Rabu, 27 Juli 2016

Tokoh Tionghoa yang menjadi Bangsawan Jawa.



Tokoh Tionghoa yang Memberi Warna Sejarah Indonesia

Kenali para tokoh Tionghoa yang turut menggoreskan tinta emas dan memberi warna dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Tokoh Tionghoa yang Memberi Warna Sejarah IndonesiaAteng. (wikipedia)
Indonesia tumbuh dan berkembang atas peran serta banyak etnis. Salah satunya, etnis Tionghoa. Inilah beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa yang turut memberi warna dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Kho Wan Gie (1908 - 1983)
Kho Wan Gie, salah satu tokoh perintis komik di Indonesia sebelum Ganesh TH, komikus legendaris Indonesia dengan “Si Buta dari Gua Hantu”-nya (Ganesh TH juga adalah seorang keturunan Tionghoa). Karya Kho Wan Gie, "Si Put On" (mulai terbit pada 1831) adalah salah satu komik pertama di Indonesia dan menjadi pelopor komik-komik humor di Indonesia. Komik yang menggambarkan suasana kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia pada masa itu.
Yap Tjwan Bing (31 Oktober 1910 - 1988)
Orang Tionghoa yang pernah duduk menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI). Selain itu, pernah diangkat menjadi anggota KNIP. Bahkan, ketika menjadi anggota DPR-RIS tahun 1950, Yap Tjwan Bing merupakan satu-satunya tokoh keturunan Tionghoa yang mewakili Pemerintah Indonesia. Yap Tjwan Bing dijadikan sebagai nama jalan di Solo, menjadikan satu-satunya nama jalan dari etnis Tionghoa.
Njoo Han Siang (1930 - 1985)
Perintis perbankan nasional dan perfilman Indonesia. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan piala khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri.
Siauw Giok Tjhan (23 Maret 1914 - 20 November 1981)
Politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, salah satu pendiri Universitas Trisakti (dulu Universitas Res Publika).
Kho Tjien Tiong (8 Agustus 1926 - 22 September 1996)
Dikenal dengan nama Teguh Slamet Raharjo, mendirikan grup Srimulat bersama istri pertamanya, Raden Ayu Srimulat, pada 1957. Dia sempat menjadi musisi keroncong.
Tan Djin Sing
Perjuangannya adalah mengangkat persamaan derajat di masyarakat Yogyakarta (kultur Tionghoa, Jawa, dan Kolonial Belanda) pada usia 33 tahun. Salah satu tokoh yang berperan dalam penemuan kembali Candi Borobudur di tahun 1814. Dia yang membuat peta dan laporan keaadan Candi Borobudur yang akan digunakan tim Raffles. Pada 18 September 1813 dilantik menjadi bupati Yogyakarta dan diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.
Chan Giok Nio (Elly Chandra; Ny. Tan Thiam Hok) -1923-1994
Pemilik restoran Ny. Tanzil. Kisah perjalanan menjelajah 287 negara bersama suaminya pernah ditulis di Intisari.
Chan Lan Nio (Nila Chandra) -1926-2000
Namanya tercatat di Guiness Book of Records th 1989 sebagai pembuat kue basah terumit dan terbesar du dunia. Alasannya, ”Saya ingin orang luar tahu Indonesia.”
Go Tik Swan(11 Mei 1931) – Kanjeng Raden Tumenggung Hardjonegoro
Pakar kebudayaan Jawa, khususnya keris. Orang Tionghoa pertama yang mendapatkan penghormatan sebagai ahli kebudayaan Jawa, gelar: Kanjeng Raden Tumenggung.
Kho Tjeng Lie (1942 - 2003)
Lebih dikenal dengan nama “Ateng”. Bersama Bing Slamet, dia diajak dalam acara lawak. Melalui Bing Slamet juga akhirnya dia bertemu dengan S. Bagyo, Iskak, Eddy
Liem Ching Gie (1911 - 1970)
Nama pribuminya adalah Abdul Malik. Seorang mubalik, guru, politikus, dan perintis kemerdekaan. Membentuk Pemuda Nasional. Mendirikan Darrul Jarbiyah untuk meneruskan perjuangan Nahdlatul Ulama (NU).
(J.B. Satrio Nugroho)


Sejarah Kampung Ketandan, Daerah Pecinan di Yogyakarta

Liputan6.com, Yogyakarta - Kaum peranakan Tionghoa ada di mana-mana. Di berbagai kota tempat mereka membentuk komunitas atau tempat tinggal yang biasa disebut pecinan.
Di Yogyakarta ada beberapa daerah pecinan. Salah satu yang populer adalah Ketandan yang berada di jantung Kota Yogyakarta. Ketandan terletak di utara Pasar Beringharjo Jalan Malioboro. Gapura Kampung Ketandan terpasang di depan kampung.
Salah seorang tokoh Tionghoa di kawasan itu, Tjundaka Prabawa, menjelaskan nama ketandan terkait sejarah berkembangnya budaya China di Yogyakarta. Orang-orang Tionghoa di Ketandan pun sangat dekat dengan Keraton waktu itu.
"Ketandan itu dari kata tanda atau penarik pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogya. Dulu di sini tempat tinggal penarik pajak itu," ujar Cun, panggilan Tjundaka, kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2016).
Menurut dia, keberadaan Ketandan juga terkait dengan tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831. Hasil penelusurannya di Belanda, diketahui ada sebuah peta Yogyakarta masa Tan Jin Sing hidup.
Selain itu, ditemukan foto rumah dengan perpaduan gaya arsitektur perpaduan antara Eropa, Cina, dan Jawa. Rumah itu adalah milik Tan Jin Sing.
Tan Jin Sing saat itu merupakan seorang kapitan Tionghoa (kepala golongan penduduk China) yang dikenal sangat pandai dan menguasai tiga bahasa, yakni Inggris, Hokian, dan Mandarin.
Cun mengatakan sebenarnya Tan Jin Sing adalah putra seorang bangsawan Jawa. Ayahnya meninggal saat Tan Jin Sing masih bayi. Ayahnya merupakan Demang Kalibeber di Wonosobo dan ibunya masih keturunan Sultan Amangkurat dari Mataram bernama Raden Ayu Patrawijaya.
Kondisi ini membuat orang Tionghoa yang bernama Oei The Long ingin mengasuh Tan Jin Sing. Oie The Long lah yang memberinya nama Tan Jin Sing.
"Anaknya ganteng, putih, matanya lebar. Ibu angkatnya senang dan setuju Tan Jin Sing lalu diadopsi oleh Oie," ucap Cun.
Namun tidak lama kemudian, ibu angkatnya meninggal. Oie lalu meminta kepada ibu kandungnya Patrawijaya untuk mengasuh Tan Jin Sing. Ibunda kandung Tan Jin Sing akhirnya mau mengasuh anaknya.
Setelah beberapa lama karena sering bertemu Oie akhirnya terpikat oleh kecantikan ibunda Tan Jin Sing. Oei dan dan Patrawijaya akhirnya memutuskan menikah.
"Dua belas tahun tahun menikah ibunya Tan Jin Sing (Patrawijaya) meninggal. Sebelum meninggal itu, ibunya bilang ke Tan Jin Sing jika dialah ibu kandungnya," kata Cun.
Tan Jin Sing lalu hidup di kalangan Tionghoa dan memutuskan menikah dengan anak seorang Kapitan China di Yogyakarta. Sepeninggal mertuanya, Tan Jin Sing melanjutkan tugas mertuanya sebagai Kapitan Cina.
Singkatnya, karena kepandaiannya dan intens berkomunikasi, dia dekat dengan Thomas Stamford Bingley Raffles yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jawa.
Kedekatan inilah yang mengatarkannya mendapatkan gelar dari Keraton. Tan Jin Sing memiliki gelar dari Keraton, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono III.
"Tan Jin Sing ini menjadi penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Thomas Stamford Bingley Raffles. Karena jasanya itu, Sultan HB III mengangkatnya sebagai bupati dan diberikan gelar KRT Secadiningrat. Namanya juga dijadikan jalan di Yogya," ujar Cun.
Sultan HB III juga memberikan hadiah tanah kepada Tan Jin Sing di daerah Ketandan. Ia bertugas mewakili Keraton di kalangan Tionghoa waktu itu.
Baca Juga
Rumah Tan Jin Sing waktu itu berarsitektur campuran gaya Eropa, China dan Jawa. Rumah seluas 700 meter ini pun pernah dihuni Sultan HB III. Namun saat ini rumah itu sudah hancur.
"Ia menempati rumah di sini (Ketandan) dan karena beranak turun, sehingga dipecah-pecah, akhirnya tanah itu dipisah-pisah. Kalau yang rumah Tan jin Sing yang di depan sudah rata dengan tanah," kata Cun.
Sementara itu, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wirawan, mengatakan datangnya orang Tionghoa di Yogyakarta sulit dilacak. Karena penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia. Namun dia memperkirakan kedatangan orang Tionghoa di Yogyakarta tidak lama setelah Keraton Yogya berdiri, yaitu sekitar 1750-an.
"Yogya cukup unik kapan mulai adanya sulit ditelusuri. Tahun 1755 dan 1756 baru ada Keraton sudah ada orang China atau belum tahu, tapi kapan ada saya tidak bisa bilang," kata Cun.
Kalau dari sejarah Jawa dan Mataram, pada era kolonial sudah ada orang China. Namun kapan mulai ada belum bisa dipastikan.
"Mungkin abad 18 akhir atau awal abad 19 baru keliatan tanda kehadiran di Yogyakarta," ujar Cun.
Saat itu orang Tionghoa kebanyakan berdagang sebagai penjual emas di beberapa wilayah di Yogyakarta, termasuk di daerah Ketandan. Bahkan, saat ini pun masih terlihat peninggalan orang Tionghoa  dahulu yang berjualan emas di Ketandan.



Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)

"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih.”
Brilio.net - Awal November lalu, terik panas matahari begitu menyengat di Kota Solo. Tapi terik panas siang itu sama sekali tak menyurutkan aktivitas warga. Hilir mudik kendaraan berbagai kendaraan bermotor di Jalan Slamet Riyadi yang menjadi jalan utama di Solo menandakan ramainya aktivitas. Di antara banyak kendaraan bermotor itu, masih sangat mudah untuk menemui becak di sekitaran Keraton Surakarta maupun di daerah Stasiun Balapan.
Becak masih eksis di Solo lantaran masih sering digunakan sebagai moda transportasi untuk memanjakan wisatawan berkeliling Kota Solo, utamanya sekitaran Keraton, Pasar Klewer, hingga Alun-alun Kidul.
Beratnya mengayuh becak, apalagi disengat terik matahari masih terkenang lekat di pikiran Kanjeng Raden Arya Hardjosoewarno. Meski hal itu sudah berlalu puluhan tahun lalu, tapi ia tak akan pernah lupa masa-masa sulitnya saat itu, menunggu penumpang setiap malam di depan Stasiun Balapan atau di dekat perempatan jalan besar. Karena berkat becak, ia bisa bertemu dengan Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro hingga bisa disegani seperti sekarang ini.

Supiyah saat menjelaskan tentang batik Go Tik Swan.
KRA Hardjosoewarno saat ini tinggal di Ndalem Hardjonagaran bersama istri dan anaknya. Ia menempati rumah mendiang Panembahan Hardjonagoro, majikan yang telah menganggapnya sebagai adik sendiri. Sepeninggal Panembahan Hardjonagoro, rumah seluas 2.030 meter persegi itu diserahkan ke Hardjosoewarno. Telah lama sekali Hardjonagoro menyiapkan Hardjosoewarno dan istrinya Supiyah Anggriani sebagai ahli warisnya. Sejak puluhan tahun lalu, Hardjosoewarno selalu mengikuti ke manapun perjalanan Hardjonagoro. Dari mengikuti perjalanan itulah Hardjosoewarno dapat menyerap berbagai ilmu dari Hardjonagoro hingga akhirnya siap untuk meneruskan ilmu Hardjonagoro dalam urusan tosan aji atau benda pusaka.
Sementara Supiyah yang juga telah puluhan tahun menyertai Hardjonagoro berkewajiban meneruskan dan melestarikan Batik Hardjonagaran yang merupakan terusan dari Batik Indonesia buatan Hardjonagoro atas permintaan Presiden Soekarno. Sudah sejak puluhan tahun lalu pula ia dididik Hardjonagoro dalam urusannya dengan batik.
Hardjosoewarno mempunyai nama asli Soewarno. Ia mengenang, ketika sedang menarik becak melewati Jalan Keratonan, tiba-tiba ada orang yang menyetop dari rumah bernomor 101 (sekarang menjadi Jalan Yos Sudarso 176). Tak disangka, ternyata yang menyetop dan menunggangi becak Soewarno adalah seorang pecinta budaya Jawa sekaligus orang yang punya hubungan yang dekat dengan Keraton Surakarta. Sejak saat itu becak Soewarno menjadi becak langganan Hardjonagoro, rutenya tak terbatas dari rumah ke Keraton Surakarta, melainkan juga ke berbagai tempat lain yang dikunjungi Hardjonagoro.

Hardjosoewarno dan keris yang baru dibuatnya
Suatu hari pada tahun 1969, Soewarno dikejutkan dengan pertanyaan Hardjonagoro. Saat itu Hardjonagoro menawarinya untuk ikut di rumah membantunya. Tentu saja Soewarno tak menolak tawaran baik itu.
"Entah, mungkin beliau kasihan memandang saya, merasa kalau saya orang yang mudah dididik atau bagaimana. Atau bisa jadi karena setiran becak saya enak bagi orang tua. Padahal asistennya juga banyak, kok saya ditawari juga," cerita Soewarno yang kini bernama KRA Hardjosoewarno kepada Brilio.net, Selasa (24/11).
Soewarno mulai bekerja kepada Hardjonagoro sebagai pekerja kasaran, misal memperbaiki atau mengecat rumah hingga pekerjaan kasar lainnya. Tentu Soewarno harus menerapkan sikap disiplin karena bekerja dengan Hardjonagoro yang selalu menerapkan sikap disiplin.
Selama lebih dari 30 tahun bekerja mengabdi kepada Hardjonagoro, telah banyak pelajaran yang dipetik Soewarno dari mengikuti berbagai aktivitas Hardjonagoro. Soewarno yang tak lulus Sekolah Dasar itu bahkan pengetahuan dan keahliannya tentang kebudayaan Jawa seperti adat istiadat, bahasa, batik, keris, dan kebudayaan Jawa lainnya tak kalah dengan sarjana budaya.
Dari waktu ke waktu, sikap Hardjonagoro terhadap Soewarno pun berubah, mula-mula dianggap sebagai abdi, kemudian menjadi mitra, hingga akhirnya dianggap adik sendiri oleh Hardjonagoro. Panggilan Soewarno kepada Hardjonagoro pun lambat laun berubah, mulai dari Ndoro Nggung, Ndoro kanjeng, Mas kanjeng, Mas Pangeran, hingga Mas Panembahan mengikuti perubahan gelar Hardjonagoro yang didapatkan dari Keraton Surakarta.
Ke manapun Hardjonagoro pergi, di sampingnya pasti ada Soewarno yang berpakaian necis, menyetir mobil, membawa tas, dan menyangklong kamera. Perubahan status Soewarno dari tukang becak menjadi priyayi semakin komplit dengan diberikannya gelar dari Keraton Surakarta. Gelarnya pun semakin naik, mulai dari Mas Lurah, Mas Ngabehi, Raden Ngabehi, Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Haryo Tumenggung, hingga Kanjeng Raden Aryo Hardjosoewarno pada tahun 2000. Meskipun memperoleh derajat dari keraton yang cukup tinggi, tapi Hardjosoewarno tetap ingat masa lalunya ketika setia menunggu penumpang.

Kegiatan membatik di rumah Hardjosoewarno.
Pada 1987, Hardjosoewarno menikah dengan Supiyah Anggriyani, janda muda berputra satu yang juga merupakan pembantu dekat Hardjonagoro. Saat menikah, Hardjosoewarno mempunyai tanggungan empat anak dari pernikahan sebelumnya. Perkawinan Hardjosoewarno dengan Supiyah dikaruniai satu anak.
Bagi Supiyah, Hardjonagoro adalah sosok tak lelah untuk mendidik. Tak pernah terpikir olehnya bisa mewarisi keahlian membatik sang maestro. "Saya kalau nggak beliau yang nyuruh tidak akan berani meminta diajari membatik. Tapi saat itu tiba-tiba saya diminta untuk belajar membatik. Mungkin karena beliau bingung siapa yang akan meneruskan ilmunya," kata Supiyah dalam perbincangan dengan Brilio.net, Selasa (24/11).
Kebaikan Hardjonagoro tak hanya berhenti pada Hardjosoewarno dengan Supiyah, tapi juga kepada anak-anak mereka. Empat dari enam anak mereka diangkat menjadi anak Hardjonagoro karena Hardjonagoro tak mempunyai anak dari pernikahan yang pernah dilakukan. Bahkan saat anak-anak Hardjosoewarno dan Supiyah menikah, Hardjonagoro lah yang ngunduh mantu. Hardjosoewarno dan Supiyah ditetapkan sebagai ahli waris Hardjonagoro yang berkewajiban merawat dan melestarikan peninggalan Hardjonagoro, termasuk batik dan besalen tosan aji yang telah dibangun Hardjonagoro.
"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih, barangkali dipandang kalau kami bisa menjaga amanah beliau," kata Hardjosoewarno.

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Dia juga ahli keris, pintar menari, dan mendermakan arca purbakala langka untuk pemerintah. Dianggap tidak waras oleh mamanya.
Brilio.net - Rumah kuno di Jalan Yos Sudarso 176 itu tampak lengang. Pagar yang menutup tinggi membuat orang di jalanan sulit melihat teras rumahnya. Hanya terlihat dari luar kalau rumah itu tak terlalu luas. Tapi jika masuk ke dalam rumah yang disebut Ndalem Hardjonagaran, maka baru terlihat jika rumah itu cukup luas.
Di belakang rumah itu, terdapat puluhan pekerja batik yang terbagi di beberapa tempat berdasarkan tugasnya. Di bagian belakang rumah tersebut, tak kurang terdapat 10 bangunan lain dengan berbagai fungsi yang berdiri di atas tanah seluas 2.030 meter persegi. Selain rumah utama, ada pula ruang gamelan, Pendapa Pugeran, bangsal pameran, los pembatikan, kandang derkuku, perpustakaan, hingga besalen tempat membuat keris. Tapi yang menarik, ada puluhan patung purbakala di sana. Ada sekitar 40 patung yang tertata rapi di setiap sisi bangunan yang ada.

Infografis: MT Ardynata
"Ya, itu patung-patung paninggalan Panembahan Hardjonagoro yang pada 11 Agustus 1985 lalu diserahkan kepada pemerintah. Tapi hingga saat ini masih tersimpan di sini," terang KRA Hardjosoewarno, ahli waris Hardjonagoro kepada Brilio.net, Selasa (10/11).
Panembahan Hardjonagoro yang mempunyai nama asli Hardjono Go Tik Swan adalah salah seorang keturunan Tionghoa yang sangat memahami budaya Jawa. Nama maupun wajah Go Tik Swan yang jika didengar maka lebih identik dengan etnis Tionghoa ini menggeluti dunia tari, batik, patung purbakala, dan keris. Kedekatan dengan budaya Jawa ini sudah dipupuknya sejak kecil. Kecintaannya terhadap seni tradisi Jawa ini bukan merupakan suatu kebetulan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan bukan atas dasar tekanan maupun perintah siapapun.
Pada 1953 Go Tik Swan kuliah di Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa Universitas Indonesia (UI), membelot dari keinginan orangtua yang memintanya kuliah di Fakultas Ekonomi. Cerita tentang keluarganya yang masih memiliki hubungan dengan Sunan Bayat mendorongnya untuk memahami hikayat-hikayat Jawa. Atas kecintaannya dengan dunia Jawa ini dia menjadi marjinal di keluarganya. Bahkan maminya pernah menyebutnya sebagai orang yang tidak waras.
Dari Bung Karno, Go Tik Swan mendapat 'perintah' untuk membuat batik yang beda dengan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, yang oleh Bung Karno dinamai 'Batik Indonesia'. Akhir 1955 Batik Indonesia lahir.
Perjalanan kehidupan Go Tik Swan tahun 1975-1990 dihabiskan untuk mengabdi di museum tertua Indonesia, Radyapustaka yang berada di Jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Go Tik Swan merupakan ketua kelima. Di Karaton Kasunanan Surakartan, Go Tik Swan merupakan salah satu pendiri Art Gallery Karaton Surakarta (Museum Karaton) pada tahun 1963.
Dari abdi dalem, pada 1972 Go Tik Swan diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (RT) Hardjonagoro. Tahun 1984 diangkat sebagai Bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonagoro. Tahun 1994 diangkat Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Haryo Tumenggung (KRHT) Hardjonagoro. Pada 1998 Go Tik Swan diangkat menjadi Kangjeng Pangeran Tumenggung (KPT) Hardjonagoro.
Pada 1979 Go Tik Swan diberi hadiah umroh selepas menjadi pembicara dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Irene Emery Roundtable on Textiles Museum di New York.
Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ) juga menghadiahi Bintang Bhakti Budaya pada Go Tik Swan pada 1993 karena dinilai telah memajukan kebudayaan Jawa. Satyalencana Kebudayaan juga diterimanya dari Presiden RI melalui Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2001. Namanya diabadikan di pasar rakyat paling legendaris di Solo, Pasar Gede Hardjonagoro.

Luwesnya Go Tik Swan menari Jawa (Repro buku Jawa Sejati)
Selain sebagai maestro batik Indonesia, Go Tik Swan juga pandai menari. Pengetahuannya juga sangat luas mengenai tosan aji atau benda pusaka Jawa. Tak hanya itu, ia juga gemar sekali menyusuri gang-gang sempit di pelosok desa untuk mencari patung purbakala yang tak pernah terjamah oleh pemerintah. Kegemarannya itu membuat keturunan etnis Tionghoa ini menjadi Jawa sejati, melebihi orang Jawa asli. Karena tak memiliki keturunan, sepeninggal Go Tik Swan pada 2008 lalu, maka rumah dan seisinya diwariskan kepada KRA Hardjosoewarno sekeluarga yang telah lama mengabdi kepadanya. Bersama istrinya, Supiyah Anggriyani, Hardjosoewarno berkewajiban menjaga dan melestarikan batik Hardjonagoro dan besalen keris yang ada di rumah tersebut.
Bagi Hardjosoewarno, meskipun berdarah Tionghoa, Go Tik Swan lebih Jawa dibandingkan orang Jawa pada umumnya. Sejak kecil Go Tik Swan telah terdidik di lingkungan yang sangat memjunjung tinggi budaya Jawa. Ia hidup di tengah-tengah ribuan pebatik yang bekerja dengan kakeknya.
Hardjosoewarno mencontohkan, jika orang kaya zaman dulu pada umumnya menyusuri desa-desa untuk berburu burung, maka hal lain dilakukan oleh Go Tik Swan. Ia menyusuri kampung-kampung untuk mencari batu-batu yang mempunyai nilai sejarah. Saat mengetahui kabar ada patung purbakala, maka dengan secepatnya dia akan meluncur ke tempat itu. Ia pernah menemukan patung purbakala di tengah sawah, di antara pepohonan bambu, di tengah parit, hingga di bawah jembatan karena patung itu digunakan untuk menyangga jembatan.
"Pada saat itu belum ada undang-undang dari pemerintah, hingga semua orang bisa dengan leluasa mengoleksi benda cagar budaya," kata Hardjosoewarno.
Dalam buku 'Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro' tulisan Rustopo diceritakan bahwa kegemaran Go Tik Swan berburu benda purbakala itu muncul sejak ia menemani KGPH Hadiwijaya mengelola Museum Radyapustaka Solo. Go Tik Swan sangat prihatin dengan potongan-potongan batu patung purbakala yang berserakan di mana-mana seperti benda tak berharga. Rasa keprihatinan itu medorongnya untuk berburu patung purbakala itu sendiri sejak tahun 1956, seiring dengan kesibukannya mengelola batik di Solo.
Setiap melakukan perburuan, Go Tik Swan selalu ditemani dengan kawan karibnya bernama Diarto. Selama melakukan perburuan, bukti bahwa patung perbakala itu dianggap tak penting semakin nyata. Banyak patung yang bersejarah itu dijadikan penopang jembatan bahkan dijadikan tumpuan orang buang hajat di pinggir kali. Anggapan masyarakat pedesaan bahwa benda itu tak bernilai membuat tak sulit bagi Go Tik Swan untuk memiliki benda tersebut. Ia biasa menukar benda tersebut dengan pengganti yang lebih dibutuhkan oleh warga, misalnya dengan membangun jembatan, membuatkan WC umum, atau memberikan pengganti uang.
Kegemarannya memburu patung di perkampungan itu banyak dianggap sebagai kebiasaan yang aneh oleh banyak orang. Bahkan orang yang menganggap Go Tik Swan tak waras karena terus mengumpulkan puing-puing batu itu adalah maminya sendiri, Tjan Ging Nio. "Setiap hari kok ngurusi reca-reca tugel (arca-arca patah), ngebak-ngebaki (menuh-menuhin) rumah saja," kata Go Tik Swan kepada Rustopo menirukan omongan maminya.
Kalimat itu muncul dari maminya karena di halaman rumahnya dipenuhi dengan potongan-potongan patung batu. Tapi Go Tik Swan bergeming dan tak pernah menghentikan perburuannya, ia berkeyakinan bahwa benda-benda tersebut suatu saat akan berharga. Tak hanya dikumpulkan, oleh Go Tik Swan potongan patung itu juga dipelajari dan dibentuk kembali sehingga menghasilkan patung yang kelihatan relatif utuh.
Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan bisa dikatakan sangat berharga, seperti patung Syiwa, Nandi, Kuwera, Durga, Wishnu, Budha, Bima, Makara, Dwarapala, Brahma, Agastya, Ganesa, dan masih banyak lagi yang lainnya. Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan hampir semuanya istimewa, baik dari segi bentuk, estetika, nilai historis, hingga makna simbolik yang terkandung. Di antara patung istimewa itu, ada patung Bima yang dibuat sekitar abad ke-14 dan berasal dari Candi Sukuh Karanganyar.
Pada zaman Mangkunegara IV Solo, patung Bima itu dibawa ke Solo atas perintah seorang pangeran. Kemudian saat zaman Mangkunegara VII, patung itu terlihat menghiasi Taman Balekambang milik Istana Mangkunegaran. Pada saat Go Tik Swan menemukan patung itu, kondisinya sudah memprihatinkan, patung itu hanya tergeletak di tanah dan terbagi menjadi tiga potongan. Lalu atas izin Mangkunegara VIII, patung itu diselamatkan Go Tik Swan, dibentuk kembali seperti aslinya dan dirawat hingga sekarang.
Go Tik Swan mengoleksi patung itu bukan seperti kolektor lainnya yang hendak menjualnya ke luar negeri dengan harga tinggi. Niat Go Tik Swan hanyalah ingin menyelamatkan benda itu. Maka tak heran jika kemudian Go Tik Swan mengembalikan patung-patung itu kepada masyarakat melalui pemerintah. Ia buat surat wasiat yang berisi tentang penyerahan patung-patung itu kepada pemerintah untuk masyarakat. Dalam lampiran surat wasiat itu, ia sebutkan juga daftar 44 patung yang ditemukan dan dirawatnya. Acara serah terima dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 1985 di Ndalem Hardjonagaran, rumah Go Tik Swan. Pada saat itu disebutkan oleh perwakilan pemerintah bahwa apa yang dilakukan Go Tik Swan merupakan yang pertama kali terjadi, seorang warga negara dengan sukarela menyerahkan benda-benda koleksinya yang punya nilai sejarah.
"Tahun 1985 karena kesadaran dan ketajaman beliau, patung-patung ini dihibahkan pada negara. Saya salah satu yang menandatangani surat serah terima sebagai ahli waris," terang KRA Hardjosoewarno kepada brilio.net, (25/11)
Meskipun telah diserahterimakan kepada negara, hal itu tak lantas membuat patung itu diusung dari Ndalem Hardjonagaran. Go Tik Swan memberikan syarat jika patung itu harus tetap ada di Ndalem Hardjonagaran selama ia masih hidup. kemudian setelah ia wafat, patung itu bisa diambil ketika pemerintah telah menyiapkan tempat yang layak bagi puluhan patung berharga tersebut.
"Tapi sampai saat ini pemerintah belum siap untuk mengambil patung-patung ini karena belum ada tempat yang representatif. Tapi dulu beliau berpesan, meskipun diambil tapi patung-patung ini tetap ada di Solo," kata KRA Hardjosoewarno.
***
Tak hanya menggemari patung purbakala, Go Tik Swan yang bergelar panembahan Hardjonagoro juga menggemari tosan aji atau benda pusaka seperti keris. Tak puas hanya mendengarkan cerita kehebatan keris zaman dulu, Go Tik Swan bersama KGPH Hadiwijaya yang merupakan putra Paku Buwana X mendirikan paguyuban pecinta keris bernama Bawarasa Tosan Aji (BTA) pada tahun 1959. Go Tik Swan bersama Hadiwijaya dan Sumodiningrat selalu menjadi penceramah dalam sarasehan BTA.
Hubungan Go Tik Swan dengan Hadiwijaya memang bisa dibilang sangat dekat. Saat kecil, Hadiwijaya lah yang membuat Go Tik Swan menggemari keris. Go Tik Swan yang sejak kecil tinggal dengan neneknya banyak belajar tentang tosan aji, tari, gamelan, dan budaya Jawa dari KGPH Hadiwijaya.

Patung purbakala memenuhi sudut kediaman Go Tik Swan.
Kedekatan itu berlanjut hingga dewasa. Go Tik Swan juga yang membantu KGPH Hadiwijaya dalam mengurus Museum Radyapustaka. Sepeninggal KGPH Hadiwijaya, jabatan yang pernah diembannya seperti ketua yayasan dan pimpinan Museum Radyapustaka, ketua yayasan Saraswati, ketua BTA, semua diserahkan kepada Go Tik Swan Hardjonagoro.
Pokok bahasan yang biasa didiskusikan dalam BTA antara lain tentang ilmu tosan aji atau krisologi, lingkungan atau pusat pembuatan keris, jenis, kegunaan, dan kedudukan sosial, dan segala macam masalah yang berhubungan dengan tosan aji kecuali masalah jual beli. Sayangnya, meskipun pengetahuan anggota BTA sudah mumpuni, tak ada satupun yang berani turun tangan memulai pembuatan keris setelah lama mati.
Hingga akhirnya datanglah Dietrich Drescher, pelaut Jerman yang menggemari keris Jawa. Saat datang ke Museum Radyapustaka, ia mengungkapkan kepada Hardjonagoro bahwa ia telah menemukan sisa-sisa besalen atau tempat membuat keris di Jitar Yogyakarta yang legendaris itu. Bersama Dietrich Drescher, Hardjonagoro lalu mendatangi Yasa dan Jeno, keturunan mpu keris di Jitar Yogyakarta. Mereka meminta dua keturunan mpu tersebut untuk membangkitkan lagi besalen yang ada dan membuat keris seperti yang ditunjukkan dalam manuskrip Mpu Djojosoekatgo.
Setelah berhasil membangkitkan kembali besalen keris di Yogyakarta, Hardjonagoro bersama anggota BTA lainnya bertekad untuk membangkitkan besalen yang ada di Solo. Berjalannya waktu, besalen yang berhasil dibangkitkan maupun dibuat adalah Besalen Suparman, Besalen Fauzan, Besalen ASKI (sekarang menjadi ISI Surakarta). Dari besalen-besalen itu, dihasilkan keris-keris baru.

Koleksi keris Go Tik Swan
Pada 1988, Go Tik Swan juga membangun besalen di kediamannya yang diberi nama Besalen Surolayan, karena sebelumnya rumah itu diberi nama Ndalem Surolayan. Besalen itu dipasrahkan kepada Hardjosoewarno, pembantu kepercayaan Hardjonagoro sekaligus calon pewaris.
Bagi Rustopo, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Go Tik Swan Hardjonagoro punya peran besar bagi bangkitnya besalen-besalen yang membuat keris. Tak hanya mempunyai pengetahuan tentang keris, Hardjonagoro bisa mendesain dan mengarahkan pembuatan keris.
"Dia memang tidak membuat sendiri, tapi dia itu perancang dan sangat tahu sekali dengan keris lewat Bawarasa Tosan Aji yang dibangun oleh Hadiwijaya yang kemudian diteruskan oleh dia sampai wafat," kata Rustopo yang juga menganggap Hardjonagoro adalah orang yang paling teliti masalah keris.


Senin, 25 Juli 2016

Kehidupan Kerajaan Pakualaman

22
BAB II
PAKUALAMAN TAHUN 1892-1942
A. Keadaan Geografis Pakualaman
Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja
Kejawen), yang keempat kerajaan itu sama-sama berasal dari sebuah kerajaan yang
pernah berjaya di hampir seluruh pulau Jawa dan sebagian di pulau Kalimantan, yaitu
Mataram Islam.1 Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati (1575-1601)
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1645). Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram
berhasil dikuasai VOC2 (Belanda). Tahun 1743, Belanda telah menguasai daerahdaerah
pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram, selain itu sistem
pemerintahan Mataram seperti pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem dan
para bupati dikendalikan oleh Belanda. Sejak 11 Desember 1749, Mataram tidak lagi
berdaulat secara de jure dan de facto karena Pakubuwono II menyerahkan
kedaulatannya kepada Belanda.3
Meruntuhkan kerajaan Mataram ternyata tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Seorang pangeran bernama Mangkubumi tidak terima dengan penyerahan
1 Ilmi Albilahdiyah, Puro Pakualaman Selayang Pandang, (Yogyakarta :
DEPDIKBUD, 1984), hlm. 22
2VOC merupakan kepanjangan dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie,
yang merupakan suatu kongsi dagang yang keberadaannya sangat berpengaruh dalam
perekonomian masyarakat Indonesia.
3 Ilmi Albilahdiyah, op, cit. hlm. 25
23
kedaulatan dan sikap lemah Paku Buwono II itu. Tanggal 19 Mei 1746, Pangeran
Mangkubumi meninggalkan istana bersama 3 pangeran lainnya yaitu Pangeran Wijil,
Pangeran Krapyak, dan Pangeran Hadiwijoyo. Mereka bergabung dengan Raden Mas
Said atau Pangeran Sambernyawa, untuk berperang melawan Belanda. Tahun 1750,
mereka mengepung ibukota Mataram. Sampai pada tahun 1752, sebagian besar
wilayah Mataram berhasil mereka kuasai. Keberhasilan perjuangan Pangeran
Mangkubumi itu menghasilkan sebuah perjanjian politik yang membuka lembaran
baru dalam sejarah Mataram.4 Tanggal 23 September 1754, Belanda bernegoisasi
dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji untuk memberi setengah dari kerajaan
Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti5 yang merupakan kesepakatan
bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku Buwono III dan Pemerintah Belanda.6
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 menjadikan wilayah
Mataram terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Pada tahun
1757 wilayah kekuasaan Susuhunan Surakarta dibagi menjadi dua wilayah, yaitu
Surakarta (Solo) dan Mangkunegaran. Sementara itu, Yogyakarta juga telah terbagi
4Haryadi Baskoro, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogyakarta,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 10.
5Isi perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram menjadi dua wilayah
(Surakarta dan Yogyakarta) dapat dilihat di lampiran nomer 03, hlm. 100.
6Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili
oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok
Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi
keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak
bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi
pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa.
24
menjadi dua wilayah, yaitu Kasultanan7 Yogyakarta dan Pakualaman.8 Keempat
Vorstenlanden9 itu masing-masing dipimpin oleh penguasa vorstenlanden itu sendiri,
yaitu Sultan, Sunan dan Adipati.10 Pakualaman merupakan yang termuda dari
keempat keraton yang berada di Jawa Tengah. Seperti halnya dengan wilayah
Mangkunegaran di Solo, yang didirikan oleh dinasti Paku Buwono yang lebih muda,
Pakualaman adalah kerajaan terpisah dari kerajaan Yogyakarta. Walaupun terpisah
dan merdeka mereka tetap mengakui kesenioran kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Sistem pemerintahan dalam Pakualaman mirip sekali dengan sistem pemerintahan di
keraton, hal ini dikarenakan Pakualaman muncul dari sebagian wilayah Kasultanan
dan para penguasanya masih sedarah dengan para kerabat keraton.11 Pemerintah
kolonial Inggris banyak berperan dalam membangun Pakualaman ini. Abad ke-19
7Kasultanan merupakan suatu daerah yang diperintah oleh seorang raja yang
sering disebut dengan “Sultan”, (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Semarang: Widya Karya, 2005), hlm. 502).
8Abdurrachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe (Sejarah
Sosial 1880-1930), (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008 ), hlm. 19.
9 Vorstenlanden merupakan suatu istilah atau sebutan dalam bahasa Belanda
untuk suatu daerah yang dikuasai oleh raja, (Wojowasito, Kamus Umum Belanda
Indonesia, (Jakarta: PT Lestari Perkasa, 2006), hlm. 772
10Adipati adalah suatu gelar untuk raja muda atau wakil raja yang biasanya
digunakan di lingkungan kerajaan Pakualaman dan mangkunegaraan, (Suharso,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), hlm. 16.
11 Sisilah Kerabat Pakualaman dapat dilihat di lampiran nomer 04, hlm. 103.
25
Pakualaman dan Keraton Yogyakarta berada dalam pengawasan kekuasaan kolonial
Perancis (Deandels). 12
Masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda pada tahun 1811-1815 bisa
dibilang cukup singkat. Hal ini dikarenakan pada saat kedatangan mereka di wilayah
kerajaan Yogyakarta dan Surakarta sedang berkembang paham anti penjajah. Melihat
hal tersebut, Gubernur Inggris tentu tidak menyerah begitu saja, ia menempuh
berbagai cara untuk untuk menguasai Keraton Yogyakarta. Salah satu caranya adalah
dengan ikut campur dalam pertikaian yang berkepanjangan antara Hamengkubuwono
II yang bersikap anti terhadap penjajah dengan anaknya sendiri Hamengkubuwono III
yang justru bersikap sebaliknya, yaitu menyambut baik kedatangan penjajah. Raffles
kemudian menyerang kraton Yogyakarta, dan atas bantuan paman Sultan Pangeran
Nata Kusuma, dan akhirnya dapat menyingkirkan Hamengkubuwono II dan
mengangkat Hamengkubuwono III.
Atas bantuan Pangeran Nata Kusuma pada tahun 1813, Raffles membuat
pemerintahan kedua di Yogyakarta dengan mengangkat Pangeran Nata Kusuma
sebagai kepala pemerintahan dengan nama Sri Paduka Paku Alam I pada 17 Maret
1813.13 Hal ini dilakukan Raffles untuk mengurangi kekuatan dan kekuasaan
Hamengkubuwono II di wilayah Yogyakarta. Gubernur Inggris berjanji, selama
Pangeran Paku Alam bersikap seperti kehendak Inggris, maka akan memberikan
12 Haryadi Baskoro, op,cit, hlm 11.
13Tercantum dalam “Gedenkschrift 25 Jarig Bertuurs-Lubileum van ZH Paku
Alam VII” yang di terbitkan oleh Batavia, hlm. 14.
26
tunjangan bulanan kepada Sri Paku Alam sebesar 750 real seumur hidup.14
Gubernemen Inggris juga akan mengusahakan agar Sri Sultan Hamengku Buwono III
memberi tanah kepada Sri Paku Alam sebesar 4.000 cacah, dan tunjangan bulanan
beserta tanah tersebut akan beralih kepada puteranya yang tertua yaitu Pangeran
Suryaningrat setelah Sri Paku Alam meninggal.15
Kadipaten Pakualaman adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan.
kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan sesuai
dengan penjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama
dengan negara dependen. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja
Mangkunagaraan di Surakarta, pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman
bersama-sama dengan Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta. Paku Alam I
membangun pusat pemerintahan tidak jauh di sebelah timur kraton Yogyakarta.
Daerah-daerah turun temurun yang sesuai dengan kehendak Letnan Gubernur Raffles
diperintah oleh Sri Paku Alam I di bawah perlindungan langsung dari Gubernur
Inggris.
Wilayah Pakualaman16 sendiri terdiri dari Kabupaten Brosot ditambah
sebagian kecil wilayah Ibukota Yogyakarta, yaitu di daerah yang teletak di timur
sungai Code yang menjadi tempat kediaman Sri Paku Alam I yang dijadikan pusat
14 Abdurachman, op.cit, hlm 27
15Isi kontrak politik antara Sri Paku Alam I dengan Gubernur Inggris pada
tanggal 17 Maret 1813 dapat dilihat di lampiran nomer 05, hlm. 104.
16Peta daerah-daerah yang termasuk wilayah Pakualaman dapat dilihat di
lampiran nomer 06, hlm. 107.
27
pemerintahan bagi daerah Pakualaman atau sering disebut dengan Puro Pakualaman.
Sedangkan kabupaten Brosot sendiri terdiri dari empat distrik yaitu Galur,
Tawangrejo, Tawangsoka, dan Tawangkarto.17 Wilayah Kadipaten Pakualaman yang
berada di daerah kota atau sekitar Pakualaman merupakan daerah dataran rendah.
Daerah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah kasultanan Yogyakarta dari
berbagai arah. Wilayah Pakualaman yang lainnya berada jauh dari wilayah
Yogyakarta, yaitu ada di sebagian wilayah di Kulon Progo, yang tentu saja berbatasan
dengan wilayah-wilayah yang masuk dalam kekuasaan Yogyakarta namun letaknya
ada di Kulon Progo.18 Kondisi alamnya sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Daerah perbukitan yang berupa batu kapur atau gamping Nepal, yang terdapat
di wilayah Giripeni, Kedung Sari, Krembangan dan Cerme
2. Daerah dataran rendah yang berupa persawahan dan ladang yang tanahnya
cukup subur yang ada di daerah galur, Brosot, Panjatan, Bendungan, Wates
dan Temon.
3. Daerah pantai dan rawa, yang terletak di daerah Trisik, Banaran, Bugel dan
Karang Wuni
Selain itu juga Bangunan Pakualaman yang menghadap ke arah selatan ini
melambangkan penghormatannya terhadap Keraton Yogyakarta. Seperti keraton
lainnya Pakualaman memiliki kompleks yang dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan
17Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit, hlm. 20.
18Soedarisman. Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 151.
28
kokoh. Hal ini tentu bertujuan untuk melindungi daerah kekuasaan Pakualaman dari
serangan musuh yang ada di luar beteng.19
Pemerintah Inggris membebaskan daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan Sri Paku Alam, tidak akan dipungut pajak-pajak baru, dan penghasilan
tanahnya tidak boleh ditambah atau diubah, kecuali jika sudah mendapatkan ijin lebih
dahulu dari Gubernemen20 Inggris. Wilayah Pakualaman yang akan di jelaskan dalam
penulisan ini adalah wilayah Pakualaman baik daerah yang masih di dalam kota
Yogyakarta maupun yang ada di luar kota Yogyakarta (Kulon Progo).
B. Keadaan Demografi Pakualaman
Kepadatan penduduk di suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap bidang
pendidikan. Kepadatan penduduk tentu sangat erat hubungannya dengan
kesejahteraan masyarakat, dan masyarakat yang sejahtera tentu saja akan
meningkatkan perkembangan pendidikan di masyarakat. Zaman kekuasaan
pemerintah kolonial mulai melakukan perhitungan penduduk di wilayah Indonesia,
terutama daerah-daerah yang ada di Jawa.21 Abad ke-18, jumlah penduduk Pulau
19 Soeraji, Kadipaten Pakualaman, pada http : // www.google.com/Kadipaten
Pakualaman. Diakses pada tanggal 19 Februari 2012.
20Gubernemen merupakan suatu pemerintahan yang kekuasaannya ada di
tangan pemerintah Belanda, (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005), hlm.157).
21 J. C. Breman. Djawa : Pertumbuhan Penduduk dan Struktur Demografis,
( Jakarta : Bhratara, 1971), hlm.17.
29
Jawa tidak mengalami pertumbuhan yang mencolok, karena pada saat itu telah terjadi
perang dalam rangka perebutan kekuasaan di kerajaan Mataram. Perhitungan jiwa
selalu dianggap sebagai suatu cara untuk memperbaiki dan menguatkan pencatatan
penduduk. Akibatnya perhitungan penduduk dianggap sebagai hal yang sekunder.22
Perhitungan penduduk dianggap hanya manipulasi data yang bertujuan untuk
kepentingan kolonial saja, sehingga tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui
jumlah penduduk sebenarnya. Hal ini dikarenakan cara perhitungan yang kurang teliti
dan kurang mendetail. Saat Raffles berkuasa di Jawa, yaitu pada tahun 1814
ditemukan adanya gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Ia memperkirakan suatu
saat bila seluruh tanah dibuka, maka tanah-tanah tersebut akan dipenuhi dan dipadati
oleh manusia.
Kenaikan jumlah penduduk pada awal abad ke-19 umumnya merupakan hasil
dari tindakan pemerintah Hindia-Belanda untuk mengurangi tingkat kematian..23
Jumlah penduduk pribumi dan penduduk asing di Karesidenan Yogyakarta tahun
1920 terdiri dari golongan pribumi, Eropa, Cina dan Arab yang jumlahnya dapat
dilihat dari tabel sebagai berikut;
22Sugarda Purbakawanca, Djawa: Pertumbuhan Penduduk dan Struktur
Demografis, (Jakarta : Bhratara. 1971), hlm. 24.
23 Abdurrachman Surjomiharjo,op.cit., hlm 24.
30
Tabel 01
Jumlah Penduduk Asing yang Menempati Wilayah Karesidenan Yogyakarta
(jiwa)
Daerah
Administrasi
Eropa Pribumi Cina Arab
Pakualaman 354 8.247 172 -
Tugu 955 19.923 2.479 25
Kauman 896 18.306 2.822 35
Gading 16 17.930 44 -
Lempuyangan 1.438 15.296 126 4
Kraton 71 14.552 - -
Sumber : Uitkomsten van den Nov 1920 Gehouden Volkstelling in het Gewest
Djogjakarta
Tabel di atas sudah menunjukkan bahwa di Yogyakarta sendiri telah ditempati
oleh para bangsa asing yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Bangsa asing yang
mendiami kota Yogyakarta jumlahnya yang paling banyak adalah dari bangsa Cina.
Mereka banyak menempati daerah-daerah di Yogyakarta karena kepentingan
ekonomi, mereka melihat cukup banyak peluang usaha yang menghasilkan banyak
keuntungan terutama di bidang perindustrian. Akibatnya di wilayah Yogyakarta
banyak bermunculan pendirian pabrik-pabrik industri seperti industri tekstil yang
banyak didirikan oleh para bangsa Cina yang banyak tinggal di Yogyakarta. Untuk
daerah Pakualaman sendiri juga cukup banyak penduduknya yang bisa di lihat dari
tabel sebagai berikut;
31
Tabel 02
Jumlah Penduduk Pakualaman Tahun 1922 (jiwa)
No. Daerah Administrasi Jumlah Penduduk
1 Jagalan Kidul 1.100
2 Jagalan Lor 1.279
3 Margoyasan 214
4 Kauman 364
5 Ledokan 500
6 Kepatihan 512
7 Gunung Ketur Kulon 710
8 Gunung Ketur Wetan 1.093
9 Gendeng 117
Jumlah 5.889
Sumber: Arsip Pakualaman No. 3939 Berkas Mengenai Macam-macam Cacah Jiwa
07 September 1922
Wilayah Pakualaman terdiri dari wilayah yang berdekatan dengan Ibukota
Yogyakarta dan sebagian wilayah kecil yang ada di Kabupaten Kulon Progo, data
jumlah penduduknya sebagai berikut;
Tabel 03
Jumlah Kepadatan Penduduk Adikarto Tahun 1920 (jiwa)
Onderdistrik Eropa Pribumi Cina
P W T P W T P W T
Galur 25 21 46 9.740 10.054 19.794 54 36 90
Panjatan 5 1 6 12.54
0
13.144 25.684 - - -
Wates 9 8 17 11.97
7
12.560 24.537 90 76 160
Temon 10 5 15 8.170 8.064 16.834 - 1 1
Jumlah 49 35 84 42.42
7
44.422 86.849 144 77 251
Sumber : Uitkomsten Der in de Maad November 1920, Ghouken Volkstelling
32
Perekonomian masyarakat sendiri cukup beragam. Pada awal abad ke-19
konsekuensi tertentu dari pengaruh Barat mulai tampak jelas.24 Dalam bidang
ekonomi akibat yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah penduduk dan
diperkenalkannya ekonomi uang.25 Hal ini dikarenakan banyaknya pabrik gula yang
didirikan oleh pihak asing yang menggunakan tenaga kerja dari orang pribumi.
Dengan demikian, membuat uang berputar di lingkungan penduduk dalam
bentuk upah yang diberikan untuk para tenaga kerja prbumi yang bekerja di pabrik
milik orang asing.26 Perkembangan ini semakin cepat selama fase kebijakan ekonomi
yang sering disebut dengan periode Liberal dari tahun 1870-1900. Periode inilah
tanaman tebu, kopi, teh dan kina mulai dikembangkan diperkebunan wilayah Kulon
Progo, perusahaan-perusahaan swasta dapat menyewa sawah-sawah yang beririgasi
dari pemilik bangsa Indonesia untuk penanaman tebu secara bergantian dengan
penanaman padi oleh penduduk pribumi.27 Proses ini membuat semakin melemahnya
pemilikan tanah penduduk pribumi, karena lahan ini menjadi penting bagi penanam
tebu yang memandang desa sebagai perusahaan umum yang memiliki lahan atas
24W. J. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, (Yogyakarta : Tiara
wacana, 1990), hlm.65.
25Ekonomi uang merupakan suatu sistem perekonomian yang mulai
memberlakukan dan menggunakan uang sebagai alat untuk proses jual beli yang
menggantikan pertukaran barang pada sistem perekonomian sebelumnya (Sartono
Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta
: Aditya Media, 1991), hlm. 03.
26W. F. Wertheim, loc.cit.
27 Abdurachman, op,cit., hlm 69.
33
dasar komunal sehingga mereka merasa diwajibkan berbicara hanya dengan
pemimpin desa, bukan dengan para pemilik secara individual. Para petani
memperoleh pendapatan dalam bentuk sewa yang dibayar oleh pemilik perkebunan
dan mereka dapat pula memperoleh hasil lebih di perkebunan sebagai kerja harian
atau musiman.
Sistem Tanam Paksa telah menjadikan masyarakat pribumi terbiasa menjadi
tenaga kuli di bawah pengawasan orang Barat. Ekonomi subsistensi28 untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri di hapuskan secara progresif29, meskipun demikian
masyarakat Pakualaman tetap ingin mempertahankan ikatan dengan tanahnya
tersebut. Hasilnya para petani mempertahankan sikap pasif terhadap serbuan ekonomi
uang. Mereka bertahan sebagai petani yang memenuhi kebutuhannya sendiri, mencari
pendapatan lain jika dibutuhkan, dan mencoba mencari sedikit tambahan jika kondisi
sama sekali tidak bekerja namun tetap dipekerjakan oleh suatu usaha milik Barat.
Mereka lebih senang memberikan keuntungan kepada Cina atau orang Arab, karena
28Ekonomi Subsistensi merupakan suatu perekonomian yang didalamnya
merupakan suatu usaha yang menghasilkan barang-barang yang digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari mereka sendiri, (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di
Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media, 1991), hlm. 04.
29Progresif merupakan istilah untuk menggambarkan suatu perubahan yang
dapat mengarah ke suatu kemajuan, yang digambarkan pada kemajuan masyarakat
setelah di kenalkan dengan pendidikan Barat, (Suharso, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), hlm 374).
34
mereka dianggap sudah sejak lama telah menguasai lingkungan tradisional
pedesaan.30
Kontak pertama dengan dunia Barat dilakukan, daerah-daerah di Pakualaman
merupakan area pertanian, yang kebanyakan mereka menanam padi di persawahan
mereka.31 Ada pula penduduk yang mempraktikkan sistem “ladang berpindah”32 di
area hutan yang mereka bersihkan dengan cara membakarnya kemudian mereka
menjadikan area tersebut sebagai lahan tanam mereka. Bentuk ekonomi yang dianut
masyarakat bisa dikatakan tertutup,33 para petani biasanya menggunakan hasil-hasil
tanaman di ladang mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Selain itu, ada
sejumlah pertukaran produk dan tenaga kerja tertentu yang banyak di jumpai di desadesa,
yang pada umumnya berdasarkan prinsip komunal, tradisional dan nonkomersional.
Perdagangan eksternal tidak begitu diminati oleh pemerintah, pada
30 Bangsa Arab dan Cina lebih dulu masuk ke Indonesia bila dibandingkan
dengan bangsa Belanda. Bangsa Arab dan Cina telah berhasil mendekatkan diri
mereka pada masyarakat terutama masyarakat tradisional pedesaan.
31W. F. Wertheim, op,cit. hlm.65
32 Ladang berpindah adalah penggunaan ladang yang ada di hutan dengan
membersihkan ladang tersebut terlebih dahulu setelah itu baru bisa ditanami, setelah
ladang tersebut dianggap sudah tidak produktif lagi, mereka akan berpindah mencari
tempat (lahan) untuk dijadikan ladang baru yang lebih produktif, (Sartono
Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta
: Aditya Media, 1991), hlm. 03
33Ekonomi tertutup adalah perekonomian yang menggunakan hasil dari lahan
mereka (petani) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa terpengaruh dengan
kebudayaan perekonomian lainnya seperti ekonomi uang, mereka juga masih
menggunakan sistem tukar menukar barang, menggunakan suatu barang sebagai alat
pengganti uang, (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian
Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media, 1991), hlm. 03.
35
umumnya pemerintah lebih senang menarik pajak dari masyarakat yang dilakukan
secara paksa yang kemudian dalam perkembangannya telah berhasil dihapuskan oleh
Raffles. Dampak pemerintah pada kehidupan desa, telah melebihi pengaruh yang
diberikan oleh penguasa pribumi, yang dalam wilayah luas membiarkan ekonomi
desa dalam keadaan utuh. Pemilikan swasta atas sawah muncul, hak-hak orang desa
dipersempit dan kekuasaan pemimpin desa untuk mengatur lahan yang dapat
ditanami semakin tinggi. Dengan banyaknya kedatangan bangsa asing, terutama
bangsa Cina telah sedikit demi sedikit menggeser pertanian masyarakat Yogayakarta.
Mata pencaharian pokok penduduk Pakualaman adalah bercocok tanam,
walaupun mereka mempunyai ladang atau areal pertanian yang dapat mereka
kerjakan sebagai mata pencaharian pokok mereka, namun mereka juga tetap
mempunyai mata pencaharian di bidang lain seperti menjadi pedagang, tukang kayu,
pengrajin bambu, pengrajin batik dan tekstil. Perkembangan yang pesat pada industri
batik dan tekstil dipengaruhi oleh banyaknya penduduk asing yang masuk dan tinggal
di wilayah mereka dan mendirikan industri-industri batik dan tekstil. Tumbuhnya
industri tersebut tentu membuka peluang lowongan pekerjaan baru bagi masyarakat
Pakualaman. Masyarakat sendiri lebih tertarik untuk menjadi buruh pabrik yang
pekerjaannya lebih mudah bila dibandingkan dengan bercocok tanam, selain itu upah
yang mereka dapatkan juga lebih besar bila dibandingkan dengan hasil dari tanaman
mereka di ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mata pencaharian menjadi masyarakat
sebagai petani sudah mulai berkurang. Penduduk sudah mulai beralih pekerjaannya
36
sebagai pedagang atau buruh pabrik tekstil yang banyak didirikan oleh bangsa Cina.
Berkurangnya jumlah penduduk yang pekerjaanya sehari-hari menjadi petani dapat
dibuktikan dengan berkurangnya perbandingan jumlah hewan ternak yang berfungsi
sebagai alat bantu dalam membajak sawah dan alat transportasi. Hal ini bisa
dibuktikan dengan melihat tabel berikut ini:
Tabel 05
Jumlah Ternak Penggarap dan Alat Transportasi di Kadipaten Pakualaman
1901 (ekor)
Nama Daerah Jenis Ternak Penggarap dan Alat Transportasi
Kuda Lembu Kerbau
Jagalan 12 10 -
Kepatihan 3 - -
Kauman 17 - -
Purwanggan 56 16 -
Gunungketur 1 2 -
Margoyasan - - -
Gendeng - 1 -
Adikarto 477 6099 1566
Jumlah 566 6128 1566
Sumber : Inheemsche Bevolking Van Midden-Java en de Vorsten landen, Batavia :
Departement Economische Zaken Landateukkerij. hlm. 98.
Perkembangan jumlah penduduk di Kadipaten Pakualaman yang sangat pesat
ditambah dengan meluasnya perkembangan industri perkebunan swasta. Hal ini telah
menyebabkan berkurangnya lahan pertanian milik perseorangan, sehingga sebagian
besar penduduk justru hanya menjadi petani penggarap.34 Mereka mendapatkan upah
tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk jumlah petani
34 Haryadi, loc,cit
37
penggarap di wilayah Kadipaten pada tahun 1930 sebanyak 14 orang dari 100 jiwa
yang ada.
Sistem ekonomi dalam masyarakat petani berdasarkan pada pertanian yaitu
dengan bercocok tanam, peternakan atau perikanan yang menghasilkan pangan
dengan kesatuan-kesatuan produksi yang tidak berspesialisasi. Artinya mereka tidak
menanam tumbuhan hanya pada satu jenis tanaman saja, dan tidak beternak hanyak
dengan satu jenis hewan ternak saja. Para petani mengembangkan sistem pertanian
yang berbeda, yaitu persawahan, kebun dan tegalan. Perkebunan pribumi hanya
berupa tanah di sekitar rumah yang ditanami buah dan sayur. Hasil kebun diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan hidup petani sehari-hari. Tidak sedikit petani yang
menggantungkan hidup mereka dari hasil kebun yang diperoleh.
Daerah Adikarto yang merupakan daerah yang tanahnya cukup subur,
sehingga banyak penduduknya yang mata pencahariaannya dalam bidang pertanian.
Dalam perkembangannya kehidupan pertanian penduduk berubah menjadi
perkebunan tebu yang dibuka di Kabupaten Adikarto dan Distrik Pengasih pada tahun
1928. Berkembangnya perkebunan tebu tersebut karena daerah Adikarto dan
Pengasih mendapatkan suplai air dari sungai Progo dengan jalan air yang di bangun
di dekat daerah Sentolo. Saluran air inilah yang kemudian menjadi sarana
peningkatan hasil pertanian dan perkebunan dari daerah Pengasih sampai ke daerah
Adikarto, yang secara langsung hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar Adikarto.
38
Selain itu di wilayah Pakualaman muncul golongan masyarakat khusus di
dalam pekerjaan tertentu, yaitu menjadi seorang jagal35. Riwayat para jagal dan
pelindungnya mengarah kepada seorang yang berasal dari keturunan Majapahit, yang
semula bernama Gus Yakup dan terkenal di kalangan para jagal sebagai Kiyai Jaga.36
Golongan jagal yang ada di wilayah Pakualaman resminya mereka sebagai abdi
dalem miji dan diorganisasikan oleh lurah dan bekel. Para pembantu mereka disebut
naya dan tempat tinggal mereka ialah di tepi timur sungai Code, yang sering disebut
dengan kampung Jagalan. Sampai tahun 1918, golongan jagal yang ada di
Pakualaman mempunyai kedudukan yang penting di masyarakat. Hal ini terbukti
dengan adanya peran penting para jagal dalam upacara adat di Keraton, mereka
ditugaskan untuk memotong beberapa hewan persembahan yang digunakan di
upacara tersebut.
C. Keadaan Pendidikan Masyarakat Pakualaman
Kondisi alam, kepadatan, pertumbuhan, angka kematian maupun kelahiran
penduduk dan ekonomi merupakan peranan penting bagi kehidupan masyarakat,
pendidikan juga mempunyai peranan penting untuk memajukan suatu masyarakat.
35Jagal merupakan sebutan bagi seseorang yang pekerjaan sehari-harinya
memotong hewan ternak. Selain untuk konsumsi masyarakat, mereka juga memotong
hewan ternak yang digunakan sebagai persembahan dalam upacara adat,
(Abdurachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-
1930, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008), hlm. 23).
36 Ilmi Albiladiyah, loc.cit
39
Zaman kolonial, pemerintah Hindia Belanda menyediakan sekolah yang beraneka
ragam untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di berbagai lapisan masyarakat.37
Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan
tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia melalui
pendidikan menengah bisa mencapai pendidikan tinggi. Perkembangan pendidikan
tidak berjalan lancar, seperti adanya peraturan pemerintah tahun 1818 yang
mengharuskan diadakan peraturan-peraturan bagi pribumi agar tidak menghasilkan
sekolah bagi anak-anak Indonesia. 38
Untuk wilayah Pakualaman sendiri hampir setengah abad pemerintahan
Pakualaman belum mengenal pendidikan dengan sistem model Barat, tapi tetap
mereka masih menggunakan sistem pendidikan secara tradisional.39 Memasuki dunia
pendidikan dan intelektual merupakan strategi Pakualaman menyesuaikan diri dan
mempertahankan perannya di masyarakat di tengah perubahan zaman.40 Pada
awalnya pendidikan dianggap belum terlalu penting, pada saat itu yang menjadi pusat
perhatian adalah pendidikan yang berpusat pada kesejahteraan keluarga, seperti orang
37Sri Sutjiatiningsih, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1981), hlm. 41.
38 Djohan Makmur, Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1993), hlm. 50.
39 Sri Sutjiatiningsih, op,cit.,hlm.44.
40 Endriatmo Soetanto, Keistimewaan Yogyakarta : yang diingat dan yang
dilupakan, (Yogyakarta : STPN, 2009), hlm. 63.
40
tua harus menjadi contoh yang baik untuk anak-anaknya.41 Cara orang tua melatih
anak untuk menguasai cara-cara untuk mengurus diri (cara makan, buang air,
berbicara, berjalan, berdoa) membekas dalam diri anak, karena berkaitan dengam
perkembangan dirinya sebagai pribadi. Sikap orang tua sangat mempengaruhi
perkembangan anak.42
Sebelum pendidikan Barat masuk, Pakualaman telah mengenal pendidikan
Islam dan tradisional. Pengajaran diadakan setelah sholat maghrib di langgar hingga
waktu sholat Isya tiba. Pendidikan agama Islam diajarkan pertama kalinya dalam
lingkungan keluarga. Ayah dan ibu bertindak sebagai guru bagi anak-anaknya. Ayah
dan ibu memberikan pendidikan akhlak berupa cerita atau kisah orang-orang saleh
atau cerita tentang sejarah nabi, yang biasanya diberikan sebelum tidur atau pada
waktu berkumpul dengan keluarga. Tidak jarang juga para orang tua memberikan
hafalan bacaan ayat-ayat Al Quran atau doa-doa serta menuntun praktek ibadah shalat
dengan cara mengajak anak-anaknya untuk turut shalat berjamaah dengan ayah di
rumah atau di langgar atau masjid. Pendidikan semacam demikian umumnya
41 Bagi anak perempuan, mereka dituntut untuk bisa mengurus rumah dengan
baik, sedangkan untuk anak laki-laki harus mengerti tentang tata krama Jawa, karena
sebagian besar kaum laki-laki banyak menjadi hamba di Pakualaman, (Fuad Ihsan,
Dasar-dasar Kependidikan, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 58.
42Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 88.
41
dilaksanakan oleh keluarga-keluarga muslim walaupun cara atau materinya
bervariasi.43
Pendidikan dilanggar bersifat elementer, yaitu hanya mempelajari abjad huruf
Arab atau menirukan apa yang dibaca oleh guru dari Al Quran. Murid diajar secara
individual dan menghadap gurunya satu persatu, sedangkan yang lainnya duduk
bersila disekeliling guru. Selain itu pendidikan pesantren dan madrasah juga banyak
berkembang. Pendidikan tradisional Jawa pengajarannya meliputi baca tulis huruf
Jawa, nembang, pendidikan budi pekerti dan tata susila.44
Pada masa pemerintahan Paku Alam IV yaitu K.G.P.A. Suryo Sasraningrat,
lingkungan Pakualaman sudah mulai mengenal pendidikan Barat. Hal ini dibuktikan
dengan pengiriman 2 orang abdi dalem sentono laki-laki dan perempuan ke sekolah
sistem Barat, dan setelah mereka menyelesaikan sekolahnya mereka kembali ke
Pakualaman dan kemudian menjadi guru dan dokter bagi kerabat Pakualaman.45
Perkembangan pendidikan di Pakualaman sempat terhambat pada masa pemerintahan
Paku Alam IV. Saat itu Paku Alam IV banyak menerima tamu asing yang datang,
sehingga sering diadakan pagelaran kesenian dan pesta dalam Pakulamanan. Selain
43Direktorat Syariah dan Nilai Tradisional Proyek Investasi dan Dokumentasi,
Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-bangsa Barat,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1991), hlm. 49.
44 Edi Setyawati, Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan
Bangsa-bangsa Barat, (Jakarta : DEPDIKBUD, 1991), hlm. 31.
45 Kota Yogyakarta 200 Tahun (7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956),
(Yogyakarta : Kota Praja, 1956), hlm 66.
42
itu beliau juga sangat gemar mengumpulkan barang-barang mewah sebagai penghias
istana, akibatnya banyak utang yang menumpuk dari pihak swasta maupun dari
pemerintah Belanda.46 Keadaan tersebut diperburuk dengan keluarga raja banyak
yang jatuh miskin, hal ini dikarenakan masuk dan beredarnya candu dan kebiasaan
berjudi di lingkungan Pakualaman yang dibawa oleh gaya hidup Barat. Dengan
keadaan tersebut, jelas saja sangat merugikan bagi perkembangan kemajuan
pendidikan di lingkungan kerabat Pakualaman.
Pada masa Paku Alam V pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU
Agraria yang memberikan kebebasan berusaha bagi perkebunan swasta, dengan
demikian tahap Liberalisme47 mulai dilaksanakan.48 Dalam memasuki tatanan
kehidupan baru ini diperlukan tenaga yang berpendidikan yang dapat digunakan
untuk melayani perkembangan pertumbuhan ekonomi. Untuk menghadapi keadaan
tersebut, Paku Alam V menganjurkan sanak saudaranya untuk menuntut pendidikan
formal yang banyak diselenggarakan pemerintah Belanda, agar nantinya dapat
bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda. Selain menganjurkan, Paku
Alam V juga telah mengirimkan putra-putranya ke sekolah Belanda, meskipun tidak
46 Djoko Dwiyanto, Puro Pakualaman : Sejarah, Kontribusi dan Nilai
Kejuangan, (Yogyakarta : Paradigma Indonesia, 2009), hlm. 100.
47Tahap Liberalisme adalah suatu sistem ekonomi yang menganjurkan
kebebasan dalam melakukan usaha dan perniagaan tanpa adanya campur tangan dari
pemerintah sedikitpun. (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2005), hlm. 293.
48 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1977), hlm.28.
43
semuanya dapat menempuh hingga pendidikan tinggi. Tahun 1882 Paku Alam V
telah mengirimkan putranya yang bernama Notodirojo ke Batavia untuk mengikuti
pendidikan Dokter Jawa dan selesai pada pada 1892. Setelah kembali ke Pakualaman
mereka menjadi pegawai di perusahaan Belanda. Hal ini tentu saja sangat menarik
minat dari para kerabat Pakualaman untuk mengikuti pendidikan Barat. Bahkan
muncul wacana dari Paku Alam V siapapun itu (kerabat Pakualaman) yang tidak
mengikuti pendidikan secara formal tidak akan mendapatkan kedudukan dalam
pemerintahan Pakualaman.
Tahun 1891 mulai banyak keluarga Pakualaman mendapatkan pendidikan di
sekolah-sekolah Belanda, namun setelah selesai tidak semuanya bisa ditampung
menjadi pegawai di Pakualaman. Mereka yang tidak tertampung sebagai pegawai
dianjurkan untuk mencari pekerjaan diluar daerah, terutama di gubernemen.49 Hal ini
bertujuan untuk mendorong para kerabat Pakualaman mencapai kehidupan
perekonomian yang lebih baik, dengan jalan mencari pekerjaan diluar praja
Pakualaman. Para kerabat Pakualaman yang telah keluar dari sekolah Barat dan telah
melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka telah mendirikan sekolah partikelir di
daerah Pakualaman yang ada di Adikarto maupun yang ada di dalam wilayah
pemerintahan Pakualaman sendiri. Pendirian sekolah tersebut untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan di wilayah Pakualaman terutama bagi masyarakat Pakualaman
yang kebanyakan menjadi murid di sekolah tersebut. Dari awal berdirinya sekolah-
49 Djoko Dwiyanto, loc.cit
44
sekolah tersebut, semua biaya yang diperlukan ditanggung oleh pihak Pakualaman
dan tanpa adanya campur tangan dari pemerintah sedikitpun. Dengan kemajuan
pendidikan formal di lingkungan Pakualaman, sedikit demi sedikit pendidikan
tradisional mulai ditinggalkan, walaupun begitu masih bisa ditemui hasil
kasusarteraan yang bernilai tinggi.
Masa pemerintahan Paku Alam VII, beliau sangat memperhatikan pembinaan
pendidikan terhadap kerabat Pakualaman, bukan hanya dengan cara memberi
beasiswa pada anak yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat
yang lebih tinggi, namun juga melakukan pembinaan secara langsung dengan
mengawasi pendidikan pada para kerabat Pakualaman. Perkembangan pendidikan di
Pakualaman berpengaruh pada peningkatan politik, ekonomi, sosial dan masyarakat.
Secara politik dirasakan para golongan bangsawan dan priyayi, mereka mendapatkan
kelas yang lebih tinggi di masyarakat dan memperoleh kepercayaan yang lebih dari
pemerintah Belanda. Secara ekonomi sebagian masyarakat menjadi pegawai
Pemerintah Belanda terutama para kaum bangsawan dan priyayi, sedangkan dari segi
sosial masyarakat muncul gaya sosial yang lebih ke-Barat-baratan yaitu dengan gaya
hidup modern sesuai dengan orang yang ingin berkarir dalam birokrasi kolonial
Belanda.
Masyarakat sekitar Pakualaman tidak jauh berbeda dengan keadaan
pendidikan di kerabat Pakualaman. Mereka juga telah mengenal pendidikan secara
45
tradisional.50 Pendidikan mereka dapatkan di dalam masjid sehabis waktu sholat
magrib hingga waktu sholah isya tiba. Mereka juga telah mengenal pendidikan di
madrasah dan pesantren yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Untuk pendidikan
Barat sendiri, mereka belum terlalu mengenal. Banyaknya sekolah-sekolah yang
disediakan pemerintah tidak dapat menampung mereka untuk bersekolah disana. Hal
ini dikarenakan sarana dan prasarana yang kurang memadai, selain itu dikarenakan
juga biaya pendidikan di sekolah pemerintah yang relatif tinggi sehingga tidak dapat
dijangkau.
Pendidikan Barat hanya bisa didapatkan bagi mereka para kaum keturunan
Bangsawan dan kaum elit. Untuk masyarakat biasa mereka lebih memilih untuk
mendapatkan pendidikan di langgar atau di masjid karena pendidikan disana tidak
memerlukan biaya. Madrasah dan pesantren juga lebih diminati masyarakat karena
biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak-anak mereka tidak terlalu besar bila
dibandingkan dengan sekolah yang disediakan oleh pemerintah.51 Keterbatasan
sarana dan prasarana di sekolah-sekolah yang disediakan oleh pemerintah merupakan
salah satu bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang sebenarnya
tujuan dari kebijakan mereka adalah untuk membatasi pendidikan bagi kaum pribumi.
50Sri Sutjiatiningsih, op.cit., hlm.43.
51 Pendidikan di madrasah dan pesantren lebih diminati karena biaya yang
tidak terlalu banyak, selain itu muncul anggapan di madrasah dan pesantren banyak
diajarkan pelajaran tentang agama yang banyak dipraktekkan di kehidupan seharihari,
tentu saja akan mempengaruhi budi pekerti anak-anak. Untuk pelajaran formal
seperti di sekolah dianggap belum terlalu penting, (Endriatmo Soetarto,
Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan, (Yogyakarta: STPN,
2009), hlm. 63.
46
Keadaan pendidikan di masyarakat Adikarto tidak jauh berbeda dengan
keadaan pendidikan di wilayah dalam kota Pakualaman. Masyarakat juga sudah
mengenal pendidikan secara tradisional sebelum mereka mengenal pendidikan secara
formal yang dikenalkan oleh pemerintah. Pendidikan tradisional itu sendiri juga
mereka dapatkan dari warisan para kerabat Pakualaman. Dalam pendidikan sistem
tradisional juga diterapkan pendidikan agama, dan pada umumnya adalah pendidikan
agama Islam. Interaksi dengan model pendidikan semakin terasa saat model
pengajaran Eropa masuk dalam kehidupan masyarakat Adikarto, yang disesuaikan
dengan sifat dualistis masyarakat Hindia Belanda, yang terkait dengan bahasa
pengantar dan sistem pengajaran.22
BAB II
PAKUALAMAN TAHUN 1892-1942
A. Keadaan Geografis Pakualaman
Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja
Kejawen), yang keempat kerajaan itu sama-sama berasal dari sebuah kerajaan yang
pernah berjaya di hampir seluruh pulau Jawa dan sebagian di pulau Kalimantan, yaitu
Mataram Islam.1 Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati (1575-1601)
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1645). Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram
berhasil dikuasai VOC2 (Belanda). Tahun 1743, Belanda telah menguasai daerahdaerah
pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram, selain itu sistem
pemerintahan Mataram seperti pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem dan
para bupati dikendalikan oleh Belanda. Sejak 11 Desember 1749, Mataram tidak lagi
berdaulat secara de jure dan de facto karena Pakubuwono II menyerahkan
kedaulatannya kepada Belanda.3
Meruntuhkan kerajaan Mataram ternyata tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Seorang pangeran bernama Mangkubumi tidak terima dengan penyerahan
1 Ilmi Albilahdiyah, Puro Pakualaman Selayang Pandang, (Yogyakarta :
DEPDIKBUD, 1984), hlm. 22
2VOC merupakan kepanjangan dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie,
yang merupakan suatu kongsi dagang yang keberadaannya sangat berpengaruh dalam
perekonomian masyarakat Indonesia.
3 Ilmi Albilahdiyah, op, cit. hlm. 25
23
kedaulatan dan sikap lemah Paku Buwono II itu. Tanggal 19 Mei 1746, Pangeran
Mangkubumi meninggalkan istana bersama 3 pangeran lainnya yaitu Pangeran Wijil,
Pangeran Krapyak, dan Pangeran Hadiwijoyo. Mereka bergabung dengan Raden Mas
Said atau Pangeran Sambernyawa, untuk berperang melawan Belanda. Tahun 1750,
mereka mengepung ibukota Mataram. Sampai pada tahun 1752, sebagian besar
wilayah Mataram berhasil mereka kuasai. Keberhasilan perjuangan Pangeran
Mangkubumi itu menghasilkan sebuah perjanjian politik yang membuka lembaran
baru dalam sejarah Mataram.4 Tanggal 23 September 1754, Belanda bernegoisasi
dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji untuk memberi setengah dari kerajaan
Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti5 yang merupakan kesepakatan
bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku Buwono III dan Pemerintah Belanda.6
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 menjadikan wilayah
Mataram terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Pada tahun
1757 wilayah kekuasaan Susuhunan Surakarta dibagi menjadi dua wilayah, yaitu
Surakarta (Solo) dan Mangkunegaran. Sementara itu, Yogyakarta juga telah terbagi
4Haryadi Baskoro, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogyakarta,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 10.
5Isi perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram menjadi dua wilayah
(Surakarta dan Yogyakarta) dapat dilihat di lampiran nomer 03, hlm. 100.
6Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili
oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok
Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi
keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak
bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi
pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa.
24
menjadi dua wilayah, yaitu Kasultanan7 Yogyakarta dan Pakualaman.8 Keempat
Vorstenlanden9 itu masing-masing dipimpin oleh penguasa vorstenlanden itu sendiri,
yaitu Sultan, Sunan dan Adipati.10 Pakualaman merupakan yang termuda dari
keempat keraton yang berada di Jawa Tengah. Seperti halnya dengan wilayah
Mangkunegaran di Solo, yang didirikan oleh dinasti Paku Buwono yang lebih muda,
Pakualaman adalah kerajaan terpisah dari kerajaan Yogyakarta. Walaupun terpisah
dan merdeka mereka tetap mengakui kesenioran kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Sistem pemerintahan dalam Pakualaman mirip sekali dengan sistem pemerintahan di
keraton, hal ini dikarenakan Pakualaman muncul dari sebagian wilayah Kasultanan
dan para penguasanya masih sedarah dengan para kerabat keraton.11 Pemerintah
kolonial Inggris banyak berperan dalam membangun Pakualaman ini. Abad ke-19
7Kasultanan merupakan suatu daerah yang diperintah oleh seorang raja yang
sering disebut dengan “Sultan”, (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Semarang: Widya Karya, 2005), hlm. 502).
8Abdurrachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe (Sejarah
Sosial 1880-1930), (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008 ), hlm. 19.
9 Vorstenlanden merupakan suatu istilah atau sebutan dalam bahasa Belanda
untuk suatu daerah yang dikuasai oleh raja, (Wojowasito, Kamus Umum Belanda
Indonesia, (Jakarta: PT Lestari Perkasa, 2006), hlm. 772
10Adipati adalah suatu gelar untuk raja muda atau wakil raja yang biasanya
digunakan di lingkungan kerajaan Pakualaman dan mangkunegaraan, (Suharso,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), hlm. 16.
11 Sisilah Kerabat Pakualaman dapat dilihat di lampiran nomer 04, hlm. 103.
25
Pakualaman dan Keraton Yogyakarta berada dalam pengawasan kekuasaan kolonial
Perancis (Deandels). 12
Masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda pada tahun 1811-1815 bisa
dibilang cukup singkat. Hal ini dikarenakan pada saat kedatangan mereka di wilayah
kerajaan Yogyakarta dan Surakarta sedang berkembang paham anti penjajah. Melihat
hal tersebut, Gubernur Inggris tentu tidak menyerah begitu saja, ia menempuh
berbagai cara untuk untuk menguasai Keraton Yogyakarta. Salah satu caranya adalah
dengan ikut campur dalam pertikaian yang berkepanjangan antara Hamengkubuwono
II yang bersikap anti terhadap penjajah dengan anaknya sendiri Hamengkubuwono III
yang justru bersikap sebaliknya, yaitu menyambut baik kedatangan penjajah. Raffles
kemudian menyerang kraton Yogyakarta, dan atas bantuan paman Sultan Pangeran
Nata Kusuma, dan akhirnya dapat menyingkirkan Hamengkubuwono II dan
mengangkat Hamengkubuwono III.
Atas bantuan Pangeran Nata Kusuma pada tahun 1813, Raffles membuat
pemerintahan kedua di Yogyakarta dengan mengangkat Pangeran Nata Kusuma
sebagai kepala pemerintahan dengan nama Sri Paduka Paku Alam I pada 17 Maret
1813.13 Hal ini dilakukan Raffles untuk mengurangi kekuatan dan kekuasaan
Hamengkubuwono II di wilayah Yogyakarta. Gubernur Inggris berjanji, selama
Pangeran Paku Alam bersikap seperti kehendak Inggris, maka akan memberikan
12 Haryadi Baskoro, op,cit, hlm 11.
13Tercantum dalam “Gedenkschrift 25 Jarig Bertuurs-Lubileum van ZH Paku
Alam VII” yang di terbitkan oleh Batavia, hlm. 14.
26
tunjangan bulanan kepada Sri Paku Alam sebesar 750 real seumur hidup.14
Gubernemen Inggris juga akan mengusahakan agar Sri Sultan Hamengku Buwono III
memberi tanah kepada Sri Paku Alam sebesar 4.000 cacah, dan tunjangan bulanan
beserta tanah tersebut akan beralih kepada puteranya yang tertua yaitu Pangeran
Suryaningrat setelah Sri Paku Alam meninggal.15
Kadipaten Pakualaman adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan.
kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan sesuai
dengan penjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama
dengan negara dependen. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja
Mangkunagaraan di Surakarta, pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman
bersama-sama dengan Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta. Paku Alam I
membangun pusat pemerintahan tidak jauh di sebelah timur kraton Yogyakarta.
Daerah-daerah turun temurun yang sesuai dengan kehendak Letnan Gubernur Raffles
diperintah oleh Sri Paku Alam I di bawah perlindungan langsung dari Gubernur
Inggris.
Wilayah Pakualaman16 sendiri terdiri dari Kabupaten Brosot ditambah
sebagian kecil wilayah Ibukota Yogyakarta, yaitu di daerah yang teletak di timur
sungai Code yang menjadi tempat kediaman Sri Paku Alam I yang dijadikan pusat
14 Abdurachman, op.cit, hlm 27
15Isi kontrak politik antara Sri Paku Alam I dengan Gubernur Inggris pada
tanggal 17 Maret 1813 dapat dilihat di lampiran nomer 05, hlm. 104.
16Peta daerah-daerah yang termasuk wilayah Pakualaman dapat dilihat di
lampiran nomer 06, hlm. 107.
27
pemerintahan bagi daerah Pakualaman atau sering disebut dengan Puro Pakualaman.
Sedangkan kabupaten Brosot sendiri terdiri dari empat distrik yaitu Galur,
Tawangrejo, Tawangsoka, dan Tawangkarto.17 Wilayah Kadipaten Pakualaman yang
berada di daerah kota atau sekitar Pakualaman merupakan daerah dataran rendah.
Daerah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah kasultanan Yogyakarta dari
berbagai arah. Wilayah Pakualaman yang lainnya berada jauh dari wilayah
Yogyakarta, yaitu ada di sebagian wilayah di Kulon Progo, yang tentu saja berbatasan
dengan wilayah-wilayah yang masuk dalam kekuasaan Yogyakarta namun letaknya
ada di Kulon Progo.18 Kondisi alamnya sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Daerah perbukitan yang berupa batu kapur atau gamping Nepal, yang terdapat
di wilayah Giripeni, Kedung Sari, Krembangan dan Cerme
2. Daerah dataran rendah yang berupa persawahan dan ladang yang tanahnya
cukup subur yang ada di daerah galur, Brosot, Panjatan, Bendungan, Wates
dan Temon.
3. Daerah pantai dan rawa, yang terletak di daerah Trisik, Banaran, Bugel dan
Karang Wuni
Selain itu juga Bangunan Pakualaman yang menghadap ke arah selatan ini
melambangkan penghormatannya terhadap Keraton Yogyakarta. Seperti keraton
lainnya Pakualaman memiliki kompleks yang dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan
17Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit, hlm. 20.
18Soedarisman. Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 151.
28
kokoh. Hal ini tentu bertujuan untuk melindungi daerah kekuasaan Pakualaman dari
serangan musuh yang ada di luar beteng.19
Pemerintah Inggris membebaskan daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan Sri Paku Alam, tidak akan dipungut pajak-pajak baru, dan penghasilan
tanahnya tidak boleh ditambah atau diubah, kecuali jika sudah mendapatkan ijin lebih
dahulu dari Gubernemen20 Inggris. Wilayah Pakualaman yang akan di jelaskan dalam
penulisan ini adalah wilayah Pakualaman baik daerah yang masih di dalam kota
Yogyakarta maupun yang ada di luar kota Yogyakarta (Kulon Progo).
B. Keadaan Demografi Pakualaman
Kepadatan penduduk di suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap bidang
pendidikan. Kepadatan penduduk tentu sangat erat hubungannya dengan
kesejahteraan masyarakat, dan masyarakat yang sejahtera tentu saja akan
meningkatkan perkembangan pendidikan di masyarakat. Zaman kekuasaan
pemerintah kolonial mulai melakukan perhitungan penduduk di wilayah Indonesia,
terutama daerah-daerah yang ada di Jawa.21 Abad ke-18, jumlah penduduk Pulau
19 Soeraji, Kadipaten Pakualaman, pada http : // www.google.com/Kadipaten
Pakualaman. Diakses pada tanggal 19 Februari 2012.
20Gubernemen merupakan suatu pemerintahan yang kekuasaannya ada di
tangan pemerintah Belanda, (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005), hlm.157).
21 J. C. Breman. Djawa : Pertumbuhan Penduduk dan Struktur Demografis,
( Jakarta : Bhratara, 1971), hlm.17.
29
Jawa tidak mengalami pertumbuhan yang mencolok, karena pada saat itu telah terjadi
perang dalam rangka perebutan kekuasaan di kerajaan Mataram. Perhitungan jiwa
selalu dianggap sebagai suatu cara untuk memperbaiki dan menguatkan pencatatan
penduduk. Akibatnya perhitungan penduduk dianggap sebagai hal yang sekunder.22
Perhitungan penduduk dianggap hanya manipulasi data yang bertujuan untuk
kepentingan kolonial saja, sehingga tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui
jumlah penduduk sebenarnya. Hal ini dikarenakan cara perhitungan yang kurang teliti
dan kurang mendetail. Saat Raffles berkuasa di Jawa, yaitu pada tahun 1814
ditemukan adanya gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Ia memperkirakan suatu
saat bila seluruh tanah dibuka, maka tanah-tanah tersebut akan dipenuhi dan dipadati
oleh manusia.
Kenaikan jumlah penduduk pada awal abad ke-19 umumnya merupakan hasil
dari tindakan pemerintah Hindia-Belanda untuk mengurangi tingkat kematian..23
Jumlah penduduk pribumi dan penduduk asing di Karesidenan Yogyakarta tahun
1920 terdiri dari golongan pribumi, Eropa, Cina dan Arab yang jumlahnya dapat
dilihat dari tabel sebagai berikut;
22Sugarda Purbakawanca, Djawa: Pertumbuhan Penduduk dan Struktur
Demografis, (Jakarta : Bhratara. 1971), hlm. 24.
23 Abdurrachman Surjomiharjo,op.cit., hlm 24.
30
Tabel 01
Jumlah Penduduk Asing yang Menempati Wilayah Karesidenan Yogyakarta
(jiwa)
Daerah
Administrasi
Eropa Pribumi Cina Arab
Pakualaman 354 8.247 172 -
Tugu 955 19.923 2.479 25
Kauman 896 18.306 2.822 35
Gading 16 17.930 44 -
Lempuyangan 1.438 15.296 126 4
Kraton 71 14.552 - -
Sumber : Uitkomsten van den Nov 1920 Gehouden Volkstelling in het Gewest
Djogjakarta
Tabel di atas sudah menunjukkan bahwa di Yogyakarta sendiri telah ditempati
oleh para bangsa asing yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Bangsa asing yang
mendiami kota Yogyakarta jumlahnya yang paling banyak adalah dari bangsa Cina.
Mereka banyak menempati daerah-daerah di Yogyakarta karena kepentingan
ekonomi, mereka melihat cukup banyak peluang usaha yang menghasilkan banyak
keuntungan terutama di bidang perindustrian. Akibatnya di wilayah Yogyakarta
banyak bermunculan pendirian pabrik-pabrik industri seperti industri tekstil yang
banyak didirikan oleh para bangsa Cina yang banyak tinggal di Yogyakarta. Untuk
daerah Pakualaman sendiri juga cukup banyak penduduknya yang bisa di lihat dari
tabel sebagai berikut;
31
Tabel 02
Jumlah Penduduk Pakualaman Tahun 1922 (jiwa)
No. Daerah Administrasi Jumlah Penduduk
1 Jagalan Kidul 1.100
2 Jagalan Lor 1.279
3 Margoyasan 214
4 Kauman 364
5 Ledokan 500
6 Kepatihan 512
7 Gunung Ketur Kulon 710
8 Gunung Ketur Wetan 1.093
9 Gendeng 117
Jumlah 5.889
Sumber: Arsip Pakualaman No. 3939 Berkas Mengenai Macam-macam Cacah Jiwa
07 September 1922
Wilayah Pakualaman terdiri dari wilayah yang berdekatan dengan Ibukota
Yogyakarta dan sebagian wilayah kecil yang ada di Kabupaten Kulon Progo, data
jumlah penduduknya sebagai berikut;
Tabel 03
Jumlah Kepadatan Penduduk Adikarto Tahun 1920 (jiwa)
Onderdistrik Eropa Pribumi Cina
P W T P W T P W T
Galur 25 21 46 9.740 10.054 19.794 54 36 90
Panjatan 5 1 6 12.54
0
13.144 25.684 - - -
Wates 9 8 17 11.97
7
12.560 24.537 90 76 160
Temon 10 5 15 8.170 8.064 16.834 - 1 1
Jumlah 49 35 84 42.42
7
44.422 86.849 144 77 251
Sumber : Uitkomsten Der in de Maad November 1920, Ghouken Volkstelling
32
Perekonomian masyarakat sendiri cukup beragam. Pada awal abad ke-19
konsekuensi tertentu dari pengaruh Barat mulai tampak jelas.24 Dalam bidang
ekonomi akibat yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah penduduk dan
diperkenalkannya ekonomi uang.25 Hal ini dikarenakan banyaknya pabrik gula yang
didirikan oleh pihak asing yang menggunakan tenaga kerja dari orang pribumi.
Dengan demikian, membuat uang berputar di lingkungan penduduk dalam
bentuk upah yang diberikan untuk para tenaga kerja prbumi yang bekerja di pabrik
milik orang asing.26 Perkembangan ini semakin cepat selama fase kebijakan ekonomi
yang sering disebut dengan periode Liberal dari tahun 1870-1900. Periode inilah
tanaman tebu, kopi, teh dan kina mulai dikembangkan diperkebunan wilayah Kulon
Progo, perusahaan-perusahaan swasta dapat menyewa sawah-sawah yang beririgasi
dari pemilik bangsa Indonesia untuk penanaman tebu secara bergantian dengan
penanaman padi oleh penduduk pribumi.27 Proses ini membuat semakin melemahnya
pemilikan tanah penduduk pribumi, karena lahan ini menjadi penting bagi penanam
tebu yang memandang desa sebagai perusahaan umum yang memiliki lahan atas
24W. J. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, (Yogyakarta : Tiara
wacana, 1990), hlm.65.
25Ekonomi uang merupakan suatu sistem perekonomian yang mulai
memberlakukan dan menggunakan uang sebagai alat untuk proses jual beli yang
menggantikan pertukaran barang pada sistem perekonomian sebelumnya (Sartono
Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta
: Aditya Media, 1991), hlm. 03.
26W. F. Wertheim, loc.cit.
27 Abdurachman, op,cit., hlm 69.
33
dasar komunal sehingga mereka merasa diwajibkan berbicara hanya dengan
pemimpin desa, bukan dengan para pemilik secara individual. Para petani
memperoleh pendapatan dalam bentuk sewa yang dibayar oleh pemilik perkebunan
dan mereka dapat pula memperoleh hasil lebih di perkebunan sebagai kerja harian
atau musiman.
Sistem Tanam Paksa telah menjadikan masyarakat pribumi terbiasa menjadi
tenaga kuli di bawah pengawasan orang Barat. Ekonomi subsistensi28 untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri di hapuskan secara progresif29, meskipun demikian
masyarakat Pakualaman tetap ingin mempertahankan ikatan dengan tanahnya
tersebut. Hasilnya para petani mempertahankan sikap pasif terhadap serbuan ekonomi
uang. Mereka bertahan sebagai petani yang memenuhi kebutuhannya sendiri, mencari
pendapatan lain jika dibutuhkan, dan mencoba mencari sedikit tambahan jika kondisi
sama sekali tidak bekerja namun tetap dipekerjakan oleh suatu usaha milik Barat.
Mereka lebih senang memberikan keuntungan kepada Cina atau orang Arab, karena
28Ekonomi Subsistensi merupakan suatu perekonomian yang didalamnya
merupakan suatu usaha yang menghasilkan barang-barang yang digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari mereka sendiri, (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di
Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media, 1991), hlm. 04.
29Progresif merupakan istilah untuk menggambarkan suatu perubahan yang
dapat mengarah ke suatu kemajuan, yang digambarkan pada kemajuan masyarakat
setelah di kenalkan dengan pendidikan Barat, (Suharso, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), hlm 374).
34
mereka dianggap sudah sejak lama telah menguasai lingkungan tradisional
pedesaan.30
Kontak pertama dengan dunia Barat dilakukan, daerah-daerah di Pakualaman
merupakan area pertanian, yang kebanyakan mereka menanam padi di persawahan
mereka.31 Ada pula penduduk yang mempraktikkan sistem “ladang berpindah”32 di
area hutan yang mereka bersihkan dengan cara membakarnya kemudian mereka
menjadikan area tersebut sebagai lahan tanam mereka. Bentuk ekonomi yang dianut
masyarakat bisa dikatakan tertutup,33 para petani biasanya menggunakan hasil-hasil
tanaman di ladang mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Selain itu, ada
sejumlah pertukaran produk dan tenaga kerja tertentu yang banyak di jumpai di desadesa,
yang pada umumnya berdasarkan prinsip komunal, tradisional dan nonkomersional.
Perdagangan eksternal tidak begitu diminati oleh pemerintah, pada
30 Bangsa Arab dan Cina lebih dulu masuk ke Indonesia bila dibandingkan
dengan bangsa Belanda. Bangsa Arab dan Cina telah berhasil mendekatkan diri
mereka pada masyarakat terutama masyarakat tradisional pedesaan.
31W. F. Wertheim, op,cit. hlm.65
32 Ladang berpindah adalah penggunaan ladang yang ada di hutan dengan
membersihkan ladang tersebut terlebih dahulu setelah itu baru bisa ditanami, setelah
ladang tersebut dianggap sudah tidak produktif lagi, mereka akan berpindah mencari
tempat (lahan) untuk dijadikan ladang baru yang lebih produktif, (Sartono
Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta
: Aditya Media, 1991), hlm. 03
33Ekonomi tertutup adalah perekonomian yang menggunakan hasil dari lahan
mereka (petani) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa terpengaruh dengan
kebudayaan perekonomian lainnya seperti ekonomi uang, mereka juga masih
menggunakan sistem tukar menukar barang, menggunakan suatu barang sebagai alat
pengganti uang, (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Nusantara : Kajian
Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media, 1991), hlm. 03.
35
umumnya pemerintah lebih senang menarik pajak dari masyarakat yang dilakukan
secara paksa yang kemudian dalam perkembangannya telah berhasil dihapuskan oleh
Raffles. Dampak pemerintah pada kehidupan desa, telah melebihi pengaruh yang
diberikan oleh penguasa pribumi, yang dalam wilayah luas membiarkan ekonomi
desa dalam keadaan utuh. Pemilikan swasta atas sawah muncul, hak-hak orang desa
dipersempit dan kekuasaan pemimpin desa untuk mengatur lahan yang dapat
ditanami semakin tinggi. Dengan banyaknya kedatangan bangsa asing, terutama
bangsa Cina telah sedikit demi sedikit menggeser pertanian masyarakat Yogayakarta.
Mata pencaharian pokok penduduk Pakualaman adalah bercocok tanam,
walaupun mereka mempunyai ladang atau areal pertanian yang dapat mereka
kerjakan sebagai mata pencaharian pokok mereka, namun mereka juga tetap
mempunyai mata pencaharian di bidang lain seperti menjadi pedagang, tukang kayu,
pengrajin bambu, pengrajin batik dan tekstil. Perkembangan yang pesat pada industri
batik dan tekstil dipengaruhi oleh banyaknya penduduk asing yang masuk dan tinggal
di wilayah mereka dan mendirikan industri-industri batik dan tekstil. Tumbuhnya
industri tersebut tentu membuka peluang lowongan pekerjaan baru bagi masyarakat
Pakualaman. Masyarakat sendiri lebih tertarik untuk menjadi buruh pabrik yang
pekerjaannya lebih mudah bila dibandingkan dengan bercocok tanam, selain itu upah
yang mereka dapatkan juga lebih besar bila dibandingkan dengan hasil dari tanaman
mereka di ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mata pencaharian menjadi masyarakat
sebagai petani sudah mulai berkurang. Penduduk sudah mulai beralih pekerjaannya
36
sebagai pedagang atau buruh pabrik tekstil yang banyak didirikan oleh bangsa Cina.
Berkurangnya jumlah penduduk yang pekerjaanya sehari-hari menjadi petani dapat
dibuktikan dengan berkurangnya perbandingan jumlah hewan ternak yang berfungsi
sebagai alat bantu dalam membajak sawah dan alat transportasi. Hal ini bisa
dibuktikan dengan melihat tabel berikut ini:
Tabel 05
Jumlah Ternak Penggarap dan Alat Transportasi di Kadipaten Pakualaman
1901 (ekor)
Nama Daerah Jenis Ternak Penggarap dan Alat Transportasi
Kuda Lembu Kerbau
Jagalan 12 10 -
Kepatihan 3 - -
Kauman 17 - -
Purwanggan 56 16 -
Gunungketur 1 2 -
Margoyasan - - -
Gendeng - 1 -
Adikarto 477 6099 1566
Jumlah 566 6128 1566
Sumber : Inheemsche Bevolking Van Midden-Java en de Vorsten landen, Batavia :
Departement Economische Zaken Landateukkerij. hlm. 98.
Perkembangan jumlah penduduk di Kadipaten Pakualaman yang sangat pesat
ditambah dengan meluasnya perkembangan industri perkebunan swasta. Hal ini telah
menyebabkan berkurangnya lahan pertanian milik perseorangan, sehingga sebagian
besar penduduk justru hanya menjadi petani penggarap.34 Mereka mendapatkan upah
tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk jumlah petani
34 Haryadi, loc,cit
37
penggarap di wilayah Kadipaten pada tahun 1930 sebanyak 14 orang dari 100 jiwa
yang ada.
Sistem ekonomi dalam masyarakat petani berdasarkan pada pertanian yaitu
dengan bercocok tanam, peternakan atau perikanan yang menghasilkan pangan
dengan kesatuan-kesatuan produksi yang tidak berspesialisasi. Artinya mereka tidak
menanam tumbuhan hanya pada satu jenis tanaman saja, dan tidak beternak hanyak
dengan satu jenis hewan ternak saja. Para petani mengembangkan sistem pertanian
yang berbeda, yaitu persawahan, kebun dan tegalan. Perkebunan pribumi hanya
berupa tanah di sekitar rumah yang ditanami buah dan sayur. Hasil kebun diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan hidup petani sehari-hari. Tidak sedikit petani yang
menggantungkan hidup mereka dari hasil kebun yang diperoleh.
Daerah Adikarto yang merupakan daerah yang tanahnya cukup subur,
sehingga banyak penduduknya yang mata pencahariaannya dalam bidang pertanian.
Dalam perkembangannya kehidupan pertanian penduduk berubah menjadi
perkebunan tebu yang dibuka di Kabupaten Adikarto dan Distrik Pengasih pada tahun
1928. Berkembangnya perkebunan tebu tersebut karena daerah Adikarto dan
Pengasih mendapatkan suplai air dari sungai Progo dengan jalan air yang di bangun
di dekat daerah Sentolo. Saluran air inilah yang kemudian menjadi sarana
peningkatan hasil pertanian dan perkebunan dari daerah Pengasih sampai ke daerah
Adikarto, yang secara langsung hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar Adikarto.
38
Selain itu di wilayah Pakualaman muncul golongan masyarakat khusus di
dalam pekerjaan tertentu, yaitu menjadi seorang jagal35. Riwayat para jagal dan
pelindungnya mengarah kepada seorang yang berasal dari keturunan Majapahit, yang
semula bernama Gus Yakup dan terkenal di kalangan para jagal sebagai Kiyai Jaga.36
Golongan jagal yang ada di wilayah Pakualaman resminya mereka sebagai abdi
dalem miji dan diorganisasikan oleh lurah dan bekel. Para pembantu mereka disebut
naya dan tempat tinggal mereka ialah di tepi timur sungai Code, yang sering disebut
dengan kampung Jagalan. Sampai tahun 1918, golongan jagal yang ada di
Pakualaman mempunyai kedudukan yang penting di masyarakat. Hal ini terbukti
dengan adanya peran penting para jagal dalam upacara adat di Keraton, mereka
ditugaskan untuk memotong beberapa hewan persembahan yang digunakan di
upacara tersebut.
C. Keadaan Pendidikan Masyarakat Pakualaman
Kondisi alam, kepadatan, pertumbuhan, angka kematian maupun kelahiran
penduduk dan ekonomi merupakan peranan penting bagi kehidupan masyarakat,
pendidikan juga mempunyai peranan penting untuk memajukan suatu masyarakat.
35Jagal merupakan sebutan bagi seseorang yang pekerjaan sehari-harinya
memotong hewan ternak. Selain untuk konsumsi masyarakat, mereka juga memotong
hewan ternak yang digunakan sebagai persembahan dalam upacara adat,
(Abdurachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-
1930, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008), hlm. 23).
36 Ilmi Albiladiyah, loc.cit
39
Zaman kolonial, pemerintah Hindia Belanda menyediakan sekolah yang beraneka
ragam untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di berbagai lapisan masyarakat.37
Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan
tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia melalui
pendidikan menengah bisa mencapai pendidikan tinggi. Perkembangan pendidikan
tidak berjalan lancar, seperti adanya peraturan pemerintah tahun 1818 yang
mengharuskan diadakan peraturan-peraturan bagi pribumi agar tidak menghasilkan
sekolah bagi anak-anak Indonesia. 38
Untuk wilayah Pakualaman sendiri hampir setengah abad pemerintahan
Pakualaman belum mengenal pendidikan dengan sistem model Barat, tapi tetap
mereka masih menggunakan sistem pendidikan secara tradisional.39 Memasuki dunia
pendidikan dan intelektual merupakan strategi Pakualaman menyesuaikan diri dan
mempertahankan perannya di masyarakat di tengah perubahan zaman.40 Pada
awalnya pendidikan dianggap belum terlalu penting, pada saat itu yang menjadi pusat
perhatian adalah pendidikan yang berpusat pada kesejahteraan keluarga, seperti orang
37Sri Sutjiatiningsih, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1981), hlm. 41.
38 Djohan Makmur, Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1993), hlm. 50.
39 Sri Sutjiatiningsih, op,cit.,hlm.44.
40 Endriatmo Soetanto, Keistimewaan Yogyakarta : yang diingat dan yang
dilupakan, (Yogyakarta : STPN, 2009), hlm. 63.
40
tua harus menjadi contoh yang baik untuk anak-anaknya.41 Cara orang tua melatih
anak untuk menguasai cara-cara untuk mengurus diri (cara makan, buang air,
berbicara, berjalan, berdoa) membekas dalam diri anak, karena berkaitan dengam
perkembangan dirinya sebagai pribadi. Sikap orang tua sangat mempengaruhi
perkembangan anak.42
Sebelum pendidikan Barat masuk, Pakualaman telah mengenal pendidikan
Islam dan tradisional. Pengajaran diadakan setelah sholat maghrib di langgar hingga
waktu sholat Isya tiba. Pendidikan agama Islam diajarkan pertama kalinya dalam
lingkungan keluarga. Ayah dan ibu bertindak sebagai guru bagi anak-anaknya. Ayah
dan ibu memberikan pendidikan akhlak berupa cerita atau kisah orang-orang saleh
atau cerita tentang sejarah nabi, yang biasanya diberikan sebelum tidur atau pada
waktu berkumpul dengan keluarga. Tidak jarang juga para orang tua memberikan
hafalan bacaan ayat-ayat Al Quran atau doa-doa serta menuntun praktek ibadah shalat
dengan cara mengajak anak-anaknya untuk turut shalat berjamaah dengan ayah di
rumah atau di langgar atau masjid. Pendidikan semacam demikian umumnya
41 Bagi anak perempuan, mereka dituntut untuk bisa mengurus rumah dengan
baik, sedangkan untuk anak laki-laki harus mengerti tentang tata krama Jawa, karena
sebagian besar kaum laki-laki banyak menjadi hamba di Pakualaman, (Fuad Ihsan,
Dasar-dasar Kependidikan, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 58.
42Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 88.
41
dilaksanakan oleh keluarga-keluarga muslim walaupun cara atau materinya
bervariasi.43
Pendidikan dilanggar bersifat elementer, yaitu hanya mempelajari abjad huruf
Arab atau menirukan apa yang dibaca oleh guru dari Al Quran. Murid diajar secara
individual dan menghadap gurunya satu persatu, sedangkan yang lainnya duduk
bersila disekeliling guru. Selain itu pendidikan pesantren dan madrasah juga banyak
berkembang. Pendidikan tradisional Jawa pengajarannya meliputi baca tulis huruf
Jawa, nembang, pendidikan budi pekerti dan tata susila.44
Pada masa pemerintahan Paku Alam IV yaitu K.G.P.A. Suryo Sasraningrat,
lingkungan Pakualaman sudah mulai mengenal pendidikan Barat. Hal ini dibuktikan
dengan pengiriman 2 orang abdi dalem sentono laki-laki dan perempuan ke sekolah
sistem Barat, dan setelah mereka menyelesaikan sekolahnya mereka kembali ke
Pakualaman dan kemudian menjadi guru dan dokter bagi kerabat Pakualaman.45
Perkembangan pendidikan di Pakualaman sempat terhambat pada masa pemerintahan
Paku Alam IV. Saat itu Paku Alam IV banyak menerima tamu asing yang datang,
sehingga sering diadakan pagelaran kesenian dan pesta dalam Pakulamanan. Selain
43Direktorat Syariah dan Nilai Tradisional Proyek Investasi dan Dokumentasi,
Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-bangsa Barat,
(Jakarta : DEPDIKBUD, 1991), hlm. 49.
44 Edi Setyawati, Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan
Bangsa-bangsa Barat, (Jakarta : DEPDIKBUD, 1991), hlm. 31.
45 Kota Yogyakarta 200 Tahun (7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956),
(Yogyakarta : Kota Praja, 1956), hlm 66.
42
itu beliau juga sangat gemar mengumpulkan barang-barang mewah sebagai penghias
istana, akibatnya banyak utang yang menumpuk dari pihak swasta maupun dari
pemerintah Belanda.46 Keadaan tersebut diperburuk dengan keluarga raja banyak
yang jatuh miskin, hal ini dikarenakan masuk dan beredarnya candu dan kebiasaan
berjudi di lingkungan Pakualaman yang dibawa oleh gaya hidup Barat. Dengan
keadaan tersebut, jelas saja sangat merugikan bagi perkembangan kemajuan
pendidikan di lingkungan kerabat Pakualaman.
Pada masa Paku Alam V pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU
Agraria yang memberikan kebebasan berusaha bagi perkebunan swasta, dengan
demikian tahap Liberalisme47 mulai dilaksanakan.48 Dalam memasuki tatanan
kehidupan baru ini diperlukan tenaga yang berpendidikan yang dapat digunakan
untuk melayani perkembangan pertumbuhan ekonomi. Untuk menghadapi keadaan
tersebut, Paku Alam V menganjurkan sanak saudaranya untuk menuntut pendidikan
formal yang banyak diselenggarakan pemerintah Belanda, agar nantinya dapat
bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda. Selain menganjurkan, Paku
Alam V juga telah mengirimkan putra-putranya ke sekolah Belanda, meskipun tidak
46 Djoko Dwiyanto, Puro Pakualaman : Sejarah, Kontribusi dan Nilai
Kejuangan, (Yogyakarta : Paradigma Indonesia, 2009), hlm. 100.
47Tahap Liberalisme adalah suatu sistem ekonomi yang menganjurkan
kebebasan dalam melakukan usaha dan perniagaan tanpa adanya campur tangan dari
pemerintah sedikitpun. (Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2005), hlm. 293.
48 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1977), hlm.28.
43
semuanya dapat menempuh hingga pendidikan tinggi. Tahun 1882 Paku Alam V
telah mengirimkan putranya yang bernama Notodirojo ke Batavia untuk mengikuti
pendidikan Dokter Jawa dan selesai pada pada 1892. Setelah kembali ke Pakualaman
mereka menjadi pegawai di perusahaan Belanda. Hal ini tentu saja sangat menarik
minat dari para kerabat Pakualaman untuk mengikuti pendidikan Barat. Bahkan
muncul wacana dari Paku Alam V siapapun itu (kerabat Pakualaman) yang tidak
mengikuti pendidikan secara formal tidak akan mendapatkan kedudukan dalam
pemerintahan Pakualaman.
Tahun 1891 mulai banyak keluarga Pakualaman mendapatkan pendidikan di
sekolah-sekolah Belanda, namun setelah selesai tidak semuanya bisa ditampung
menjadi pegawai di Pakualaman. Mereka yang tidak tertampung sebagai pegawai
dianjurkan untuk mencari pekerjaan diluar daerah, terutama di gubernemen.49 Hal ini
bertujuan untuk mendorong para kerabat Pakualaman mencapai kehidupan
perekonomian yang lebih baik, dengan jalan mencari pekerjaan diluar praja
Pakualaman. Para kerabat Pakualaman yang telah keluar dari sekolah Barat dan telah
melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka telah mendirikan sekolah partikelir di
daerah Pakualaman yang ada di Adikarto maupun yang ada di dalam wilayah
pemerintahan Pakualaman sendiri. Pendirian sekolah tersebut untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan di wilayah Pakualaman terutama bagi masyarakat Pakualaman
yang kebanyakan menjadi murid di sekolah tersebut. Dari awal berdirinya sekolah-
49 Djoko Dwiyanto, loc.cit
44
sekolah tersebut, semua biaya yang diperlukan ditanggung oleh pihak Pakualaman
dan tanpa adanya campur tangan dari pemerintah sedikitpun. Dengan kemajuan
pendidikan formal di lingkungan Pakualaman, sedikit demi sedikit pendidikan
tradisional mulai ditinggalkan, walaupun begitu masih bisa ditemui hasil
kasusarteraan yang bernilai tinggi.
Masa pemerintahan Paku Alam VII, beliau sangat memperhatikan pembinaan
pendidikan terhadap kerabat Pakualaman, bukan hanya dengan cara memberi
beasiswa pada anak yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat
yang lebih tinggi, namun juga melakukan pembinaan secara langsung dengan
mengawasi pendidikan pada para kerabat Pakualaman. Perkembangan pendidikan di
Pakualaman berpengaruh pada peningkatan politik, ekonomi, sosial dan masyarakat.
Secara politik dirasakan para golongan bangsawan dan priyayi, mereka mendapatkan
kelas yang lebih tinggi di masyarakat dan memperoleh kepercayaan yang lebih dari
pemerintah Belanda. Secara ekonomi sebagian masyarakat menjadi pegawai
Pemerintah Belanda terutama para kaum bangsawan dan priyayi, sedangkan dari segi
sosial masyarakat muncul gaya sosial yang lebih ke-Barat-baratan yaitu dengan gaya
hidup modern sesuai dengan orang yang ingin berkarir dalam birokrasi kolonial
Belanda.
Masyarakat sekitar Pakualaman tidak jauh berbeda dengan keadaan
pendidikan di kerabat Pakualaman. Mereka juga telah mengenal pendidikan secara
45
tradisional.50 Pendidikan mereka dapatkan di dalam masjid sehabis waktu sholat
magrib hingga waktu sholah isya tiba. Mereka juga telah mengenal pendidikan di
madrasah dan pesantren yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Untuk pendidikan
Barat sendiri, mereka belum terlalu mengenal. Banyaknya sekolah-sekolah yang
disediakan pemerintah tidak dapat menampung mereka untuk bersekolah disana. Hal
ini dikarenakan sarana dan prasarana yang kurang memadai, selain itu dikarenakan
juga biaya pendidikan di sekolah pemerintah yang relatif tinggi sehingga tidak dapat
dijangkau.
Pendidikan Barat hanya bisa didapatkan bagi mereka para kaum keturunan
Bangsawan dan kaum elit. Untuk masyarakat biasa mereka lebih memilih untuk
mendapatkan pendidikan di langgar atau di masjid karena pendidikan disana tidak
memerlukan biaya. Madrasah dan pesantren juga lebih diminati masyarakat karena
biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak-anak mereka tidak terlalu besar bila
dibandingkan dengan sekolah yang disediakan oleh pemerintah.51 Keterbatasan
sarana dan prasarana di sekolah-sekolah yang disediakan oleh pemerintah merupakan
salah satu bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang sebenarnya
tujuan dari kebijakan mereka adalah untuk membatasi pendidikan bagi kaum pribumi.
50Sri Sutjiatiningsih, op.cit., hlm.43.
51 Pendidikan di madrasah dan pesantren lebih diminati karena biaya yang
tidak terlalu banyak, selain itu muncul anggapan di madrasah dan pesantren banyak
diajarkan pelajaran tentang agama yang banyak dipraktekkan di kehidupan seharihari,
tentu saja akan mempengaruhi budi pekerti anak-anak. Untuk pelajaran formal
seperti di sekolah dianggap belum terlalu penting, (Endriatmo Soetarto,
Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan, (Yogyakarta: STPN,
2009), hlm. 63.
46
Keadaan pendidikan di masyarakat Adikarto tidak jauh berbeda dengan
keadaan pendidikan di wilayah dalam kota Pakualaman. Masyarakat juga sudah
mengenal pendidikan secara tradisional sebelum mereka mengenal pendidikan secara
formal yang dikenalkan oleh pemerintah. Pendidikan tradisional itu sendiri juga
mereka dapatkan dari warisan para kerabat Pakualaman. Dalam pendidikan sistem
tradisional juga diterapkan pendidikan agama, dan pada umumnya adalah pendidikan
agama Islam. Interaksi dengan model pendidikan semakin terasa saat model
pengajaran Eropa masuk dalam kehidupan masyarakat Adikarto, yang disesuaikan
dengan sifat dualistis masyarakat Hindia Belanda, yang terkait dengan bahasa
pengantar dan sistem pengajaran.