Mangkunegara I
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias
Pangeran Sambernyawa alias
Raden Mas Said (lahir di
Kraton Kartasura,
7 April 1725 – meninggal di
Surakarta,
28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri
Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh,
gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa
kematian bagi musuh-musuhnya.
Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"
Riwayat
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada
30 Juni 1742 yang dipimpin oleh
Raden Mas Garendi
(juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton
Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu
melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia
bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat
dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu
tertindas oleh Kumpeni Belanda (
VOC) dan Rajanya sendiri
Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di
Batavia.
Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan
boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal
1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said
membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia
bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai
panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah
dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari
ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan.
VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di
Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana
Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura
mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo
(Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus
dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga
Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC.
Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan
dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan
Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang
bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam
usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten,
Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran
Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama
Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara
Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih
berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan
Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji
dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian
melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya,
Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman
Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui
Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja
Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar
Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin
Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau
1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri–
sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya
menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara
berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai
kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah
Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian
menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian,
pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui
Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan
kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham,
pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan
tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku
Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar
Paku buwuno III, pada akhir 1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan
Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan
Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752.
Perjanjian Giyanti pada
13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa
Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua,
Surakarta dan
Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan
Pakubuwono III &
Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (
VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto
tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari
mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal
sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari
sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh
musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam
strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani
lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff,
yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang
satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi
kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan
perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa
Kasatriyan, barat daya kota
Ponorogo,
Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari
Jumat Kliwon,
tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa
Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai
daerah
Madiun,
Magetan, dan
Ponorogo.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan
komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri
Rembang, tepatnya di
hutan Sitakepyak
Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan
pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan
Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”.
Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur
musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita
luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang
kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang
berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (
Senin Pahing,
17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro
berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan
diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan
benteng Vredeburg Belanda dan
keraton Yogya-Mataram (
Kamis
3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh
kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan
menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik
menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih
Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan
mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa
puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas,
ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya
pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini
berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya
menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang
amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta
kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap
Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan
dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro
ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat
membunuh Mangkunegoro.
Perjanjian Salatiga
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut,
Nicholas Hartingh,
pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta
Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui
Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan
bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC.
Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan
dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar
500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian
dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam
Perjanjian Salatiga,
17 Maret 1757.
Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon
kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa
Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan
Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan
saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa
Said diangkat sebagai
Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya
sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama
kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman
sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara
sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah
lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".
demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III
di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah
Kedaung,
Matesih,
Honggobayan,
Sembuyan,
Gunung Kidul,
Pajang sebelah utara dan
Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir
Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai
Istana Mangkunegaran.
Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan
wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia
menerapkan prinsip
Tridarma.
Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu
peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton
bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).
Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita
di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan
dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC.
Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat
senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris
wanita mencatat kejadian di peperangan.
Tarian Ciptaan Mangkunegoro
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu :
- Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Gelar Pahlawan Nasional
Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan
nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang
Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih,
Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia
bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795
Putra Mahkota
Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai
oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM.
|Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara 'Kartasura".
Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar
seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra
sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini
adalah putra mahkota kerajaan Mataram.
Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok
RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran
Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom"
yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra
mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non
keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah
menjadi Hamengkunegara.
Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di
kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai
penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun
oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan
lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa
diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap
meledak.
Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra
mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu
saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan
peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah
menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam
pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak
stabilan kerajaan.
Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga
kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda
melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan
kantong pribadinya.
Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah
dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas
limit perjuangan.
Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi
Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian
menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram;
Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang
mataram yang muda berada ditangan putra mahkota.
Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang
sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan
dan menjelma menjadi Mangkunegaran.
Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan
belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik.
Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai
yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra
mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer
kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus
dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa
tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi
masing masing kerajaan.
Mangkunegara II
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
KGPAA. Mangkunegara II |
|
Mangkunegara II |
Adipati Mangkunegaran |
Masa jabatan
1796–1835 |
Didahului oleh |
Mangkunegara I |
Digantikan oleh |
Mangkunegara III |
Informasi pribadi |
Lahir |
BRM. Sulomo |
Agama |
Islam |
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (disingkat K.G.P.A.A. Mangkunegara II atau Mangkunegara II saja) adalah raja yang kedua di Negeri
Mangkunegaran. Nama kecilnya ialah
Raden Mas Sulomo, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah
Pangeran Surya Mataram,
Pangeran Surya Mangkubumi, dan
Pangeran Adipati Prangwadana. Ia adalah cucu sekaligus penerus tahta pendahulunya,
Mangkunegara I. Ayahnya ialah
Pangeran Arya Prabuwijaya, putra dari Mangkunegara I yang meninggal dalam usia muda, sedangkan ibunya ialah Ratu Alit, cucu dari
Paku Buwono III. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun (1796-1835).
Asal usul
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II berasal dari keluarga
Pangeran Arya Prabuwijaya yang lahir dari
Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah
Paku Buwono III dan
Mangkunegara I. Tampil sebagai raja di Negeri
Mangkunegaran
menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II
menggantikan Kakeknya merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi
di Istana
Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.
Kanjeng gusti pangeran Adipati Arya Mangkunegara II berasal dari
Dinasti
pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal
suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang
calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan
dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang
tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti
dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya
Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah
tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II merupakan seorang penguasa di wilayah Kadipaten
Mangkunegaran yang selama masa pemerintahannya disibukan oleh perang dan perluasan wilayah sehingga dibandingkan dengan
Mangkunegara yang lainnya penguasa kedua di Negeri
Mangkunegaran ini bisa dikatakan tidak menghasilkan karya seni dibidang seni tari.
Pada masa muda dalam asuhan kakeknya
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I persiapan untuk menjadi pengganti kakeknya telah dialihkan dari ayahnya
Pangeran Arya Prabuwijaya
kepada dirinya dalam suasana situasi antar kekuasaan di Jawa sedang
dalam ketidak ramahan.penentuan tapal batas wilayaj kekuasaan dengan
tetangga tidak jarang menimbulkan ketegangan ketegangan baru yang
berujung pada perang terbuka.Mulai dari pengalaman pengalaman masa
mudanya dalam asuhan langsung kakeknya ini, Mangkunegara II selanjutnya
tumbuh menjadi seorang pemimpin yang dalam kepemimpinannya mengikuti
jejak kakeknya yang legendaris
Pangeran Sambernyawa.
Rivalitas antar kekuasaan yang sering dikipas kipas oleh Belanda demi
mempertahankan neraca keseimbangan perpolitikan antar kerajaan pada
masa masa sebelum pembubaran VOC sering dipertahankan karena Belanda
sedang menyadari bahwa kekuatan pemaksa militernya adalah lemah.
Belanda yang dalam kondisi lemah militer tidak jarang terjebak dalam
situasi rumit dengan pematangan intrik dan desas desus yang memanaskan
situasi sehingga dalam keadaan semacam ini adalah merupakan suatu
keadaan super ideal bagi Mangkunegara untuk bermain di air yang keruh.
Pangeran Adipati Prangwadana
Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (II), RM Sulomo adalah
Pangeran Prangwadana yang menjabat sebagai Komandan Legiun
Mangkunegaran
dengan pangkat Kolonel. Sistem asing disini telah menggantikan sistem
kepangkatan yang telah lama dipergunakan oleh para militer di Jawa.
Pada zaman Daendels sebelum Raffles kedudukan
Mangkunegara
sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang
dituakan. Mangkunegaran menjadi satu-satunya Kraton di jawa yang tidak
dilucuti kekuatan militernya.
Pemerintahan
Mangkunegara II adalah sebutan untuk
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah
sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas
tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya
bernama
RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar
Pangeran Surya Mataram dan
Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan
Ratu Alit dan
Pangeran Arya Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari
Paku Buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar
Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri
Paku Buwono III
sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.
Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
Nama
Pangeran Surya Mataram
sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan
yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan;
Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi
Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan
Hamengku Buwono I.
Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah
ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal
mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga
bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang
akan menyeret kembali
Belanda
kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali
keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan
Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama
Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.
Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor
kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan
dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran
kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan
dan
Mangkunegaran
cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang
berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan
lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan
Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran
telah berhasil membaca tanda tanda zaman.Tiga Serangkai Penguasa
kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh zaman dalam mempertahankan dan
mengembangkan eksistensi Kerajaannya.
Perluasan wilayah kerajaan
Dalam pemerintahan Mangkunegara II, daerah
Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah. Penambahan pertama terjadi pada tahun 1813 semasa
Raffles menjabat Letnan Gubernur Jawa, yaitu sebanyak 240
jung[1] atau 1.000
karya, sehingga luas wilayah menjadi menjadi 5.000
karya atau 3.500 hektare.
[2] Penambahan ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Inggris memerangi
Sultan Sepuh dari Yogyakarta dan
Pakubuwana IV dari Surakarta.
[2] Wilayah tambahan tersebut yaitu di Keduwang (72
jung), Sembuyan (12
jung), Sukawati bagian timur (95,5
jung), Sukawati bagian barat (18,5
jung), serta lereng bagian timur Gunung Merapi (29,5
jung).
[2]
Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830 sebanyak 120
jung atau 500
karya di Sukawati bagian utara, sehingga luas keseluruhan daerah Mangkunegaran menjadi 5.500
karya atau 3.850 hektare.
[2] Penambahan semasa Gubernur Jenderal
Van den Bosch ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Belanda memerangi
Diponegoro.
[2]
Komandan Legiun Mangkunegaran
Mangkunegara II adalah komandan dan penguasa pertama Mangkunegaran
dalam sejarah Legiun Mangkunegaran. Kolonel adalah pangkat tertinggi di
Korps militer bergengsi keprajuritan Mangkunegaran.
Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara
(II), RM Sulomo adalah Pangeran Prangwedana yang menjabat sebagai
komandan Legiun Pasukan Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel. Sistem
asing disini telah menggantikan sistem kepangkatan yang telah lama
dipergunakan oleh para militer di Jawa.Secara historis keberadaan Legiun
Mangkunegaran dengan Komandannya merupakan warisan dan kelanjutan dari
kakeknya dan formasi pasukan-pasukan pilihan sebelumnya. Kakeknya dalam
kepangkatan militer bisa meraih jenjang Jenderal sedangkan Mangkunegara
II dan para penggantinya hanya mencapai jenjang Kolonel.
Konflik di Yogyakarta
Situasi Kekuasaan Jawa Permulaan Tahun 1800 M
Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam
konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta
yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan.
Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran
Natakusuma diangkat sebagai
Paku Alam I dengan gelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya. Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.
Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah
Hamengku Buwono II.
Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan
rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya
pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan
ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan.
Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut
kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda.
Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran
sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa.
Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Tahun 1807
Daendels
datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan
aturan aturan baru semacam protokoler kepada penguasa penguasa setempat
termasuk para raja di Jawa.
Paku Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.
Mangkunegaran
yang terampil dan cepat membaca perubahan zaman dengan segera merespon
dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan.
Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima
risiko kemerosotan Kerajaan.
Kekuatan Eropa di Jawa
Berbeda dengan
Belanda,
kekuatan Eropa yang datang pada tahun 1800-an itu memiliki militer
sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa,
kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap
berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam
kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada
kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat di samping juga
kelompok Putra Mahkota (calon
Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni
Tan Jiem Sing (kelak bergelar
Tumenggung Secadiningrat). Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur
Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; yaitu Kasultanan dan Gubernur Belanda.
Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.
Intervensi Eropa di Jawa
Dalam dua periode Gubernur Jenderal (
Daendels dan
Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa
Hamengku Buwono II turun tahta. Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta. Daendels menurunkan
Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai
Hamengku Buwono III
dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai
tawanan. Pada bulan Juli 1812 gantian Raffles dengan 2.000 tentara
menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi
yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan
terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan
dijual ke Belanda dan ditinggalkan
Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak
Pangeran Prangwadana dari
Mangkunegaran untuk mengerahkan
Legiun Mangkunegaran mendukung pasukan
Natakusuma.
Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki
kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang
sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak
segan-segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan
kekuasaan dan penguasa tradisional di
Jawa. Korban pertama dengan datangnya
Daendels ke
Jawa adalah
Banten. Oleh
Daendels Kasultanan Banten dibubarkan.
Destabilisasi Kraton Yogyakarta
Pada masa
Raffles memerintah
Jawa menggantikan
Jansens, Kasultanan
Yogyakarta
terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun
Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan
penyelesaian berdirinya Kadipaten
Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di
Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.
Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan
Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan
Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran
Natakusuma.
Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang
berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah
menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih zaman
Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.
Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta
Konflik kekuasaan di
Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran
Natakusuma sebagai
Paku Alam
yang dihadiri oleh Mangkunegara II yang dalam pelantikan mewakili
Surakarta. Peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta menemukan
bentuk baru dalam kedudukannya sebagai Pangeran merdeka. Purna sudah
pembagian
Mataram kedalam dua keraton dan dua kadipaten.
Menyikapi Perang Jawa 1825-1830
Dalam tahun 1825 sampai tahun 1830 di Jawa dilanda perang yang
menghadapkan Belanda pada Pasukan Pasukan Dipanegara. Dalam perang ini
Mangkunegara II mengambil sikap netral dan berjaga jaga diperbatasan wilayah Kasultanan dan
Mangkunegaran.Sikap berjaga jaga ini sebagai upaya untuk membendung Perang Dipanegara tidak menjalar ke wilayah
Mangkunegaran
serta menutup kemungkinan kemungkinan para pelarian perang memasuki
wilayah praja sehingga menyeretnya masuk dalam kancah perang.
Mangkunegara II baru terlibat dalam perang jawa ini ketika Sultan
Hamengkubuwana V
terjebak dalam kepungan pasukan Dipanegara dan Mangkunegaran dimintai
bantuan untuk mengusir pasukan pasukan pengepung. Kasultanan Yogyakarta
yang dalam perang Jawa terdesak oleh pasukan pasukan Dipanegara dengan
Sultan
Hamengkubuwana V
terkepung, meminta bantuan pasukan yang disampaikan melalui Belanda
untuk membantu menghalau pasukan pasukan Pangeran Dipanegara.
Mangkunegaran sebagai Kadipaten sosok pemimpinnya disebut sebagai
Adipati yaitu Raja muda karena asal muasal Mendirikan Mangkunegaran
adalah untuk membangkitkan kembali Sosok Putra Mahkota Mataram yang
tergusur yaitu
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara
Kartasura.Nama dari Mangkunegara yang tergusur di kartasura adalah
orang tua dari pendiri Mangkunegaran yang terkenal dengan nama
Pangeran Sambernyawa.
Di bawah pemerintahan
Mangkunegara II Kekuatan milter atau Legiun Mangkunegaran akhirnya tidak bisa bersikap netral kembali sehubungan dengan keselamatan
Sultan Hamengkubuwana V
berada dalam posisi terkepung oleh Pasukan lawan.Kolonel Wiranegara
komandan pasukan Kasultanan mengajukan bantuan pasukan untuk menerobos
kepungan kepada pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya menyampaikan
kepada pihak Mangkunegaran untuk memenuhinya.
Sultan Hamengkubuwana V dengan dibantu oleh pasukan dari
Kasultanan, Kasunanan, Paku Alaman dan Mangkunegaran akhirnya dapat
diselamatkan dari kepungan dan penangkapan.
Konfigurasi Kekuasaan Setelah Perang Jawa
Bertambahnya satu pusat kekuasaan di Paku Alaman menambah peta
Politik tradisional di jawa bahwa Mataram yang terbagi dalam dinasti
tetap membawa corak asli yang dipadu dengan "yang baru". Mangkunegaran
sebagai satu dari kekuatan tradisional mengambil langkah dan membawa
corak yang memberikan nuansa baru bagi pergantian suatu tahta. Paska
perang Jawa Mangkunegara II masih memegang tampuk pemerintahan sampai
wafatnya 1935.Selanjutnya Mangkunegara II dimakamkan di Astana Mangadeg
di wilayah Matesih Karang Anyar satu komplek dengan kakeknya
Pangeran Sambernyawa.
Mangkunegara III
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
KGPAA. Mangkunegara III |
|
Mangkunegara III |
Adipati Mangkunegaran |
Masa jabatan
1835–1953 |
Didahului oleh |
Mangkunegara II |
Digantikan oleh |
Mangkunegara IV |
Informasi pribadi |
Lahir |
BRM. Sarengat |
Agama |
Islam |
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara III adalah raja yang ketiga di Praja
Mangkunegaran. Nama kecilnya ialah
Raden Mas Sarengat, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah
Pangeran Riyo dan
Pangeran Arya Prabu Prangwadana. Ia adalah cucu dari
Mangkunegara II yang dilahirkan oleh putrinya BRAy. Sayati, yang menikah dengan
Pangeran Natakusuma. Pemerintahan Mangkunegara III berlangsung dari tahun
1835-
1853.
Asal usul
Mangkunegara III lahir tanggal 16 Januari 1803 dengan nama Raden Mas
Sarengat. Ayahnya ialah KPA. Natakusuma dan ibunya ialah BRAy. Sayati.
KPA Natakusuma adalah putra dari KPA Kusumadiningrat, dan BRAy. Sayati
adalah putri dari
Mangkunegara II.
Kemiliteran
RM. Sarengat memasuki pendidikan Kadet Mangkunegaran saat berusia 15
tahun. Pada umur 18 tahun, ia mendapatkan gelar Kanjeng Pangeran Riyo
serta pangkat Letnan Kolonel pada Legiun Mangkunegaran. Saat berusia 21,
gelarnya berubah menjadi Pangeran Arya Prabu Prangwadana, yang
menandakan bahwa ia sudah disiapkan sebagai calon penerus tahta
kerajaan.
Pangeran Arya Prabu Prangwadana turut serta bersama kakeknya Mangkunegara II saat berlangsungnya
Perang Jawa,
dan ia ditempatkan di perbatasan antara Mangkunegaran dan Yogyakarta
yaitu di desa Jatinom dan Kapurun. Ia mendapat penghargaan bintang
militer berpangkat empat atas kontribusinya dalam perang tersebut.
Pemerintahan
Pasca peperangan Jawa, Pangeran Arya Prabu Prangwadana kemudian
bertahta pada tahun 1835 sebagai adipati di Mangkunegaran menggantikan
kakeknya. Ia dinobatkan dengan KGPAA. Mangkunegara III pada tanggal 16
Januari 1843 bertepatan dengan hari kelahirannya, yaitu saat usianya 40
tahun sebagai syarat untuk gelar tersebut.
Mangkunegara III memerintah dari
29 Januari 1835 sampai dengan
27 Januari 1853. Ia digantikan oleh adik sepupu yang juga menjadi menantunya, KPH. Gandakusuma, sebagai
Mangkunegara IV.
Wafat
Ia wafat dalam usia 50 tahun, dan makamnya terletak di
Astana Mangadeg,
Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.
Minat terhadap kesenian
Mangkunegara III memiliki minat besar terhadap kesenian
wayang purwa.
Pada masa pemerintahannya, kitab serat Dewa Ruci diperintahkannya untuk
disalin kembali. Minat terhadap kesenian tersebut kemudian dilanjutkan
oleh para penguasa Mangkunegaran selanjutnya, yang terus mengembangkan
kebudayaan Jawa terutama pewayangan dan pedhalangan di keraton
Mangkunegaran.
Mangkunegara IV
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
KGPAA. Mangkunegara IV |
|
Mangkunegara IV |
Adipati Mangkunegaran |
Masa jabatan
1853–1881 |
Didahului oleh |
Mangkunegara III |
Digantikan oleh |
Mangkunegara V |
Informasi pribadi |
Lahir |
BRM. Sudira |
Agama |
Islam |
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (
KGPAA Mangkunegara IV) lahir pada tanggal
3 Maret 1811 (Senin Pahing, 8 Sapar 1738 tahun Jawa Jumakir,
Windu Sancaya) dengan nama kecil
Raden Mas Sudira. Ayahnya bernama
KPH
Adiwijaya I sementara ibunya adalah putri KGPAA Mangkunagara II bernama
Raden Ajeng Sekeli. Oleh karena KPH Adiwijaya I adalah putera Raden Mas
Tumenggung Kusumadiningrat yang menjadi menantu Sri Susuhunan
Pakubuwono III, sedangkan R.A Sekeli adalah puteri dari KGPAA
Mangkunagara II,
maka secara garis keturunan R.M. Sudira silsilahnya adalah sebagai cucu
dari KGPAA Mangkunagara II dan cicit dari Sri Susuhunan Pakubuwono III.
Selain itu ia merupakan cicit dari K.P.A. Adiwijaya Kartasura yang
terkenal dengan sebutan
Pangeran seda ing lepen abu yang gugur ketika melawan kompeni Belanda. Masa pemerintahannya adalah sejak 1853 hingga wafatnya 1881.
Riwayat
Sejak masih anak-anak Sudira sudah dikenal kepandaian dan
kecerdasannya. Dalam Babad Mangkunagara IV diceritakan bahwa begitu
lahir, R.M. Sudira diminta oleh kakeknya, KGPAA Mangkunagara II untuk
dijadikan putera angkatnya. Bayi yang masih kecil itu diserahkan kepada
selirnya yang bernama Mbok Ajeng Dayaningsih untuk diasuh. R.M. Sudira
pada masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan formal, pendidikan
diberikan secara privat. R.M. Sudira juga mendapatkan tuntunan dari
orang-orang Belanda yang didatangkan oleh KGPAA Mangkunagara II, yang
selain untuk menuntun Pangeran Riya yang dipersiapkan sebagai K.P.
Prangwadana III, juga ditugasi mendidik R.M. Sudira terutama dalam hal
pengajaran bahasa Belanda, tulisan Latin dan pengetahuan lainnya. Di
antara gurunya adalah Dr.
J.F.C. Gericke dan
C.F. Winter.
Pada usia 10 tahun, oleh KGPAA Mangkunagara II, ia diserahkan kepada
Kanjeng Pangeran Riya yang sebenarnya masih saudara sepupunya untuk
diambil sebagai putera sulungnya.Selain itu Kanjeng Pangeran Riya juga
ditugasi untuk melanjutkan pendidikan dan pengajaran R.M. Sudira.
Sudah menjadi tradisi para putera bangsawan tinggi Mangkunagaran,
apabila telah cukup umur harus mengikuti pendidikan militer. Pada umur
15 tahun menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran.Seperti yang ditulis oleh
Letnan Kolonel H.F. Aukes bahwa ada perbedaan pendidikan kadet antara
kesatuan tentara Hindia Belanda dengan kesatuan Legioen Mangkoenegaran.
Para perwira pelatih di Legioen bukan instruktur, mereka hanya ditugasi
membantu memberikan pendidikan pelajaran, selebihnya dilatih sendiri
oleh perwira senior Legioen. Begitu lulus pendidikan selama setahun, ia
ditempatkan sebagai perwira baru di kompi 5.
Baru beberapa bulan bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar
bahwa KPA Adiwijaya I, ayahandanya mangkat. Dengan berat hati terpaksa
ia meminta izin kepada kakeknya, KGPAA Mangkunagara II yang menjadi
panglimanya agar diijinkan pulang untuk memberikan penghormatan terakhir
kepada ayahandanya. Setelah pemakaman, ia kembali ke kancah
pertempuran.Pasukan Legioen berhasil mengalahkan pasukan Pangeran
Dipanegara dan menangkap pimpinan pasukan yang dikenal bernama
Panembahan Sungki.
Setelah mendapat gelar Pangeran namanya diubah menjadi KPH
Gandakusuma. Ia menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak
lama setelah KGPAA
Mangkunagara III
meninggal tahun 1853, KPH Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA
Mangkunagara IV. Setelah kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah
dengan
R.Ay. Dunuk,
putri dalem Mangkunagara III.
Untuk informasi lebih lanjut, silakkan kunjungi :
www.mangkunegara4.org
Peninggalan
Selama bertahta, MN IV mendirikan pabrik
gula di
Colomadu (sebelah barat laut
kota Surakarta) dan
Tasikmadu, memprakarsai berdirinya
Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan rel kereta api
Solo –
Semarang, kanalisasi kota, serta penataan ruang kota. Ia menulis kurang lebih 42 buku, di antaranya
Serat Wedhatama dan juga beberapa komposisi
gamelan, salah satu karya komposisinya yang terkenal adalah
Ketawang Puspawarna, yang turut dikirim ke luar angkasa melalui
Piringan Emas Voyager di dalam pesawat antariksa nirawak
Voyager I tahun
1977. MN IV wafat tahun
1881 dan dikebumikan di
Astana Girilayu. Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahannya, Mangkunagaran berada pada puncak kebesarannya.
Mangkunegara V
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara V adalah
penerus dinasti Mangkunegaran yang bertahta relatif singkat (1881-1896).
Dari beberapa sumber tulisan Mangkunegara V disebutkan tidak memiliki
putra mahkota, padahal ia memiliki putra dan putri tetapi masih remaja
dan belum ada yang diangkat sebagai putra mahkota.
Dari putra-putranya yang potensial menggantikan kedudukannya ada dua yakni
KPH.Suryakusuma sebagai putra sulung Mangkunegara V dengan nama kecil BRM Samekto dan
RMA. Suryasuparta. Kedua putra
Mangkunegara V pada fakta sejarah tidak menggantikan ayahnya sebagai
Mangkunegara VI karena tahta kemudian jatuh kepada adik
Mangkunegara V yaitu RM.Suyitno yang menggantikan kakaknya menjadi
Mangkunegara VI.
Pemerintahan Mangkunegara V
Pemerintahan Mangkunegara V tergolong relatif singkat dan beberapa
catatan yang dapat ditulis mengenai pemerintahannya adalah sekitar
masalah meneruskan usaha bisnis Kerajaan yang telah di rintis oleh ayah
dan pendahulunya yakni
Mangkunegara IV.
Dalam masa pemerintahannya, pabrik gula mengalami defisit anggaran
dan keberlangsungan industri gula. Mangkunegara V tahun 1885 berusaha
mencari pinjaman kepada
Belanda
melalui Residen Surakarta tetapi ditolak. Penolakan ini didasarkan
karena Mangkunegara V tidak memberi kepastian penghentian model
pengurusan keuangan yang salah urus. Belanda mengusulkan soal keuangan
diserahkan kepada suatu komisi yang diangkat oleh Residen setelah
dirundingkan dengan Raja (Mangkunegara V. Dalam komisi ini Belanda juga
mengusulkan agar asisten Residen masuk dalam komisi bersama dengan para
keturunan Mangkunegara II, III, IV, dan V dalam suatu kepanitiaan.
Komisi itu dinamakan Dewan Pengawas yang mengatur urusan keuangan,
tanah dan barang barang milik Mangkunegaran. Mangkunegara V menolak
adanya komisi tersebut karena pada hakikatnya Belanda mencampuri urusan
dan mengawasi Mangkunegaran dalam urusan keuangan. Mangkunegara V
didukung oleh Patihnya
Raden Tumenggung Jaya Sarosa yang sudah menjabat patih sejak
Mangkunegara V. Masa pemerintahan
Mangkunegara V berakhir tahun 2 Oktober 1896 karena meninggal setelah mengalami kecelakaan di
Wonogiri dalam usia 41 tahun.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa mangkatnya
Mangkunegara V tidak meninggalkan putra mahkota sehingga menurut salah satu sumber dikatakan bahwa penggantinya sebagai
Mangkunegara VI adalah adiknya adalah atas persetujuan dan arahan dari ibundanya G.R.Ay. Dunuk.
Dua putra
Mangkunegara V yakni
KPH.Suryakusuma dan
RMA. Suryasuparta
secara potensial adalah generasi penerus Mangkunegara tetapi karena
suatu proses politik dan kekuasaan yang terus berjalan mengharuskan
kedua kakak-beradik itu dengan rela harus menerima keberadaan pamannya
KPH.Dayaningrat sebagai
Mangkunegara VI yang mengemban tugas menyelamatkan keuangan kerajaan yang terjebak dalam hutang kepada kerajaan Belanda.
Panggung Kesenian
Panggung kesenian
Jawa
pada masa Mangkunegara V mengalami kemerosotan yang diakibatkan oleh
berkurangnya pendanaan yang mengalir dari Istana ke Panggung sebagai
akibat dari kemunduran karena adanya kemerosotan keuangan kerajaan
sebagai akibat menurunnya produksi gula dengan munculnya komoditi gula
bit di pasaran Eropa (Rick- lefs,1991).
[butuh rujukan] Pada masa pemerintahanya, Mangkunegara V sangat mementingkan perkembangan dalam bidang seni. Kesenian
Wayang Wong gaya Surakarta yang di ciptakan oleh
Pangeran Sambernyawa dan memuncak dalam zaman
Mangkunegara IV sedikit menggelepar sebelum akhirnya seorang Tionghoa bernama
Gam Kang
dengan restu Mangkunegara V (1895) mendirikan Grup Wayang Orang
profesional di luar Istana yang pertama di Surakarta dengan nama
Wayang Wong Sriwedari.
[butuh rujukan]
Bintang Jasa Mangkunegara V
Mangkunegara V adalah pemegang bintang Singa Netherlands
Putra Putri Mangkunegara V
1. BRAj. Sutikah menikah dengan RMPj. Gondokusumo 2. KPA. Suryokusumo
menikah dengan BRaj. Catharina Bertha 3. BRAj. Samekti 4. BRAj.
Marwestri 5. BRAj. Sutantinah menikah dengan KPA. Kusumodiningrat 6.
BRAj. Sutitah 7. KPAr. Suryosutanto 8. RM. Suparto ( KGPAA Mangkunegara
VII) 9. BRM Ar. Suryosukanto 10. KPA. Suryosudarso 11. BRMA.
Suryosugiyanto 12. BRM. Suryosurarto 13. BRM. Suryosubandriyo 14. BRAj.
TgA. Daryosugondo 15. KPA. Suryosumarno 16. BRAj. PA. Mloyokusumo 17.
BRM A. Suryosuwito 18. BRM A. Suryosumanto 19. BRA. Subastutu sedo 20.
BRMA. Suryosularjo 21. BRAj. Sugiyanti sedo 22. BRM. Sukamto sedo 23.
BRM Ar. Suryosubandoro 24. BRM. Suryosumasto
Mangkunegara VI
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI (1896-1916) bernama kecil
RM Suyitno atau
KPA Dayaningrat, adalah adik dari
Mangkunegara V dan memerintah di
Mangkunegaran sebelum kemudian digantikan oleh keponakannya,
Mangkunegara VII. Lahir
1 Maret 1857, ayahnya adalah
Mangkunegara IV dan ibundanya adalah RAy Dunuk, putri dari
Mangkunegara III.
Mangkunegara V tidak digantikan oleh putranya langsung karena
puteranya belum mencapai kematangan untuk berkuasa. Menurut KPH
Gondosuputra tampilnya Mangkunegara VI sebagai penguasa menggantikan
kakaknya adalah pesan dari ayahandanya
Mangkunegara IV yang disampaikan oleh ibundanya RAy Dunuk agar
Mangkunegara V penerusnya adalah yang berasal dari
Mangkunegara IV.
Kontroversial Pergantian Tahta
Pergantian tahta dari Mangkunegara V ke adiknya yang kemudian
bergelar Mangkunegara VI menyisakan sejumlah pertanyaan, namun jalannya
pemerintahan Kadipaten tetap menjadi pertaruhan yang besar dan seakan
akan mengalahkan persoalan persoalan yang menurut ukuran Jawa adalah
yang prinsipial. Mangkunegara V yang menderita sakit akibat terjatuh
dari kuda di hutan kutu Wonogiri berkelanjutan dengan wafatnya sang
Adipati.
Sang Adipati tidak digantikan oleh puteranya tetapi oleh adiknya yang
tidak memiliki hak atas tahta, justru membuat sejarah baru dalam sistem
pergantian kekuasaan di Mangkunegaran. Berbagai argumen dapat diajukan
untuk menjawab keganjilan tetapi konsep kekuasaan bahwa pemerintahan
Praja Mangkunegaran tidak boleh kosong merupakan senjata yang paling
piawai untuk meniadakan ketidakpuasan.
Tampil Sebagai Penguasa Mangkunegaran
Mangkunegara VI mulai bertahta pada tanggal 21 November 1896, dan
selanjutnya tampil sebagai penguasa yang membawa pembaharuan dan
perubahan. Berbeda dengan kakaknya
Mangkunegara V yang mengedepankan
Kesenian,
Mangkunegara VI lebih mengedepankan keuangan dan ekonomi sehingga kas
kerajaan yang di zaman kakaknya memerintah hampir kosong oleh
Mangkunegara VI digemukkan kembali. Segala macam kebutuhan yang
menghisap keuangan dan tidak terlalu utama disingkirkan untuk efisiensi.
Keuangan
Mangkunegaran
pada masa itu sedang jatuh akibat kurang tertibnya manajemen
pengelolaan dalam bisnisnya. Di samping itu, harga gula di pasaran dunia
juga sedang jatuh karena mendapat pesaing baru dari Brasil. Pada masa
Mangkunegara VI ini, utang kerajaan yang ditinggalkan pendahulunya dapat
dilunasi.
Mangkunegara VI juga mempelopori model penampilan dengan pemotongan
rambut yang pendek dengan memotong rambutnya sendiri dan semua pejabat
serta kawula diwajibkan untuk tidak memelihara rambut panjang bagi laki
laki. Sembah sungkem kepada atasan juga diubah tidak berkali-kali,
tetapi cukup tiga kali. Ikatan dengan Kasunanan yang mewajibkan
Mangkunegara harus menghadap setiap persidangan kerajaan diputus
sehingga Mangkunegaran selain otonom juga menjadi pesaing semakin serius
dalam memperebutkan hegemoni kebudayaan di
Jawa.
Sebelum Mangkunegara VI bertahta, sistem pertemuan dengan duduk
dilantai dan pada masa pemerintahannya diubah dengan sistem duduk di
kursi dan hal ini adalah yang pertama kali sejak Mangkunegaran berdiri.
Mangkunegara VI pulalah yang memberi izin bagi kerabat pura untuk
memeluk agama
Kristen.
Perekonomian Mangkunegaran
Terhitung 1 Juni 1899 semua kepengurusan perusahaan perusahaan
Mangkunegaran
kembali lagi ke Praja Mangkunegaran dengan pengendali langsung oleh
Mangkunegara VI yang memisahkan antara keuangan perusahaan dan keuangan
kerajaan. Akibat dari kebijakan penguasa Mangkunegaran ini, semua
perusahaan berada dalam kontrol seorang
superintenden
(Wasino, 2008) dan campur tangan residen Belanda dalam keuangan
perusahaan berakhir. Sektor-sektor ekonomi pedesaan tradisional diubah
menjadi modern dengan jalan memperbanyak perkebunan dengan ditanami
kopi, nila, tebu, atau gula di wilayah Praja (
Lombard, 1996). Kondisi wilayah Mangkunegaran yang agraris difungsikan dan dikelola dengan prinsip keteraturan warisan ayahnya.
Konflik antara Residen dengan Mangkunegara VI sering terjadi dalam
tarik ulur karena pihak Mangkunegaran yang memiliki otonomi pengaturan
menolak campur tangan Residen. Residen Surakarta Van Wijk melakukan
intervensi dengan cara pihak Mangkunegaran diwajibkan untuk konsultasi
dalam melakukan anggaran keuangan kerajaan. Disamping itu Mangkunegara
VI juga pernah melakukan penyitaan terhadap Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij (perusahaan kereta api swasta Belanda), yang tidak
mampu membayar pajak untuk tanah-tanah yang disewanya.
Politik Dan Kebijakan Pemerintahan
1. Politik Ikat Pinggang
Politik ikat pinggang menerangkan pada maksud bahwa demi
menyelamatkan Mangkunegaran dari keterpurukan dan kebangkrutan sebagai
suatu kadipaten, maka efisiensi penggunaan keuangan diupayakan untuk
ditekan sedemikian rupa sehingga keterpurukan yang mengancam pada
kebangkrutan dapat diatasi.
2. Kebijakan Praja
Kebijakan yang diterapkan sehubungan dengan target memperoleh kembali
perolehan yang memadai menyebabkan sang penguasa memperoleh predikat
sebagai penguasa dan pedagang (Tempo, 16 Mei 1987), hal mana yang
demikian ini kemudian hari ditiru dan diikuti oleh Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta. Dari aktivitas penguasa yang juga berperan
sebagai seorang saudagar di kalangan Jawa sering terungkap istilah
ndoro Bakulan.
Semua tanah di wilayah Mangkunegaran dicabut dari tradisi dan
dijadikan perkebunan-perkebunan yang menghasilkan di pasaran dunia.
3. Kebijakan Dalam Reorganisasi Legiun
Jabatan Komandan Utama
Legiun Mangkunegaran
secara otomatis berada di tangan Mangkunegara yang sedang bertahta
dengan pangkat Kolonel. Di bawah Komandan Utama adalah Wakil Komandan
yang pada waktu itu dijabat oleh KPH Gondosuputra. Perampingan
organisasi untuk kesesuaian anggaran dijalankan oleh Mangkunegara VI
dengan menghapus jabatan Wakil Komandan. KPH Gondosuputra, oleh
Mangkunegara VI diberhentikan dengan hormat sebagai pensiunan Letnan
Kolonel Wakil Komandan
Legiun Mangkunegaran
4. Sewa Tanah
Sewa tanah yang dijalankan oleh penguasa Mangkunegaran yang keenam
adalah sewa tanah di Banjarsari, Surakarta. Tanah ini disewakan kepada
bangsa Belanda untuk digunakan sebagai pemukiman elit. Dengan tumbuhnya
pemukiman elit, tanah di Banjarsari menjadi Villa park yang menghasilkan
pemasukan finansial bagi praja.
Keamanan Wilayah
Para gerombolan kecu-bandit yang telah lama beroperasi di wilayah
Mangkunegaran dan sekitarnya, mulai berhitung ulang dengan tampilnya
raja ke enam di Mangkunegaran. Raja yang digosipkan kikir/pelit dalam
keuangan ini, terhadap kelompok hitam menghadapinya dengan tangan besi.
Para Polisi Praja yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap keamanan
tidak tanggung-tanggung kena sanksi oleh sang raja bila sampai kalah
menghadapi para gerombolan tersebut. Kekalahan para penjaga keamanan
wilayah merupakan suatu petaka yang meresahkan karena selain menjarah
harta benda, para berandal-kecu-bandit juga melakukan pembunuhan dan
perkosaan.
Operasi polisional bersama dengan Kasunanan di perbatasan tidak
jarang berakhir dengan konfliknya Mangkunegara VI dengan Residen
Surakarta karena pihak Residen yang menjadi polisional di Kasunanan
tidak bersungguh hati memberantas sehingga kawanan perampok/berandal
yang lari di perbatasan wilayah begitu masuk Kasunanan sudah dapat
ditengarai bakal membikin kerusuhan kembali karena tidak ada tindakan
menghukumnya.
Pasca perang Jawa 1830 dengan menjamurnya perluasan perkebunan, para berandal/
kecu/perampok
lokal yang kecewa semakin tumbuh berkembang di wilayah kerajaan dan
kadipaten.Dalam masa ini dikenal jenis bandit bandit pedesaan sebagai
kecu dan
koyok (Suara Merdeka, 2009).
Kecu
adalah sebutan yang mengacu pada sekawanan orang yang beroperasi
menjarah secara paksa korban dengan penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan
koyok mengacu pada pengertian
kecu tetapi jumlah orangnya terbatas/sedikit (Suhartono, 1995).
Pada tahun 1872 di wilayah Mangkunegaran tercatat ada 24 peristiwa yang dilakukan oleh para
kecu dan
koyok
(Wasino, 2008). Bila dalam setahun terjadi 24 kriminalitas maka bisa
dihitung dalam rata rata setiap bulan terjadi dua kali kejadian
kriminalitas kejahatan perampasan dan pembunuhan. Puncak kegeraman
Mangkunegara VI terjadi ketika sekawanan kecu pada 15 November 1883,
mengamuk dan membunuh istri tua seorang bekel di Desa Kretek, Sragen.
Mangkunegara VI langsung tunjuk hidung bahwa polisi praja kurang
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas kerajaan (Suara Merdeka,
2009).
Kesenian Wayang Wong
Kesenian wayang wong sebagai seni pertunjukkan secara tradisi dikembangkan oleh
Mangkunegara I yang bertahta 1757-1795. Sebagai seni pertunjukan kraton, kesenian wayang wong secara tradisi mulai dari
Mangkunegara I
oleh penerusnya ditradisikan secara turun temurun menjadi suatu model
pembelajaran yang bernilai pesan, pengetahuan dan juga sosial disamping
hiburan.
Pada saat Mangkunegara VI memegang tampuk di Mangkunegaran, kondisi
keuangan sedang krisis dan kerajaan terjerembab dalam utang kepada
Belanda. Terhadap krisis yang melanda kerajaan ini, para Mangkunegara
sudah belajar dari kakek moyangnya dan tidak akan mengulang untuk jatuh
di jalan yang sama.
Kesenian wayang wong yang sudah menjadi tradisi seni kraton oleh sang
adipati dikurangi aktivitasnya. Pengurangan ini bukan berarti mematikan
karena kesenian wayang wong yang dikembangkan oleh
Gan Kam tidak
dihambat apalagi dilarang perkembangannya. Gan Kam adalah keturunan
Cina yang memiliki hubungan kedekatan dengan dinasti Mangkunegaran. Pada
zaman
Mangkunegara V,
Gan Kam berhasil melobi sang adipati untuk diizinkan membawa keluar
kesenian wayang wong keluar tembok istana untuk dipasarkan supaya seni
pertunjukan ini dapat dinikmati sebagai pertunjukan oleh masyarakat
secara massal atau umum.
Antara penyelamatan tradisi seni wayang wong yang dilakukan oleh Gan
Kam dengan pemerintahan Mangkunegara VI yang sedang bertahta, disini
dapat dikatakan memenuhi kesepakatan untuk suatu penyelamatan. Gan Kam
melakukan tindakan menyelamatkan kesenian wayang wong yang dirintis oleh
Pangeran Sambernyawa,
dan Mangkunegara VI melakukan tindakan penyelamatan kerajaan yang
didirikan dan dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Kesenian wayang wong
yang membutuhkan pembiayaan dengan penyelamatan itu maka dana yang
seharusnya dikeluarkan menjadi bisa dialihkan untuk kepentingan
kerajaan. Pada satu sisi seni tradisi itu meski tidak dibiayai oleh
kerajaan masih tetap hidup dalam keberlangsungannya.
Dengan demikian sejalan dengan pembangunan kembali ekonomi
Mangkunegaran tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pada zaman
Mangkunegara VI perkembangan kesenian tradisi kraton wayang wong menjadi
musnah. Kesenian ini dengan keluar dari tembok keraton justru semakin
mendapat tempat di hati masyarakat sebagai seni pertunjukan bergengsi.
Perkembangan wayang wong yang sudah keluar tembok Istana
Mangkunegaran ini semakin mendapat dorongan pengembangannya dalam zaman
pemerintahan
Mangkunegara VII dan melebar sampai Kasunanan dan Kasultanan. Di Kasunanan, Sunan
Pakubuwana X
(1893-1939) berprakarsa menggelar pertunjukan di Balekambang, Taman
Sriwedari, dan Pasar Malam di Alun-alun Surakarta. Di Kasultanan
Yogyakarta, Sultan
Hamengkubuwana VII (1877-1921) mempergelarkan pertunjukan wayang wong untuk tontonan kerabat keraton.
Wayang wong yang bermula dari Mangkunegaran ini dalam waktu yang
bersamaan dengan merosotnya keuangan Mangkunegaran justru mendapat
tempat dan jalan menembus keraton lain dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Prestasi Kerja
Sebagai raja yang dihadapkan pada keterpurukan kerajaan yang terancam
bangkrut, Mangkunegara VI telah menorehkan beberapa prestasi bagi
keberlangsungan Praja Mangkunegaran yang antara lain sangat tidak
berlebihan disebutkan sebagai berikut:
1. Mangkunegara VI berhasil dalam melaksanakan
reformasi
praja dari situasi bangkrut karena tenggelam dalam utang kepada
kerajaan Belanda menjadi terlunasinya utang kerajaan bahkan mencapai
nilai surplus (Suryo Danisworo, Hendri Tanjung, 2004). Stabilitas
perekonomian kerajaan menjadi meningkat sehingga standar hidup
masyarakat mulai membaik kembali. Imbasnya, pasar-pasar baru bermunculan
disekitar perkebunan.
2. Membangun kembali kekuatan Legiun Mangkunegaran dengan pendanaan
yang lebih dari cukup sehingga kekuatan korps yang sempat berkurang
menjadi kuat kembali seperti sedia kala.
3. Menciptakan iklim pluralisme di Praja Mangkunegaran dengan mengizinkan para kerabat memeluk
Kristen yang kemudian akan dilanjutkan dalam masa pemerintahan
Mangkunegara VII.
4. Keberhasilannya memulihkan keuangan dan perekonomian Mangkunegaran
tidak lepas dari prinsip prinsip manajemen Jawa yang diajarkan oleh
ayahnya
Mangkunegara IV yaitu adanya
keteraturan dalam hidup,
keteraturan berusaha dan
keteraturan dalam bekerja.
Dengan demikian, Mangkunegara VI berjasa dalam memperkenalkan kembali
prinsip-prinsip manajemen Jawa buah karya ayahnya dan diterapkan dalam
mengatasi kebangkrutan Praja.
5. Mangkunegara VI adalah penegak keuangan dinasti Mangkunegaran (Tempo, 16 Mei 1987)
6. Menciptakan kesenian
wayang pada, yaitu kesenian dengan pertunjukan semalam suntuk menjadi empat jam tanpa penyimpangan isi cerita (Reksa Pustaka 1978: 7).
7. Secara resmi, Mangkunegara VI dengan tegas menentang dan melarang
pemujaan di tempat-tempat keramat yang menjadi kedok tempat skandal dan
prostitusi (Sartono dan Alex Sudewa, 1998).
8. Membangun Makam Keluarga di Astana Utara Nayu Surakarta.
Peninggalan Mangkunegara VI
Pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VI memberikan peninggalan yang sampai sekarang sering dikunjungi para wisata yaitu
Pemandian Sapta Tirta. Sumber air
pablengan
di pemandian ini memiliki tujuh macam sumber alami yang letaknya sangat
berdekatan yaitu: Air Hangat, Air Dingin, Air Hidup, Air Mati, Air
Soda, Air Bleng, dan Air Urus Urus.
Mengundurkan diri Sebagai Penguasa
Pemerintahannya yang tampil dengan banyak perubahan dan anti Belanda
berkesudahan dengan ketegangan dan tragis. Mangkunegara VI memiliki
putera dan putri: KPA Suyono Handayaningrat dan BRAy Suwasti
Hatmosurono. Ketika Mangkunegara VI berkehendak menjadikan putranya
sebagai calon pengganti dia di-
veto oleh kelompok kerabat
Pangeran dan Belanda. Akhirnya Mangkunegara VI mengundurkan diri dan
bermukim di Surabaya. Mangkunegara VI adalah satu-satunya raja di
Mangkunegaran yang mengundurkan diri atas kehendak sendiri (Media
Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987). Dalam kesaksian Partini
dikatakan bahwa Mangkunegara VI pada bulan 11 Januari 1916 mengundurkan
diri secara diam-diam dan berangkat dengan seluruh keluarganya menuju
Surabaya ( Singgih, Pamoentjak, Roswitha, 1986)
Di Surabaya, putra dan menantu Mangkunegara VI yaitu KPA Suyono
Handayaningrat dan RMP Hatmosurono aktif dalam pergerakan Budi Utomo dan
bersama dengan Dr. Sutomo mendirikan partai politik bernama Parindra.
Ketika wafat Mangkunegara VI tidak disemayamkan di
Astana Mangadeg atau
Astana Girilayu melainkan di
Astana Utoro Nayu, Surakarta. Di Mangkunegaran yang bertahta selanjutnya adalah keponakannya yaitu
RMA. Suryasuparta sebagai
Mangkunegara VII.
MangkunegaraV I memilih Surabaya sebagai tempat di hari tua nya untuk
mempersiapkan putra dan menantunya melanjutkan konsep tata negara yang
tidak dapat dilaksanakan melalui sebuah Kadipaten.
Mangkunegara VII
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
KGPAA. Mangkunegara VII |
|
Mangkunegara VII |
Adipati Mangkunegaran |
Masa jabatan
1916–1944 |
Didahului oleh |
Mangkunegara VI |
Digantikan oleh |
Mangkunegara VIII |
Informasi pribadi |
Lahir |
BRM. Soerjo Soeparto |
Agama |
Islam |
KGPAA. Mangkunegara VII (lahir 12
November 1885 - wafat
1944) adalah pemegang tampuk pemerintahan
Mangkunegaran dari tahun
1916 -
1944. Ia adalah salah seorang putera dari
Mangkunegara V. Ia menggantikan pamannya,
Mangkunegara VI, yang mengundurkan diri pada 11 Januari 1916.
Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan
modern pada jamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah
Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (
onderneming),
terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan
budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama
tradisional.
Keluarga
Mangkunegara VII terlahir dengan nama
Raden Mas Soerjo Soeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.
[1]
Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu
BRAy. Partini, menikah dengan
P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari
Serang,
Banten.
KGPAA. Mangkunegara VII beserta permaisuri GKR. Timur.
Biografi
Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang
berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan
kebangkitan nasional. Ia sempat mengenyam pendidikan di
Universitas Leiden
di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk
menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun
1916.
Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya
Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk
HBS,
ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi
penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten.
Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui
peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi
Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa
Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme
wayang Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).
Ia juga turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional
Boedi Oetomo dan penasehat di organisasi pelajar
Jong Java. Pada tahun
1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (
Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam
bahasa Jawa.
Selain itu ia juga seorang perwira
KNIL dengan jabatan
Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan
Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.
Mangkunegara VII, menerima laporan dari korps perwira Legiun Mangkunegaran di pendopo
Pura Mangkunegaran.
Mangkunegara VIII
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mangkunegara VIII bersama permaisuri, GKP. Tuti.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VIII (lahir di
Kartasura,
7 April 1925 – meninggal di
Surakarta,
2 Agustus 1987 pada umur 62 tahun, mulai berkuasa
1944) adalah penguasa
Praja Mangkunegaran terakhir yang mengalami masa kolonial
Belanda dan yang pertama kali pada masa
Indonesia merdeka.
Baru saja dilantik dan kemudian harus menghadapi arus perubahan politik yang besar, Mangkunegara VIII (bersama
Pakubuwana XII) kesulitan memposisikan diri untuk menjaga kedaulatan wilayah. Akibatnya wilayah
Daerah Istimewa Surakarta (termasuk Mangkunegaran) digabungkan ke dalam
Provinsi Jawa Tengah sejak
1950.
Perjuangan Mangkunegara VIII dalam krisis keberadaan
Pura Mangkunegaran
dijalaninya dengan menempuh jalan yang formal seperti ketika
mempersoalkan aset-aset Mangkunegaran yang diambil alih pengelolaannya
oleh pemerintah tanpa pembicaraan. Meski kemudian ternyata kalah dalam
pengadilan, Mangkunegara VIII tetap menjalankan roda monarki
Mangkunegaran dengan berbagai upaya dan usaha.
Mangkunegara VIII dalam kancah kesenian sangat berjasa dalam menggali
kembali Tari Bedaya Anglir Mendung, sebuah tarian ciptaaan
Mangkunegara I yang menghilang. Pada tahun
1970
oleh Mangkunegara VIII digali kembali dan dihidupkan. Selain menggali
kembali Tari Bedaya Anglir Mendung, ia juga menciptakan sebuah tarian
kerakyatan yang disebut Tari Gambyong Retno Kusumo.
Mangkunegara VIII wafat tahun 1987 dan digantikan ol