Sabtu, 03 September 2016

Suku Hakka dan Bahasa Hakka

Hakka


Hakka
客家

Lee Kuan Yew.jpgSun Yat Sen portrait.jpg Thaksin DOD 20050915 (crop).jpg
DengXiaoping.jpg Chow Yun Fat 2.JPG Wakil Gubernur DKI Basuki TP.jpg
Lee Kuan Yew, Sun Yat Sen, Thaksin Shinawatra, Deng Xiaoping, Chow Yun Fat, Basuki Tjahaja Purnama
Jumlah populasi
perkiraan 30 - 45 juta
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Republik Rakyat Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Jamaika, Myanmar, Britania Raya, Panama, Reunion, Kamboja, Guyana Perancis
Bahasa
Hakka dan bahasa nasional negara masing-masing
Agama
Sebagian besar Buddhisme Mahayana, Konfusianisme, Taoisme, Kepercayaan tradisional Tionghoa, sebagian kecil Kristen.
Kelompok etnik terdekat
Kelompok suku Han lain, Orang She
Hakka (Kèjiā 客家) adalah salah satu kelompok Tionghoa Han yang terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Hakka merupakan kelompok Han terakhir yang bermigrasi ke selatan dari Tiongkok Utara secara bertahap semenjak abad ke-4 M dikarenakan bencana alam, perang dan konflik.[1] Migrasi Hakka keluar dari Tiongkok juga terjadi secara besar-besaran, sehingga sekarang komunitas Hakka tersebar di berbagai provinsi di Tiongkok dan negara-negara di dunia. Orang Hakka merupakan kelompok salah satu kelompok terbesar Tionghoa seberang laut.

Daftar isi

Istilah Hakka

Pada awalnya, istilah "Hakka" tidak merujuk kepada suatu kelompok tertentu.[2] Istilah "ke" (客) atau "pendatang" pertama kali muncul di catatan registrasi penduduk pada zaman Dinasti Song untuk menyebut para pendatang yang telah pergi dari daerah mereka dan tinggal di berbagai bagian negeri.[2]
Istilah "Hakka" berasal dari istilah Bahasa Kanton yang pertama kali menggunakannya sebagai istilah tidak bersahabat.[3] Karena hadir di lingkungan baru, masyarakat lokal menyebut mereka "Hakka" atau "tamu". Istilah ini kemudian diterima oleh orang Hakka sebagai nama kelompok mereka.[3]

Sejarah

Museum Hakka Indonesia di Jakarta, Indonesia.
Asal usul Hakka masih menjadi perdebatan para sejarawan[2] dikarenakan perpindahan berulang kali, sedangkan catatan tertulis tidak ditemukan. Mereka memiliki kaitan dengan sub grup Tionghoa lainnya yang berpindah ke Tiongkok selatan.[4] Perpindahan suku Han termasuk Hakka dari Tiongkok utara secara besar-besaran terjadi berkali-kali dikarenakan berbagai alasan seperti peperangan atau bencana alam. Para sejarawan menyimpulkan perpindahan mereka secara bertahap.[5] Beberapa memperkirakan migrasi Hakka paling awal telah terjadi sejak periode Dinasti Qin, tepatnya pada masa pemerintahan Kaisar Qin Shihuang dimana telah terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari Zhong Yuan, daratan tengah yang disebutkan sebagai asal mula orang Tionghoa, yang sekarang meliputi Henan, Shaanxi, Shanxi, Hebei dan Shandong.[4] Sementara yang lain menyetujui abad ke-4 M sebagai awal mula. Peneliti asing seperti Huntington dan Campbell merumuskan "teori perpindahan 3 gelombang" yang dimulai pada abad ke-4 M.[5] Sementara D. Ball dan E J Eitel di akhir abad ke-19 merumuskan "teori 5 gelombang" yang akhirnya disempurnakan oleh Luo Xiang-lin menjadi teori klasik migrasi Hakka.[5]

Teori Lima Gelombang

  • Gelombang Pertama (317-879), saat Tiongkok diserbu oleh suku Xiongnu dan ibukota Dinasti Jin (265-420) dipindahkan dari Luoyang ke Chang'an (311). Perpindahan ini diikuti eksodus rakyat yang meninggalkan kediaman asal menyeberangi sungai Yangtze menuju Hunan, Hubei selatan, Anhui, Zhejiang dan Lembah Sungai Gan di Jiangxi.[4]
  • Gelombang Kedua (880-1120) terjadi pada akhir periode Dinasti Tang, ketika terjadi Pemberontakan Huang Chao.[5] Penduduk Tang di Anhui, Henan dan Jiangxi berpindah ke selatan sampai Fujian dan sebelah utara Guangdong.
  • Gelombang Ketiga (1127-1644) terjadi selama zaman Dinasti Song, kedatangan suku Jurchen memaksa suku Han untuk pindah ke selatan sampai akhirnya, Kaisar Gaozong berhasil melewati Sungai Yangtze dan mendirikan Dinasti Song Selatan pada tahun 1127.[4] Perpindahan lain terjadi ketika bangsa Mongol menguasai Tiongkok pada periode ini.
  • Gelombang Keempat terjadi pada awal zaman Dinasti Qing (1644-1911). Disebabkan populasi yang meningkat pesat, lahan pertanian berkurang serta tekanan pemerintahan Qing, orang Hakka yang tinggal di pesisir selatan Fujian dan Guangdong, pindah ke pedalaman menuju Guangxi, Hunan dan Sichuan, selain itu, banyak yang pindah ke Taiwan, Asia Tenggara, Afrika, Hawaii dan Kepulauan Karibia.
  • Gelombang Kelima (1867) terjadi setelah orang Hakka berperang dengan penduduk Guangdong, orang Punti dan setelah dipadamkannya Pemberontakan Taiping yang dipimpin orang Hakka, Hong Xiu-chuan. Mulai periode ini orang Hakka sudah keluar dari Guangdong ke Hainan, Asia Tenggara dan negara-negara di Amerika Selatan.

Periode Dinasti Qing dan kemunculan identitas Hakka

Pada abad ke-17, pemerintahan Dinasti Qing memerintahkan pengosongan penduduk dari daerah pesisir Guangdong dan Fujian untuk mencegah pembajakan dan penyelundupan oleh para pendukung Zheng Chenggong, pengabdi Dinasti Ming yang telah menyeberang ke Taiwan. Setelah Taiwan ditaklukkan pada tahun 1863, pemerintah menarik perintah pengosongan, namun sedikit orang yang kembali menempati daerah yang telah dikosongkan. Oleh karena itu, pemerintah memberikan insentif untuk penduduk yang menempati daerah itu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang berasal dari daerah yang kelebihan penduduk atau terkena bencana alam. Kebanyakan dari mereka adalah orang Hakka.[6] Kedatangan mereka ke wilayah yang telah berpenduduk membuat mereka mendapat julukan "Hakka" oleh orang Punti atau "Khek" oleh orang Hoklo, yang keduanya bermakna "tamu" atau "pendatang". Pada periode akhir Qing, perpindahan Hakka semakin sporadis sebagai akibat kekalahan Pemberontakan Taiping yang dipelopori orang Hakka terhadap pemerintah Manchu sekaligus konflik dengan penduduk asli dalam Perang Hakka-Punti di Guangdong, menyebabkan ribuan pengungsi Hakka bermigrasi ke Hainan, Taiwan, Asia Tenggara, Hawaii dan sebagainya.[1]

Karakteristik

Identitas yang menunjukkan karakteristik utama Hakka antara lain diperlihatkan dengan penggunaan bahasa tutur (Bahasa Hakka) serta tradisi dan budaya Hakka. Hakka tidak termasuk ke dalam 56 kelompok suku bangsa di Tiongkok, dengan demikian sebutan suku, ras, atau bangsa tidak tepat. Untuk melengkapi kategorisasi yang kabur ini, sejarawan memasukkan kategori Hakka ke dalam "garis keturunan" (minxi) dari Suku Han (Kejia Minxi). [7]
Pada awalnya Hakka seringkali dipandang rendah oleh kelompok Han lain bahkan dianggap kurang beradab karena sebagian besar tidak mempunyai tanah dan miskin.[1] Namun, orang Hakka mempertahankan jati diri dan sejarah asal usul dari Tiongkok Utara yang merupakan pusat kebudayaan Tionghoa, sehingga menganggap mereka Tionghoa murni yang mewarisi peradaban tinggi. Keyakinan asal dari utara dipegang teguh oleh orang Hakka. Walaupun telah pindah dan menetap di berbagai daerah lain di Tiongkok, orang Hakka masih mempertahakan bahasa dan kebudayaan dikarenakan kebiasaan berpindah dalam kelompok besar dan menetap bersama di tempat baru untuk mengisolasi diri.[7]
Di Tiongkok selatan, orang Hakka merupakan pendatang terakhir di tanah orang lain dan seringkali harus bertahan hidup di tanah yang tidak subur. Mereka dianggap rendah dan tidak diterima sehingga membentuk sifat yang ulet, berani, gigih dan tabah.[1] Konflik dengan penduduk asli menyebabkan mereka menjadi komunitas yang memiliki solidaritas tinggi dan saling berhubungan erat. Kaum pria memiliki tugas berat di luar rumah, sementara wanita bekerja keras mengurus rumah dan ladang. Berbeda dari wanita Tionghoa kelompok lain, wanita Hakka menolak mengikat kaki[8] karena tidak sesuai dengan peran dan pekerjaan. Oleh karena itu, mereka sering diejek berkaki jelek dan besar. Mereka independen dan memiliki kedudukan yang sama dengan pria. Penolakan mengikat kaki kemungkinan dikarenakan alasan kemisikinan. Wanita hakka yang sudah tua seringkali berperan dalam mengambil keputusan rumah tangga. Selain persepsi negatif, kelompok Tionghoa lain juga menganggap orang Hakka jujur, pekerja keras dan sederhana. Konflik yang terus-menerus dengan penduduk asli menyebabkan orang Hakka berani mengambil resiko untuk keluar dari tempat asal dan berimigirasi ke berbagai tempat di Tiongkok dan luar negeri.[9]

Tempat asal

Daerah asal orang Hakka secara garis besar dapat dibagi menjadi empat daerah utama, yakni: Meizhou, Ganzhou, Tingzhou dan Huizhou. Sedangkan daerah Shibi yang berbatasan dengan Provinsi Jiangxi, di Kabupaten Ninghua, Provinsi Fujian merupakan daerah pusat pembentukan Hakka, dan mendapat julukan sebagai "tanah leluhur Hakka".

Meizhou

  • Meizhou terletak di daerah timur laut Provinsi Guangdong, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Fujian, sebelah selatan berbatasan dengan Chaozhou, Jieyang dan Shanwei (Guǎngdōng). Meizhou dijuluki "ibukota Hakka".

Ganzhou

Ganzhou yang memiliki nama lain "Qian" merupakan pintu masuk ke wilayah Provinsi Jiangxi dari sebelah tenggara. Daerahnya diapit Provinsi Fujian, Guangdong dan Hunan.

Tingzhou

Tingzhou atau Minxi, merupakan daerah pemukiman Hakka di bagian barat Provinsi Fujian. Tingzhou terbagi atas kabupaten Changting, Liancheng, Wuping, Shanghang, Yongding, Ninghua, Qingliu dan Mingxi.

Bahasa

Bahasa Hakka (Hakka-fa;客家話) merupakan salah satu dari tujuh bahasa utama di Republik Rakyat Tiongkok. Walau saling terpisah-pisah, para penutur Bahasa Hakka yang berbeda logat dan dialek dapat berbicara satu sama lain. Kemana pun mereka pindah, orang Hakka masih mempertahankan kebudayaan, terutama bahasa.[1] Bahasa Hakka memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan Bahasa Mandarin daripada bahasa Tionghoa lain. Bahasa Hakka Meixian (Moiyan Hakka-fa;梅县客家話) terdiri dari 6 nada menjadi bahasa standar.
Kontak dengan berbagai kelompok tuturan berbeda-beda di tempat yang mereka tempati menghasilkan logat dan dialek yang dipengaruhi bahasa setempat.[1] Di Jiangxi bagian selatan terdapat penutur Bahasa Hakka yang dipengaruhi Bahasa Gan, selain itu terdapat pula Hakka-Fuxi (Fujian Barat), Hakka-Tiochiu, Raoping, Hongkong, Guangxi, Siyen (Taiwan), Chuanxiang (Hunan-Sichuan) dan Pulau Hainan. Selain itu, varian lain muncul di Asia Tenggara yang umumnya merupakan kumpulan penutur cabang dari wilayah utama Tiongkok, antara lain, "Ngai" (kawasan teluk Tonkin, Vietnam), Malaysia (Kuala Lumpur, Sabah, Sarawak), Thailand, Aceh, Bangka-Belitung, Jawa, Kalimantan Barat dan Timor. Penutur Hakka lain terdapat di Mauritius, India, Jamaika, Suriname, Inggris, Kanada dan sebagainya. Di Indonesia, ragam Bahasa Hakka tercipta sebagai hasil dari pergaulan dengan etnis Nusantara.[1]

Arsitektur

Tempat tinggal orang Hakka dikenal dengan sebutan Tulou (客家土楼 rumah tanah). Tulou terdiri dari berbagai jenis bentuk, ada yang berbentuk bulat, persegi empat, bentuk U, setengah bulat, bentuk segi delapan seperti bentuk bagua dan sebagainya.

Hakka (linguistik)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Bahasa Hakka)
Bahasa Hakka
客家話
Dituturkan di Republik Rakyat Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Mauritius dan komunitas Tionghoa Hakka lainnya di seluruh dunia
Wilayah Timur laut, timur dan selatan Provinsi Guangdong, barat daya dan selatan Fujian dan tenggara Guangxi di Tiongkok, Sichuan
Penutur bahasa
45 juta  (date missing)
Sino-Tibet
 Bahasa Tionghoa
  Bahasa Hakka
Status resmi
Bahasa resmi di
Tidak ada.
Diatur oleh Tidak ada
Kode bahasa
ISO 639-1 zh
ISO 639-2 chi (B) / zho (T)
ISO 639-3
Bahasa Hakka (Hanzi: 客家話; Pha̍k-fa-sṳ: Hak-kâ-fa, Pinyin: Kèjiāhuà; secara harafiah berarti "bahasa keluarga tamu")[1] atau di Indonesia umumnya dipanggil Khek adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Hakka, yakni suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana mereka tinggal.

Daftar isi

Sejarah

Menurut ahli bahasa Hakka di awal abad ke-20 Donald Maciver, Bahasa Hakka di satu sisi masih berkerabat dengan Bahasa Kanton dan di satu sisi dengan Bahasa Mandarin.[1] Bahasa Hakka diwariskan dari bahasa rakyat Tiongkok Utara yang mengungsi ke selatan Tiongkok sejak periode Dinasti Song dan Dinasti Yuan.[1] Bahasa ini mendapatkan namanya dari penyebutan kelompok penuturnya oleh orang Kanton di Provinsi Guangdong "Hakka".[1] Di daerah lain seperti di Jiangxi atau Fujian, umummnya tidak mengenal istilah Hakka, melainkan "Thú-fa" yang berarti "Bahasa Lokal" untuk membedakan mereka dengan penutur bahasa lain.[1] Meixian, dahulu dinamakan Jiayingzhou (Hakka: Ka-yin-chu) adalah konsentrasi Hakka terbesar di Guangdong, maka bahasa Hakka standar adalah Bahasa Hakka dialek Meixian.[1]

Dialek-dialek Bahasa Hakka

Fonologi Dialek Standar Meixian

Vokal

Konsonan

Terdapat dua plosif dan afrikat dalam Bahasa Hakka: tenuis /p t ts k/ dan aspirasi /pʰ tʰ tsʰ kʰ/.

Bibir Dental Langit-langit Velar Glotal
Sengau /m/ m /n/ n [ɲ] ng(i) ~ /ŋ/ ng*
Letup tenuis /p/ b /t/ d
/k/ g (ʔ)
aspirasi /pʰ/ p /tʰ/ t
/kʰ/ k
Afrikat tenuis
/ts/ z ~ [tɕ] j(i)*

aspirasi
/tsʰ/ c ~ [tɕʰ] q(i)*

Frikatif /f/ f /s/ s ~ [ɕ] x(i)*   /h/ h
Aproksiman /ʋ/ v /l/ l /j/ y    

Nada

Nada Meixian
Nomor nada Nama nada Hanzi Huruf nada Nomor Bahasa Indonesia
1 yin ping 陰平 ˦ 44 tinggi
2 yang ping 陽平 ˩ 11 rendah
3 shang ˧˩ 31 rendah-jatuh-naik
4 qu ˥˧ 53 tinggi turun
5 yin ru 陰入 ˩ʔ 1 rendah plosif
6 yang ru 陽入 ˥ʔ 5 tinggi plosif

Penutur Bahasa Hakka di Indonesia

Penutur bahasa Hakka di Indonesia terbanyak terdapat di Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Pulau Jawa dan berbagai daerah lainnya. Terdapat dua dialek Bahasa Hakka yang besar jumlah penuturnya di Indonesia yakni Dialek Meixian dan Dialek Lufeng.[2] Penutur Dialek Meixian tersebar di Jakarta[2], Aceh, Belitung[3], Pontianak[3], sedangkan penutur Dialek Lufeng dapat ditemukan di Pulau Bangka[3], dan sebagian besar Kalimantan Barat.[2]
Penelitian tentang Bahasa Hakka awalnya banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Belanda, terutama di Hindia Belanda dimana banyak orang Hakka tinggal.[4] Het Loeh-Foeng-Dialect disusun pada tahun 1897 oleh Simon Hartwich Schaank (1861-1935), seorang pegawai Belanda yang bertugas di Kalimantan Barat. Buku ini berisi tentang Bahasa Hakka yang Dialek Lufeng (Liuk-fung) asal Provinsi Guangdong yang dituturkan orang Hakka di Kalimantan Barat.[4] Hakka Woordenboek (tahun 1912) adalah kamus Hakka-Belanda yang ditulis oleh pegawai sipil Peter Adrian van de Stadt (1876-1940) berisi tentang Bahasa Hakka yang dituturkan di Bangka Belitung.[5] Kamus tersebut ia tulis untuk tujuan praktis yang hanya berfokus pada bahasa lisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar