Tokoh Tionghoa yang Memberi Warna Sejarah Indonesia
Kenali para tokoh Tionghoa yang turut menggoreskan tinta emas dan memberi warna dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Indonesia tumbuh dan berkembang atas peran serta banyak etnis. Salah satunya, etnis Tionghoa. Inilah beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa yang turut memberi warna dalam perjalanan bangsa Indonesia.Kho Wan Gie (1908 - 1983)
Kho Wan Gie, salah satu tokoh perintis komik di Indonesia sebelum Ganesh TH, komikus legendaris Indonesia dengan “Si Buta dari Gua Hantu”-nya (Ganesh TH juga adalah seorang keturunan Tionghoa). Karya Kho Wan Gie, "Si Put On" (mulai terbit pada 1831) adalah salah satu komik pertama di Indonesia dan menjadi pelopor komik-komik humor di Indonesia. Komik yang menggambarkan suasana kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia pada masa itu.
Yap Tjwan Bing (31 Oktober 1910 - 1988)
Orang Tionghoa yang pernah duduk menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI). Selain itu, pernah diangkat menjadi anggota KNIP. Bahkan, ketika menjadi anggota DPR-RIS tahun 1950, Yap Tjwan Bing merupakan satu-satunya tokoh keturunan Tionghoa yang mewakili Pemerintah Indonesia. Yap Tjwan Bing dijadikan sebagai nama jalan di Solo, menjadikan satu-satunya nama jalan dari etnis Tionghoa.
Njoo Han Siang (1930 - 1985)
Perintis perbankan nasional dan perfilman Indonesia. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan piala khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri.
Siauw Giok Tjhan (23 Maret 1914 - 20 November 1981)
Politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, salah satu pendiri Universitas Trisakti (dulu Universitas Res Publika).
Kho Tjien Tiong (8 Agustus 1926 - 22 September 1996)
Dikenal dengan nama Teguh Slamet Raharjo, mendirikan grup Srimulat bersama istri pertamanya, Raden Ayu Srimulat, pada 1957. Dia sempat menjadi musisi keroncong.
Tan Djin Sing
Perjuangannya adalah mengangkat persamaan derajat di masyarakat Yogyakarta (kultur Tionghoa, Jawa, dan Kolonial Belanda) pada usia 33 tahun. Salah satu tokoh yang berperan dalam penemuan kembali Candi Borobudur di tahun 1814. Dia yang membuat peta dan laporan keaadan Candi Borobudur yang akan digunakan tim Raffles. Pada 18 September 1813 dilantik menjadi bupati Yogyakarta dan diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.
Chan Giok Nio (Elly Chandra; Ny. Tan Thiam Hok) -1923-1994
Pemilik restoran Ny. Tanzil. Kisah perjalanan menjelajah 287 negara bersama suaminya pernah ditulis di Intisari.
Chan Lan Nio (Nila Chandra) -1926-2000
Namanya tercatat di Guiness Book of Records th 1989 sebagai pembuat kue basah terumit dan terbesar du dunia. Alasannya, ”Saya ingin orang luar tahu Indonesia.”
Go Tik Swan(11 Mei 1931) – Kanjeng Raden Tumenggung Hardjonegoro
Pakar kebudayaan Jawa, khususnya keris. Orang Tionghoa pertama yang mendapatkan penghormatan sebagai ahli kebudayaan Jawa, gelar: Kanjeng Raden Tumenggung.
Kho Tjeng Lie (1942 - 2003)
Lebih dikenal dengan nama “Ateng”. Bersama Bing Slamet, dia diajak dalam acara lawak. Melalui Bing Slamet juga akhirnya dia bertemu dengan S. Bagyo, Iskak, Eddy
Liem Ching Gie (1911 - 1970)
Nama pribuminya adalah Abdul Malik. Seorang mubalik, guru, politikus, dan perintis kemerdekaan. Membentuk Pemuda Nasional. Mendirikan Darrul Jarbiyah untuk meneruskan perjuangan Nahdlatul Ulama (NU).
(J.B. Satrio Nugroho)
Sejarah Kampung Ketandan, Daerah Pecinan di Yogyakarta
Liputan6.com, Yogyakarta -
Kaum peranakan Tionghoa ada di mana-mana. Di berbagai kota tempat
mereka membentuk komunitas atau tempat tinggal yang biasa disebut pecinan.
Di Yogyakarta ada beberapa daerah pecinan. Salah satu yang populer adalah Ketandan yang berada di jantung Kota Yogyakarta. Ketandan terletak di utara Pasar Beringharjo Jalan Malioboro. Gapura Kampung Ketandan terpasang di depan kampung.
Salah seorang tokoh Tionghoa di kawasan itu, Tjundaka Prabawa, menjelaskan nama ketandan terkait sejarah berkembangnya budaya China di Yogyakarta. Orang-orang Tionghoa di Ketandan pun sangat dekat dengan Keraton waktu itu.
"Ketandan itu dari kata tanda atau penarik pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogya. Dulu di sini tempat tinggal penarik pajak itu," ujar Cun, panggilan Tjundaka, kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2016).
Menurut dia, keberadaan Ketandan juga terkait dengan tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831. Hasil penelusurannya di Belanda, diketahui ada sebuah peta Yogyakarta masa Tan Jin Sing hidup.
Selain itu, ditemukan foto rumah dengan perpaduan gaya arsitektur perpaduan antara Eropa, Cina, dan Jawa. Rumah itu adalah milik Tan Jin Sing.
Tan Jin Sing saat itu merupakan seorang kapitan Tionghoa (kepala golongan penduduk China) yang dikenal sangat pandai dan menguasai tiga bahasa, yakni Inggris, Hokian, dan Mandarin.
Cun mengatakan sebenarnya Tan Jin Sing adalah putra seorang bangsawan Jawa. Ayahnya meninggal saat Tan Jin Sing masih bayi. Ayahnya merupakan Demang Kalibeber di Wonosobo dan ibunya masih keturunan Sultan Amangkurat dari Mataram bernama Raden Ayu Patrawijaya.
Kondisi ini membuat orang Tionghoa yang bernama Oei The Long ingin mengasuh Tan Jin Sing. Oie The Long lah yang memberinya nama Tan Jin Sing.
"Anaknya ganteng, putih, matanya lebar. Ibu angkatnya senang dan setuju Tan Jin Sing lalu diadopsi oleh Oie," ucap Cun.
Namun tidak lama kemudian, ibu angkatnya meninggal. Oie lalu meminta kepada ibu kandungnya Patrawijaya untuk mengasuh Tan Jin Sing. Ibunda kandung Tan Jin Sing akhirnya mau mengasuh anaknya.
Setelah beberapa lama karena sering bertemu Oie akhirnya terpikat oleh kecantikan ibunda Tan Jin Sing. Oei dan dan Patrawijaya akhirnya memutuskan menikah.
"Dua belas tahun tahun menikah ibunya Tan Jin Sing (Patrawijaya) meninggal. Sebelum meninggal itu, ibunya bilang ke Tan Jin Sing jika dialah ibu kandungnya," kata Cun.
Tan Jin Sing lalu hidup di kalangan Tionghoa dan memutuskan menikah dengan anak seorang Kapitan China di Yogyakarta. Sepeninggal mertuanya, Tan Jin Sing melanjutkan tugas mertuanya sebagai Kapitan Cina.
Singkatnya, karena kepandaiannya dan intens berkomunikasi, dia dekat dengan Thomas Stamford Bingley Raffles yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jawa.
Kedekatan inilah yang mengatarkannya mendapatkan gelar dari Keraton. Tan Jin Sing memiliki gelar dari Keraton, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono III.
"Tan Jin Sing ini menjadi penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Thomas Stamford Bingley Raffles. Karena jasanya itu, Sultan HB III mengangkatnya sebagai bupati dan diberikan gelar KRT Secadiningrat. Namanya juga dijadikan jalan di Yogya," ujar Cun.
Sultan HB III juga memberikan hadiah tanah kepada Tan Jin Sing di daerah Ketandan. Ia bertugas mewakili Keraton di kalangan Tionghoa waktu itu.
Rumah Tan Jin Sing waktu itu berarsitektur campuran gaya Eropa, China
dan Jawa. Rumah seluas 700 meter ini pun pernah dihuni Sultan HB III.
Namun saat ini rumah itu sudah hancur.
"Ia menempati rumah di sini (Ketandan) dan karena beranak turun, sehingga dipecah-pecah, akhirnya tanah itu dipisah-pisah. Kalau yang rumah Tan jin Sing yang di depan sudah rata dengan tanah," kata Cun.
Sementara itu, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wirawan, mengatakan datangnya orang Tionghoa di Yogyakarta sulit dilacak. Karena penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia. Namun dia memperkirakan kedatangan orang Tionghoa di Yogyakarta tidak lama setelah Keraton Yogya berdiri, yaitu sekitar 1750-an.
"Yogya cukup unik kapan mulai adanya sulit ditelusuri. Tahun 1755 dan 1756 baru ada Keraton sudah ada orang China atau belum tahu, tapi kapan ada saya tidak bisa bilang," kata Cun.
Kalau dari sejarah Jawa dan Mataram, pada era kolonial sudah ada orang China. Namun kapan mulai ada belum bisa dipastikan.
"Mungkin abad 18 akhir atau awal abad 19 baru keliatan tanda kehadiran di Yogyakarta," ujar Cun.
Saat itu orang Tionghoa kebanyakan berdagang sebagai penjual emas di beberapa wilayah di Yogyakarta, termasuk di daerah Ketandan. Bahkan, saat ini pun masih terlihat peninggalan orang Tionghoa dahulu yang berjualan emas di Ketandan.
Di Yogyakarta ada beberapa daerah pecinan. Salah satu yang populer adalah Ketandan yang berada di jantung Kota Yogyakarta. Ketandan terletak di utara Pasar Beringharjo Jalan Malioboro. Gapura Kampung Ketandan terpasang di depan kampung.
Salah seorang tokoh Tionghoa di kawasan itu, Tjundaka Prabawa, menjelaskan nama ketandan terkait sejarah berkembangnya budaya China di Yogyakarta. Orang-orang Tionghoa di Ketandan pun sangat dekat dengan Keraton waktu itu.
"Ketandan itu dari kata tanda atau penarik pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogya. Dulu di sini tempat tinggal penarik pajak itu," ujar Cun, panggilan Tjundaka, kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2016).
Menurut dia, keberadaan Ketandan juga terkait dengan tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831. Hasil penelusurannya di Belanda, diketahui ada sebuah peta Yogyakarta masa Tan Jin Sing hidup.
Selain itu, ditemukan foto rumah dengan perpaduan gaya arsitektur perpaduan antara Eropa, Cina, dan Jawa. Rumah itu adalah milik Tan Jin Sing.
Tan Jin Sing saat itu merupakan seorang kapitan Tionghoa (kepala golongan penduduk China) yang dikenal sangat pandai dan menguasai tiga bahasa, yakni Inggris, Hokian, dan Mandarin.
Cun mengatakan sebenarnya Tan Jin Sing adalah putra seorang bangsawan Jawa. Ayahnya meninggal saat Tan Jin Sing masih bayi. Ayahnya merupakan Demang Kalibeber di Wonosobo dan ibunya masih keturunan Sultan Amangkurat dari Mataram bernama Raden Ayu Patrawijaya.
Kondisi ini membuat orang Tionghoa yang bernama Oei The Long ingin mengasuh Tan Jin Sing. Oie The Long lah yang memberinya nama Tan Jin Sing.
"Anaknya ganteng, putih, matanya lebar. Ibu angkatnya senang dan setuju Tan Jin Sing lalu diadopsi oleh Oie," ucap Cun.
Namun tidak lama kemudian, ibu angkatnya meninggal. Oie lalu meminta kepada ibu kandungnya Patrawijaya untuk mengasuh Tan Jin Sing. Ibunda kandung Tan Jin Sing akhirnya mau mengasuh anaknya.
Setelah beberapa lama karena sering bertemu Oie akhirnya terpikat oleh kecantikan ibunda Tan Jin Sing. Oei dan dan Patrawijaya akhirnya memutuskan menikah.
"Dua belas tahun tahun menikah ibunya Tan Jin Sing (Patrawijaya) meninggal. Sebelum meninggal itu, ibunya bilang ke Tan Jin Sing jika dialah ibu kandungnya," kata Cun.
Tan Jin Sing lalu hidup di kalangan Tionghoa dan memutuskan menikah dengan anak seorang Kapitan China di Yogyakarta. Sepeninggal mertuanya, Tan Jin Sing melanjutkan tugas mertuanya sebagai Kapitan Cina.
Singkatnya, karena kepandaiannya dan intens berkomunikasi, dia dekat dengan Thomas Stamford Bingley Raffles yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jawa.
Kedekatan inilah yang mengatarkannya mendapatkan gelar dari Keraton. Tan Jin Sing memiliki gelar dari Keraton, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono III.
"Tan Jin Sing ini menjadi penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Thomas Stamford Bingley Raffles. Karena jasanya itu, Sultan HB III mengangkatnya sebagai bupati dan diberikan gelar KRT Secadiningrat. Namanya juga dijadikan jalan di Yogya," ujar Cun.
Sultan HB III juga memberikan hadiah tanah kepada Tan Jin Sing di daerah Ketandan. Ia bertugas mewakili Keraton di kalangan Tionghoa waktu itu.
Baca Juga
"Ia menempati rumah di sini (Ketandan) dan karena beranak turun, sehingga dipecah-pecah, akhirnya tanah itu dipisah-pisah. Kalau yang rumah Tan jin Sing yang di depan sudah rata dengan tanah," kata Cun.
Sementara itu, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wirawan, mengatakan datangnya orang Tionghoa di Yogyakarta sulit dilacak. Karena penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia. Namun dia memperkirakan kedatangan orang Tionghoa di Yogyakarta tidak lama setelah Keraton Yogya berdiri, yaitu sekitar 1750-an.
"Yogya cukup unik kapan mulai adanya sulit ditelusuri. Tahun 1755 dan 1756 baru ada Keraton sudah ada orang China atau belum tahu, tapi kapan ada saya tidak bisa bilang," kata Cun.
Kalau dari sejarah Jawa dan Mataram, pada era kolonial sudah ada orang China. Namun kapan mulai ada belum bisa dipastikan.
"Mungkin abad 18 akhir atau awal abad 19 baru keliatan tanda kehadiran di Yogyakarta," ujar Cun.
Saat itu orang Tionghoa kebanyakan berdagang sebagai penjual emas di beberapa wilayah di Yogyakarta, termasuk di daerah Ketandan. Bahkan, saat ini pun masih terlihat peninggalan orang Tionghoa dahulu yang berjualan emas di Ketandan.
Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)
"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih.”
Becak masih eksis di Solo lantaran masih sering digunakan sebagai moda transportasi untuk memanjakan wisatawan berkeliling Kota Solo, utamanya sekitaran Keraton, Pasar Klewer, hingga Alun-alun Kidul.
Beratnya mengayuh becak, apalagi disengat terik matahari masih terkenang lekat di pikiran Kanjeng Raden Arya Hardjosoewarno. Meski hal itu sudah berlalu puluhan tahun lalu, tapi ia tak akan pernah lupa masa-masa sulitnya saat itu, menunggu penumpang setiap malam di depan Stasiun Balapan atau di dekat perempatan jalan besar. Karena berkat becak, ia bisa bertemu dengan Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro hingga bisa disegani seperti sekarang ini.
Supiyah saat menjelaskan tentang batik Go Tik Swan.
KRA Hardjosoewarno saat ini tinggal di Ndalem Hardjonagaran bersama istri dan anaknya. Ia menempati rumah mendiang Panembahan Hardjonagoro, majikan yang telah menganggapnya sebagai adik sendiri. Sepeninggal Panembahan Hardjonagoro, rumah seluas 2.030 meter persegi itu diserahkan ke Hardjosoewarno. Telah lama sekali Hardjonagoro menyiapkan Hardjosoewarno dan istrinya Supiyah Anggriani sebagai ahli warisnya. Sejak puluhan tahun lalu, Hardjosoewarno selalu mengikuti ke manapun perjalanan Hardjonagoro. Dari mengikuti perjalanan itulah Hardjosoewarno dapat menyerap berbagai ilmu dari Hardjonagoro hingga akhirnya siap untuk meneruskan ilmu Hardjonagoro dalam urusan tosan aji atau benda pusaka.
Sementara Supiyah yang juga telah puluhan tahun menyertai Hardjonagoro berkewajiban meneruskan dan melestarikan Batik Hardjonagaran yang merupakan terusan dari Batik Indonesia buatan Hardjonagoro atas permintaan Presiden Soekarno. Sudah sejak puluhan tahun lalu pula ia dididik Hardjonagoro dalam urusannya dengan batik.
Hardjosoewarno mempunyai nama asli Soewarno. Ia mengenang, ketika sedang menarik becak melewati Jalan Keratonan, tiba-tiba ada orang yang menyetop dari rumah bernomor 101 (sekarang menjadi Jalan Yos Sudarso 176). Tak disangka, ternyata yang menyetop dan menunggangi becak Soewarno adalah seorang pecinta budaya Jawa sekaligus orang yang punya hubungan yang dekat dengan Keraton Surakarta. Sejak saat itu becak Soewarno menjadi becak langganan Hardjonagoro, rutenya tak terbatas dari rumah ke Keraton Surakarta, melainkan juga ke berbagai tempat lain yang dikunjungi Hardjonagoro.
Hardjosoewarno dan keris yang baru dibuatnya
Suatu hari pada tahun 1969, Soewarno dikejutkan dengan pertanyaan Hardjonagoro. Saat itu Hardjonagoro menawarinya untuk ikut di rumah membantunya. Tentu saja Soewarno tak menolak tawaran baik itu.
"Entah, mungkin beliau kasihan memandang saya, merasa kalau saya orang yang mudah dididik atau bagaimana. Atau bisa jadi karena setiran becak saya enak bagi orang tua. Padahal asistennya juga banyak, kok saya ditawari juga," cerita Soewarno yang kini bernama KRA Hardjosoewarno kepada Brilio.net, Selasa (24/11).
Soewarno mulai bekerja kepada Hardjonagoro sebagai pekerja kasaran, misal memperbaiki atau mengecat rumah hingga pekerjaan kasar lainnya. Tentu Soewarno harus menerapkan sikap disiplin karena bekerja dengan Hardjonagoro yang selalu menerapkan sikap disiplin.
Selama lebih dari 30 tahun bekerja mengabdi kepada Hardjonagoro, telah banyak pelajaran yang dipetik Soewarno dari mengikuti berbagai aktivitas Hardjonagoro. Soewarno yang tak lulus Sekolah Dasar itu bahkan pengetahuan dan keahliannya tentang kebudayaan Jawa seperti adat istiadat, bahasa, batik, keris, dan kebudayaan Jawa lainnya tak kalah dengan sarjana budaya.
Dari waktu ke waktu, sikap Hardjonagoro terhadap Soewarno pun berubah, mula-mula dianggap sebagai abdi, kemudian menjadi mitra, hingga akhirnya dianggap adik sendiri oleh Hardjonagoro. Panggilan Soewarno kepada Hardjonagoro pun lambat laun berubah, mulai dari Ndoro Nggung, Ndoro kanjeng, Mas kanjeng, Mas Pangeran, hingga Mas Panembahan mengikuti perubahan gelar Hardjonagoro yang didapatkan dari Keraton Surakarta.
Ke manapun Hardjonagoro pergi, di sampingnya pasti ada Soewarno yang berpakaian necis, menyetir mobil, membawa tas, dan menyangklong kamera. Perubahan status Soewarno dari tukang becak menjadi priyayi semakin komplit dengan diberikannya gelar dari Keraton Surakarta. Gelarnya pun semakin naik, mulai dari Mas Lurah, Mas Ngabehi, Raden Ngabehi, Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Tumenggung, Kanjeng Raden Haryo Tumenggung, hingga Kanjeng Raden Aryo Hardjosoewarno pada tahun 2000. Meskipun memperoleh derajat dari keraton yang cukup tinggi, tapi Hardjosoewarno tetap ingat masa lalunya ketika setia menunggu penumpang.
Kegiatan membatik di rumah Hardjosoewarno.
Pada 1987, Hardjosoewarno menikah dengan Supiyah Anggriyani, janda muda berputra satu yang juga merupakan pembantu dekat Hardjonagoro. Saat menikah, Hardjosoewarno mempunyai tanggungan empat anak dari pernikahan sebelumnya. Perkawinan Hardjosoewarno dengan Supiyah dikaruniai satu anak.
Bagi Supiyah, Hardjonagoro adalah sosok tak lelah untuk mendidik. Tak pernah terpikir olehnya bisa mewarisi keahlian membatik sang maestro. "Saya kalau nggak beliau yang nyuruh tidak akan berani meminta diajari membatik. Tapi saat itu tiba-tiba saya diminta untuk belajar membatik. Mungkin karena beliau bingung siapa yang akan meneruskan ilmunya," kata Supiyah dalam perbincangan dengan Brilio.net, Selasa (24/11).
Kebaikan Hardjonagoro tak hanya berhenti pada Hardjosoewarno dengan Supiyah, tapi juga kepada anak-anak mereka. Empat dari enam anak mereka diangkat menjadi anak Hardjonagoro karena Hardjonagoro tak mempunyai anak dari pernikahan yang pernah dilakukan. Bahkan saat anak-anak Hardjosoewarno dan Supiyah menikah, Hardjonagoro lah yang ngunduh mantu. Hardjosoewarno dan Supiyah ditetapkan sebagai ahli waris Hardjonagoro yang berkewajiban merawat dan melestarikan peninggalan Hardjonagoro, termasuk batik dan besalen tosan aji yang telah dibangun Hardjonagoro.
"Kami sendiri tidak tahu kenapa kami yang dipilih, barangkali dipandang kalau kami bisa menjaga amanah beliau," kata Hardjosoewarno.
Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)
Dia juga ahli keris, pintar menari, dan mendermakan arca purbakala langka untuk pemerintah. Dianggap tidak waras oleh mamanya.
Di belakang rumah itu, terdapat puluhan pekerja batik yang terbagi di beberapa tempat berdasarkan tugasnya. Di bagian belakang rumah tersebut, tak kurang terdapat 10 bangunan lain dengan berbagai fungsi yang berdiri di atas tanah seluas 2.030 meter persegi. Selain rumah utama, ada pula ruang gamelan, Pendapa Pugeran, bangsal pameran, los pembatikan, kandang derkuku, perpustakaan, hingga besalen tempat membuat keris. Tapi yang menarik, ada puluhan patung purbakala di sana. Ada sekitar 40 patung yang tertata rapi di setiap sisi bangunan yang ada.
Infografis: MT Ardynata
"Ya, itu patung-patung paninggalan Panembahan Hardjonagoro yang pada 11 Agustus 1985 lalu diserahkan kepada pemerintah. Tapi hingga saat ini masih tersimpan di sini," terang KRA Hardjosoewarno, ahli waris Hardjonagoro kepada Brilio.net, Selasa (10/11).
Panembahan Hardjonagoro yang mempunyai nama asli Hardjono Go Tik Swan adalah salah seorang keturunan Tionghoa yang sangat memahami budaya Jawa. Nama maupun wajah Go Tik Swan yang jika didengar maka lebih identik dengan etnis Tionghoa ini menggeluti dunia tari, batik, patung purbakala, dan keris. Kedekatan dengan budaya Jawa ini sudah dipupuknya sejak kecil. Kecintaannya terhadap seni tradisi Jawa ini bukan merupakan suatu kebetulan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan bukan atas dasar tekanan maupun perintah siapapun.
Pada 1953 Go Tik Swan kuliah di Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa Universitas Indonesia (UI), membelot dari keinginan orangtua yang memintanya kuliah di Fakultas Ekonomi. Cerita tentang keluarganya yang masih memiliki hubungan dengan Sunan Bayat mendorongnya untuk memahami hikayat-hikayat Jawa. Atas kecintaannya dengan dunia Jawa ini dia menjadi marjinal di keluarganya. Bahkan maminya pernah menyebutnya sebagai orang yang tidak waras.
Dari Bung Karno, Go Tik Swan mendapat 'perintah' untuk membuat batik yang beda dengan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, yang oleh Bung Karno dinamai 'Batik Indonesia'. Akhir 1955 Batik Indonesia lahir.
Perjalanan kehidupan Go Tik Swan tahun 1975-1990 dihabiskan untuk mengabdi di museum tertua Indonesia, Radyapustaka yang berada di Jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Go Tik Swan merupakan ketua kelima. Di Karaton Kasunanan Surakartan, Go Tik Swan merupakan salah satu pendiri Art Gallery Karaton Surakarta (Museum Karaton) pada tahun 1963.
Dari abdi dalem, pada 1972 Go Tik Swan diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (RT) Hardjonagoro. Tahun 1984 diangkat sebagai Bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonagoro. Tahun 1994 diangkat Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Haryo Tumenggung (KRHT) Hardjonagoro. Pada 1998 Go Tik Swan diangkat menjadi Kangjeng Pangeran Tumenggung (KPT) Hardjonagoro.
Pada 1979 Go Tik Swan diberi hadiah umroh selepas menjadi pembicara dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Irene Emery Roundtable on Textiles Museum di New York.
Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ) juga menghadiahi Bintang Bhakti Budaya pada Go Tik Swan pada 1993 karena dinilai telah memajukan kebudayaan Jawa. Satyalencana Kebudayaan juga diterimanya dari Presiden RI melalui Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2001. Namanya diabadikan di pasar rakyat paling legendaris di Solo, Pasar Gede Hardjonagoro.
Luwesnya Go Tik Swan menari Jawa (Repro buku Jawa Sejati)
Selain sebagai maestro batik Indonesia, Go Tik Swan juga pandai menari. Pengetahuannya juga sangat luas mengenai tosan aji atau benda pusaka Jawa. Tak hanya itu, ia juga gemar sekali menyusuri gang-gang sempit di pelosok desa untuk mencari patung purbakala yang tak pernah terjamah oleh pemerintah. Kegemarannya itu membuat keturunan etnis Tionghoa ini menjadi Jawa sejati, melebihi orang Jawa asli. Karena tak memiliki keturunan, sepeninggal Go Tik Swan pada 2008 lalu, maka rumah dan seisinya diwariskan kepada KRA Hardjosoewarno sekeluarga yang telah lama mengabdi kepadanya. Bersama istrinya, Supiyah Anggriyani, Hardjosoewarno berkewajiban menjaga dan melestarikan batik Hardjonagoro dan besalen keris yang ada di rumah tersebut.
Bagi Hardjosoewarno, meskipun berdarah Tionghoa, Go Tik Swan lebih Jawa dibandingkan orang Jawa pada umumnya. Sejak kecil Go Tik Swan telah terdidik di lingkungan yang sangat memjunjung tinggi budaya Jawa. Ia hidup di tengah-tengah ribuan pebatik yang bekerja dengan kakeknya.
Hardjosoewarno mencontohkan, jika orang kaya zaman dulu pada umumnya menyusuri desa-desa untuk berburu burung, maka hal lain dilakukan oleh Go Tik Swan. Ia menyusuri kampung-kampung untuk mencari batu-batu yang mempunyai nilai sejarah. Saat mengetahui kabar ada patung purbakala, maka dengan secepatnya dia akan meluncur ke tempat itu. Ia pernah menemukan patung purbakala di tengah sawah, di antara pepohonan bambu, di tengah parit, hingga di bawah jembatan karena patung itu digunakan untuk menyangga jembatan.
"Pada saat itu belum ada undang-undang dari pemerintah, hingga semua orang bisa dengan leluasa mengoleksi benda cagar budaya," kata Hardjosoewarno.
Dalam buku 'Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro' tulisan Rustopo diceritakan bahwa kegemaran Go Tik Swan berburu benda purbakala itu muncul sejak ia menemani KGPH Hadiwijaya mengelola Museum Radyapustaka Solo. Go Tik Swan sangat prihatin dengan potongan-potongan batu patung purbakala yang berserakan di mana-mana seperti benda tak berharga. Rasa keprihatinan itu medorongnya untuk berburu patung purbakala itu sendiri sejak tahun 1956, seiring dengan kesibukannya mengelola batik di Solo.
Setiap melakukan perburuan, Go Tik Swan selalu ditemani dengan kawan karibnya bernama Diarto. Selama melakukan perburuan, bukti bahwa patung perbakala itu dianggap tak penting semakin nyata. Banyak patung yang bersejarah itu dijadikan penopang jembatan bahkan dijadikan tumpuan orang buang hajat di pinggir kali. Anggapan masyarakat pedesaan bahwa benda itu tak bernilai membuat tak sulit bagi Go Tik Swan untuk memiliki benda tersebut. Ia biasa menukar benda tersebut dengan pengganti yang lebih dibutuhkan oleh warga, misalnya dengan membangun jembatan, membuatkan WC umum, atau memberikan pengganti uang.
Kegemarannya memburu patung di perkampungan itu banyak dianggap sebagai kebiasaan yang aneh oleh banyak orang. Bahkan orang yang menganggap Go Tik Swan tak waras karena terus mengumpulkan puing-puing batu itu adalah maminya sendiri, Tjan Ging Nio. "Setiap hari kok ngurusi reca-reca tugel (arca-arca patah), ngebak-ngebaki (menuh-menuhin) rumah saja," kata Go Tik Swan kepada Rustopo menirukan omongan maminya.
Kalimat itu muncul dari maminya karena di halaman rumahnya dipenuhi dengan potongan-potongan patung batu. Tapi Go Tik Swan bergeming dan tak pernah menghentikan perburuannya, ia berkeyakinan bahwa benda-benda tersebut suatu saat akan berharga. Tak hanya dikumpulkan, oleh Go Tik Swan potongan patung itu juga dipelajari dan dibentuk kembali sehingga menghasilkan patung yang kelihatan relatif utuh.
Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan bisa dikatakan sangat berharga, seperti patung Syiwa, Nandi, Kuwera, Durga, Wishnu, Budha, Bima, Makara, Dwarapala, Brahma, Agastya, Ganesa, dan masih banyak lagi yang lainnya. Patung yang dikumpulkan Go Tik Swan hampir semuanya istimewa, baik dari segi bentuk, estetika, nilai historis, hingga makna simbolik yang terkandung. Di antara patung istimewa itu, ada patung Bima yang dibuat sekitar abad ke-14 dan berasal dari Candi Sukuh Karanganyar.
Pada zaman Mangkunegara IV Solo, patung Bima itu dibawa ke Solo atas perintah seorang pangeran. Kemudian saat zaman Mangkunegara VII, patung itu terlihat menghiasi Taman Balekambang milik Istana Mangkunegaran. Pada saat Go Tik Swan menemukan patung itu, kondisinya sudah memprihatinkan, patung itu hanya tergeletak di tanah dan terbagi menjadi tiga potongan. Lalu atas izin Mangkunegara VIII, patung itu diselamatkan Go Tik Swan, dibentuk kembali seperti aslinya dan dirawat hingga sekarang.
Go Tik Swan mengoleksi patung itu bukan seperti kolektor lainnya yang hendak menjualnya ke luar negeri dengan harga tinggi. Niat Go Tik Swan hanyalah ingin menyelamatkan benda itu. Maka tak heran jika kemudian Go Tik Swan mengembalikan patung-patung itu kepada masyarakat melalui pemerintah. Ia buat surat wasiat yang berisi tentang penyerahan patung-patung itu kepada pemerintah untuk masyarakat. Dalam lampiran surat wasiat itu, ia sebutkan juga daftar 44 patung yang ditemukan dan dirawatnya. Acara serah terima dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 1985 di Ndalem Hardjonagaran, rumah Go Tik Swan. Pada saat itu disebutkan oleh perwakilan pemerintah bahwa apa yang dilakukan Go Tik Swan merupakan yang pertama kali terjadi, seorang warga negara dengan sukarela menyerahkan benda-benda koleksinya yang punya nilai sejarah.
"Tahun 1985 karena kesadaran dan ketajaman beliau, patung-patung ini dihibahkan pada negara. Saya salah satu yang menandatangani surat serah terima sebagai ahli waris," terang KRA Hardjosoewarno kepada brilio.net, (25/11)
Meskipun telah diserahterimakan kepada negara, hal itu tak lantas membuat patung itu diusung dari Ndalem Hardjonagaran. Go Tik Swan memberikan syarat jika patung itu harus tetap ada di Ndalem Hardjonagaran selama ia masih hidup. kemudian setelah ia wafat, patung itu bisa diambil ketika pemerintah telah menyiapkan tempat yang layak bagi puluhan patung berharga tersebut.
"Tapi sampai saat ini pemerintah belum siap untuk mengambil patung-patung ini karena belum ada tempat yang representatif. Tapi dulu beliau berpesan, meskipun diambil tapi patung-patung ini tetap ada di Solo," kata KRA Hardjosoewarno.
***
Tak hanya menggemari patung purbakala, Go Tik Swan yang bergelar panembahan Hardjonagoro juga menggemari tosan aji atau benda pusaka seperti keris. Tak puas hanya mendengarkan cerita kehebatan keris zaman dulu, Go Tik Swan bersama KGPH Hadiwijaya yang merupakan putra Paku Buwana X mendirikan paguyuban pecinta keris bernama Bawarasa Tosan Aji (BTA) pada tahun 1959. Go Tik Swan bersama Hadiwijaya dan Sumodiningrat selalu menjadi penceramah dalam sarasehan BTA.
Hubungan Go Tik Swan dengan Hadiwijaya memang bisa dibilang sangat dekat. Saat kecil, Hadiwijaya lah yang membuat Go Tik Swan menggemari keris. Go Tik Swan yang sejak kecil tinggal dengan neneknya banyak belajar tentang tosan aji, tari, gamelan, dan budaya Jawa dari KGPH Hadiwijaya.
Patung purbakala memenuhi sudut kediaman Go Tik Swan.
Kedekatan itu berlanjut hingga dewasa. Go Tik Swan juga yang membantu KGPH Hadiwijaya dalam mengurus Museum Radyapustaka. Sepeninggal KGPH Hadiwijaya, jabatan yang pernah diembannya seperti ketua yayasan dan pimpinan Museum Radyapustaka, ketua yayasan Saraswati, ketua BTA, semua diserahkan kepada Go Tik Swan Hardjonagoro.
Pokok bahasan yang biasa didiskusikan dalam BTA antara lain tentang ilmu tosan aji atau krisologi, lingkungan atau pusat pembuatan keris, jenis, kegunaan, dan kedudukan sosial, dan segala macam masalah yang berhubungan dengan tosan aji kecuali masalah jual beli. Sayangnya, meskipun pengetahuan anggota BTA sudah mumpuni, tak ada satupun yang berani turun tangan memulai pembuatan keris setelah lama mati.
Hingga akhirnya datanglah Dietrich Drescher, pelaut Jerman yang menggemari keris Jawa. Saat datang ke Museum Radyapustaka, ia mengungkapkan kepada Hardjonagoro bahwa ia telah menemukan sisa-sisa besalen atau tempat membuat keris di Jitar Yogyakarta yang legendaris itu. Bersama Dietrich Drescher, Hardjonagoro lalu mendatangi Yasa dan Jeno, keturunan mpu keris di Jitar Yogyakarta. Mereka meminta dua keturunan mpu tersebut untuk membangkitkan lagi besalen yang ada dan membuat keris seperti yang ditunjukkan dalam manuskrip Mpu Djojosoekatgo.
Setelah berhasil membangkitkan kembali besalen keris di Yogyakarta, Hardjonagoro bersama anggota BTA lainnya bertekad untuk membangkitkan besalen yang ada di Solo. Berjalannya waktu, besalen yang berhasil dibangkitkan maupun dibuat adalah Besalen Suparman, Besalen Fauzan, Besalen ASKI (sekarang menjadi ISI Surakarta). Dari besalen-besalen itu, dihasilkan keris-keris baru.
Koleksi keris Go Tik Swan
Pada 1988, Go Tik Swan juga membangun besalen di kediamannya yang diberi nama Besalen Surolayan, karena sebelumnya rumah itu diberi nama Ndalem Surolayan. Besalen itu dipasrahkan kepada Hardjosoewarno, pembantu kepercayaan Hardjonagoro sekaligus calon pewaris.
Bagi Rustopo, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Go Tik Swan Hardjonagoro punya peran besar bagi bangkitnya besalen-besalen yang membuat keris. Tak hanya mempunyai pengetahuan tentang keris, Hardjonagoro bisa mendesain dan mengarahkan pembuatan keris.
"Dia memang tidak membuat sendiri, tapi dia itu perancang dan sangat tahu sekali dengan keris lewat Bawarasa Tosan Aji yang dibangun oleh Hadiwijaya yang kemudian diteruskan oleh dia sampai wafat," kata Rustopo yang juga menganggap Hardjonagoro adalah orang yang paling teliti masalah keris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar