besar dari angkatan perang yang diperbolehkan pada masa para pendahulunya. Perlu ditambahkan pula, KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] mengirim seorang pegawai laki-lakinya untuk menuntut ilmu di Kweekschool Surakarta dan seorang pegawai perempuannya untuk menuntut ilmu kebidanan di Jakarta. Agaknya inilah yang akan mendorong para Paku Alam selanjutnya untuk menyekolahkan anggota keluarga besar Paku Alam ke sekolah Belanda.
KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menikah pertama kali dengan Putri Bupati Banyumas yang kemudian diceraikan karena sakit. Perkawinan yang kedua dengan GK Ratu Ayu putri Hamengkubuwono VI. Namun lagi-lagi seperti perkawinan yang pertama ia tidak memperoleh anak. GK Ratu Ayu selanjutnya juga diceraikan. Perlu dicatat GK Ratu Ayu kemudian menikah dengan Bupati Demak dan melahirkan Bupati Jepara, ayah RA Kartini. KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] hanya memiliki 2 putra-putri yang berasal dari selir. Pada 24 September 1878 ia mangkat dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakart


Paku Alam V

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam V
KPH Suryodilogo dilahirkan pada 23 Juni 1833 / 1835?? di Yogyakarta. Ibundanya adalah selir Paku Alam II. Setelah KGPA Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ] mangkat dengan mendadak timbul suatu riak-riak di keluarga Paku Alam untuk menentukan siapa penggantinya. Pilihan sulit yang dimiliki mereka adalah diambilkan keturunan langsung Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ], keturunan langsung Paku Alam II atau keturunan langsung Surya Sasraningrat [ Paku Alam III ]. Akhirnya KPH Suryodilogo, seorang komandan Legium Pakualaman terpilih sebagai pengganti almahrum KGPA Surya Sasraningrat [ Paku Alam IV ]. Pada 10 Oktober 1878 (versi lain mengatakan tanggal 9 Oktober dan 15 Desember pada tahun yang sama), KPH Suryodilogo ditahtakan sebagai kepala Kadipaten Paku Alaman ke 5 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Prabu Suryodilogo.
KGPAA Prabu Suryodilogo memegang kewajiban yang sangat berat. Diantaranya adalah melunasi hutang almahrum kepala Kadipaten Pakualaman dan memelihara serta menegakkan ketertiban/keamanan di wilayah Pakualaman. Setelah menujukkan tanda-tanda kemajuan yang baik dalam melaksanakan tugasnya maka pada 20 Maret 1883 ia diperkenankan memakai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V. Paku Alam V tidak banyak memberi apresiasi di bidang kesusastraan karena ia memilih berkecimpung di bidang Ekonomi. Selain prestasi sebuah pukulan berat harus diterima dengan dibubarkannya angkatan perang Pakualaman pada tahun 1892.
Berbeda dengan pendahulunya, Paku Alam V merintis anggota keluarga Paku Alam untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda antara lain di Sekolah Dokter Jawa. Bahkan mulai 1891 ia mengirim beberapa putra dan cucunya ke Negeri Belanda (Nederland) untuk mengecap pendidikan disana. Dari pemikirannya yang tidak kolot ini muncul beberapa hasil diantaranya ada anggota keluarga Paku Alam yang menjadi anggota Volksraad dan Raad van Indie (walaupun ia tidak dapat melihat langsung hasilnya karena telah mangkat).
Paku Alam V memiliki 17 putra-putri yang dilahirkan baik dari permaisuri maupun selir. Salah seorang putranya, KPAA Kusumoyudo, adalah anggota Raad van Indie. Setelah 22 tahun memerintah, pada 6 November 1900, KGPAA Paku Alam V mangkat dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang-maret 2007- merupakan bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).


Paku Alam VI

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam VI
KPH Notokusumo dilahirkan pada 9 April 1856 (versi lain 1860). Ia adalah putra Paku Alam V dari permaisuri. Walaupun tidak sampai selesai dalam menuntut ilmu, Notokusumo pernah sekolah di HBS. Ia merupakan tokoh yang representatif dan dapat baca-tulis dalam bahasa Belanda. Notokusumo ditahtakan menggantikan almahrum ayahnya pada 11 April 1901 dan langsung menggunakan gelar Kajeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI. Dari Pemerintah Hindia Belanda ia juga mendapat pangkat Kolonel tituler. Sungguh sayang kondisinya yang kurang sehat menyebabkan banyak tugas yang diserahkan kepada adiknya, KPH Notodirojo.
KGPAA Paku Alam VI memiliki 9 putra-putri. Secara mendadak penguasa Kadipaten Paku Alaman ini meninggal pada 9 Juni 1902 dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang Kabupaten Kulon Progo bagian selatan). Banyak tugas yang belum dapat ia kerjakan selama memegang tampuk pemerintahan yang sangat singkat.


Dewan Perwalian Pakualaman

Dewan Perwalian Kadipaten Pakualaman (bahasa Belanda: Raad van Beheer over de Pakualamsche Zaken) adalah suatu dewan perwalian yang mengurusi pemerintahan Kadipaten Paku Alaman yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Masa tugas dewan ini adalah antara 20 Agustus 1903-16 Oktober 1906.

Sejarah

Mangkatnya KGPAA Paku Alam VI yang mendadak karena sakit menimbulkan persoalan dalam pergantian tahta. Putra sulungnya BRMH Surtiyo yang bersekolah di Nederland telah mangkat dan dimakamkan di negeri kincir angin itu. Sedangkan adiknya BRMH Surarjo masih berekolah di HBS Semarang. Pilihan yang sulit antara BRMH Surarjo (putra Paku Alam VI), KPH Notodirojo (putra Paku Alam V, adik Paku Alam VI) ataukah KPH Sasraningrat (putra Paku Alam III, mertua Ki Hajar Dewantara) harus dihadapi keluarga Paku Alaman.
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat wali sementara KPH Sasraningrat sampai 1903. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menetapkan Surarjo yang akan menggantikan almahrum Paku Alam VI, namun dia harus terlebih dahulu mnyelesaikan studinya. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu dewan perwalian yang mengurusi pemerintahan Kadipaten Paku Alaman.

Susunan Raad van Beheer

Ketua Residen Yogyakarta, John Ricus Couperus
Anggota KPH Sasraningrat, Putera Paku Alam III KPH Notodirojo, Putera Paku Alam V
Asisten Residen Yogyakarta, P.H. van Andel
Asisten Residen Kulon Progo, F.C.H. van der Moore
Sekretaris Karesidenan Yogyakarta C. Canne
Wali Kadipaten Pakualaman sehari-hari KPH Notodirojo
Masa tugas 20 Agustus 1903-16 Oktober 1906

Tugas

Tugas yang harus dihadapi dewan ini adalah membuat perhitungan keuangan tahunan Kadipaten. Pada saat dewan ini pula dipisahkan antara keuangan Kadipaten Pakualaman dan Paku Alam pribadi. Karena KPH Sasraningrat mengundurkan diri maka KPH Notodirojo memegang perwalian sehari-hari.
KPH Notodirojo berpendidikan HBS Semarang dan Jakarta. Dalam menjalankan tugas perwalian dia dapat menyelesaikannya dengan baik. Notodirojo sendiri memiliki 17 putra-putri. Setelah 3 tahun Pemerintah Hindia Belanda memanggil BRMH Surarjo yang sedang belajar di Jakarta sehubungan dengan akan berakhirnya tugas dewan perwalian.


Paku Alam VII

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam VII bersama oditur Militer Belanda
BRMH Surarjo (lahir di Yogyakarta, 9 Desember 1882 – meninggal 16 Februari 1937 pada umur 54 tahun) adalah putra Paku Alam VI dari permaisuri. Ia ditinggal mangkat oleh ayahnya saat masih menyelesaikan studi di HBS Semarang. Sambil menunggu Surarjo menyelesaikan studi, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat sebuah Raad van Beheer/Dewan Perwalian Pakualaman untuk menyelenggarakan pemerintahan Pakualaman sehari-hari. Akhirnya pada 16 Oktober 1906 ia diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa tahta Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo. Namun upacara resmi pentahtaan baru dilaksanakan pada 17 Desember tahun yang sama.
Setelah bertahta Prabu Suryodilogo, bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda, mengadakan beberapa pembaruan dibidang sosial dan agraria. Kemudian ia juga mereformasi bidang pemerintahan dengan mulai menerbitkan rijksblad (semacam lembaran Negara) untuk daerah Pakualaman. Pengertian yang konservatif secara berangsur digantikan dengan pikiran yang modern dan berpandangan luas. Pada 10 Oktober 1921 pengganti Paku Alam VI menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi pangkat Kolonel tituler. Pembaruan tidak berhenti pada tahun itu tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan pengelolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga Negara (kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga Negara (kawulo gubermen).
Disamping pemerintahan perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Pagelaran wayang orang berkembang dengan baik. Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri ia acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan (tari-tarian klasik). Dalam bidang pendidikan ia mengijinkan sekolah-sekolah berdiri di daerah Adikarto (bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang) serta mengadakan sebuah lembaga beasisiwa untuk menjamin kelanjutan studi bagi mampu melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Seluruh putra-putrinya ada 7 orang. Ketika putra mahkota berkunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam mangkat. Ia meninggal pada 16 Februari 1937 dan dimakamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo Adikarto (sekarang bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).


Paku Alam VIII

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paku Alam VIII
Penguasa Paku Alam di Yogyakarta ke-8
Masa jabatan
1937 – 1998
Didahului oleh Paku Alam VII
Digantikan oleh Paku Alam IX
Gubernur DI Yogyakarta ke-2
Masa jabatan
1988 – 1998
Presiden Soeharto
Didahului oleh Hamengkubuwono IX
Digantikan oleh Hamengkubuwono X
Wakil Gubernur DI Yogyakarta ke-1
Masa jabatan
1945 – 1988
Presiden Soekarno
Soeharto
Gubernur Hamengkubuwono IX
Didahului oleh Tidak ada, Jabatan baru
Digantikan oleh Paku Alam IX
Informasi pribadi
Lahir 10 April 1910
Yogyakarta
Meninggal 11 September 1998
Agama Islam
Tanda tangan
BRMH Sularso Kunto Suratno (lahir di Yogyakarta, 10 April 1910 – meninggal 11 September 1998 pada umur 88 tahun) adalah Raja Pakualaman VIII yang diangkat sebagai KPH Prabu Suryodilogo pada 4 September 1936.

Sejarah hidup

Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - sampai tingkat candidaat). Pada 13 April 1937 ia ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah kedatangan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942 ia mulai menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.
Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII mengirimkan telegram kepada Sukarno dan Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat/Maklumat (semacam dekrit kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah Istimewa. Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober tahun yang sama, ia berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.
Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada tahun 1998. Perlu ditambahkan bahwa pada 20 Mei 1998 ia bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya ia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar