| |||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Sejarah MelayuKesultanan Jambi
1. Sejarah
Menurut M.M. Sukarto K. Atmojo (1992) dalam buku Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial (2001),
dinamika perkembangan kerajaan Melayu di Jambi dapat digambarkan
sebagai berikut: Pertama, kerajaan Melayu I yang mulai berkembang
kira-kira sebelum tahun 680 M. Dalam berita Dinasti Tang disebutkan
bahwa pada tahun 644 dan 645 M utusan dagang dari Kerajaan Mo-lo-yu
datang ke negeri Cina. Kedua, Kerajaan Melayu II yang menurut J.G. de
Casparis, berkembang sekitar abad XI sampai sekitar tahun 1400. Pada
masa tersebut kerajaan Melayu II telah mengadakan kontak dengan Jawa
yang dibuktikan lewat adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 dan pengiriman
arca Amoghapasa Lokeswara
pada 1286 ke Padang Roco (Jambi Hulu). Besar kemungkinan kerajaan yang
dimaksud oleh Casparis adalah Kerajaan Darmasraya. Ketiga, kerajaan
Melayu III yang telah terpengaruh oleh unsur Islam. Pengaruh ini
dibuktikan dengan pemberian gelar sultan serta nama-nama Islam pada
raja-raja yang memerintah, seperti Sultan Taha Saifuddin, Sultan
Nazaruddin, dan lain-lain (Budihardjo, 2001:30-31).
Kerajaan
Melayu III atau disebut pula Kesultanan Jambi mulai dapat terekam
perkembangannya sekitar akhir abad ke-19. Kerajaan ini muncul ketika
pengaruh kekuasaan Kerajaan Darmasraya mulai melemah. Kerajaan
Darmasraya sendiri mulai kehilangan pengaruh sejak adanya Ekspedisi
Pamalayu pada 1275 (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Ekspedisi Pamalayu
merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Melayu dengan pusat
Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera). Ekspedisi ini merupakan
buah pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang naik
tahta pada 1254 (Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993:410).
Secara
politik, sejak 1275 Kerajaan Darmasraya telah berada di bawah pengaruh
Kerajaan Singasari. Pengaruh ini kembali dikukuhkan ketika Ekspedisi
Pamalayu jilid 2 kembali dilakukan. Kali ini bukan di bawah panji
Kerajaan Singasari, melainkan dibawah panji Kerajaan Majapahit.
Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit,
sukses mendapatkan kembali pengaruh di Kerajaan Darmasraya yang
sebelumnya direbut oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan
Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347 Adityawarman menyatakan diri sebagai
raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan
Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan
di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55).
Suksesnya
misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat kedudukan Adityawarman semakin
kuat sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi
seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau
Daratan. Pusat pemerintahan dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman
Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau, sampai akhirnya
Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan.
Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat
laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak
salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:56). Dari sinilah terjadi perpindahan pusat
kerajaan, yaitu dari di Muaro Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso
(Kozok, Uli, 2006:25-26).
Jika
dilihat dari garis keturunan, Adityawarman sebenarnya adalah cucu dari
Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Raja Kerajaan Darmasraya
ketika Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275).
Akan tetapi kenyataan ini ternyata tidak menjadikan Adityawarman secara
otomatis dapat menduduki tahta di Kerajaan Darmasraya. Besar kemungkinan
karena alasan inilah, Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan baru
yang bernama Kerajaan Pagaruyung di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).
Kerajaan
Darmasraya sendiri tetap berdiri di Jambi dengan Maharaja Mauli, yaitu
keturunan Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa sebagai rajanya (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Hanya saja secara politis Kerajaan Darmasraya di Jambi tetap menjadi
daerah taklukan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung di
Minangkabau. Pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap Kerajaan Darmasraya
mulai melemah ketika Kerajaan Pagaruyung yang telah menjadi kesultanan
karena pengaruh Islam mengalami pergolakan akibat perseteruan antara
Kaum Paderi dan Kaum Adat. Perseteruan mencapai puncaknya ketika terjadi
pembunuhan keluarga Kesultanan Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum
Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao pada 1809.
Akibat
pembunuhan ini tercerai-berailah anggota keluarga Kesultanan Pagaruyung
yang saat itu diperintah oleh Sultan Arifin Muning Alamsyah (Sultan
Bagagar Alamsyah). Perseteruan yang tidak berkesudahan membuat anggota
Kesultanan Pagaruyung yang masih tersisa meminta bantuan Belanda untuk
mengusir Kaum Paderi. Belanda menyanggupinya dengan kompensasi bahwa
Kesultanan Pagaruyung berada di bawah pengaruh Belanda. Akan tetapi
setelah kesepakatan antara pihak Belanda dan Kesultanan Pagaruyung telah
tercapai, justru kini Kaum Adat berbalik bekerjasama dengan Kaum Paderi
untuk memerangi Belanda. Akibatnya pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan
Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kesultanan
Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas
tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan
di pekuburan Mangga Dua (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Sepeninggal
Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh
Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat
karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu
(Datoek Toeah, 1976:367). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III,
maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh
Adityawarman pada 1347.
Runtuhnya
Kesultanan Pagaruyung membuat kendali pengaruh atas Kerajaan Darmasraya
menjadi hilang. Kerajaan Darmasraya kemudian muncul kembali ke
permukaan sebagai kerajaan baru yang dikenal dengan Kesultanan Jambi.
Kesultanan menjadi bentuk baru kerajaan karena pengaruh Islam yang
didapat ketika Kerajaan Darmasraya berada di bawah taklukan Kesultanan
Pagaruyung.
Sejarah
awal Kesultanan Jambi cukup sulit untuk ditelusuri. Hanya satu patokan
yang cukup jelas bahwa sejarah awal berdirinya Kesultanan Jambi
bersamaan dengan kebangkitan Islam. Sedangkan Islamisasi di Sumatera
umumnya diyakini bermula pada abad ke-15 (Locher-Scholten, Elsbeth,
2008:43). Sumber yang mengungkapkan sejarah awal Kesultanan Jambi pasca
Kerajaan Darmasraya juga masih sedikit. Beberapa sumber tidak
membicarakan secara spesifik tentang sejarah awal Kesultanan Jambi,
namun berbicara tentang keadaan Jambi pada masa tersebut. Misalnya saja,
pada abad ke-17, Kesultanan Jambi masih mengontrol daerah subur Kerinci
di sebelah Tenggara. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-18 daerah
tersebut tidak lagi mempedulikan kedaulatan kekuasaan Kesultanan Jambi.
Sultan Jambi yang memerintah saat itu tidak bisa memberlakukan
kewenangannya di daerah-daerah tenggara yang lain seperti Serampas dan
Sungai Tenang (Locher-Scholten, 2008:39-40). Sumber tersebut tidak
menyebutkan secara terperinci tentang siapa sultan yang memerintah saat
itu atau tindakan apa yang diambil sehubungan dengan sikap pembangkangan
dari daerah Kerinci, Serampang, ataupun Sungai Tenang.
Sedikit
keterangan lainnya tentang sejarah awal Kesultanan Jambi dapat dilihat
ketika Kesultanan Jambi mengalami kejayaan di sektor perdagangan sekitar
abad ke-16 sampai 17. Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008),
sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, sektor
perekonomian (perdagangan) di Kesultanan Jambi mengalami masa keemasan.
Perdagangan yang dilakukan antara Kesultanan Jambi dengan Portugis,
Inggris, dan Hindia Timur Belanda, sangat menguntungkan Kesultanan
Jambi. Bahkan pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh.
Akan tetapi situasi ini mulai berubah sekitar tahun 1680-an. Pada tahun
tersebut Jambi mulai kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama
di pesisir timur Sumatera pasca perseteruan dengan Johor, disusul
kemudian dengan pergolakan internal. Inggris yang melihat hilangnya
prospek yang menguntungkan atas kerjasama perdagangan dengan Jambi,
akhirnya meninggalkan pos dagangnya pada 1679. Situasi ini dimanfaatkan
oleh VOC untuk menanamkan pengaruh lebih kuat, meskipun waktu itu VOC
hanya memperoleh keuntungan yang sangat kecil. Pada 1688, Belanda
menangkap Sultan Jambi dan membuangnya ke Batavia. Tindakan ini mengakibatkan terbelahnya Kesultanan Jambi menjadi dua kesultanan, hulu dan hilir (Locher-Scholten, 2008:43-44).
Masih menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008),
sejak terbelahnya Kesultanan Jambi, kejayaan akan perdagangan yang
sempat dirasakan sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad
ke-17, tidak pernah lagi diperoleh oleh Kesultanan Jambi. Bahkan setelah
penyatuan kembali Kesultanan Jambi pada 1720-an, kejayaan di sektor
perdagangan ini tidak pernah kembali dirasakan oleh Kesultanan Jambi.
Penyebab utama karena pada akhir abad ke-18, terjadi pergeseran seputar
komoditi utama dari Kesultanan Jambi. Jika sebelumnya lada menjadi
komoditi utama, maka kini berubah menjadi emas. Dalam perdagangan emas
ini, Kesultanan Jambi hanya memperoleh untung sedikit karena penambang
emas yang didominasi orang dari Minangkabau mengekspor komoditi emas
mereka ke tempat di manapun yang menjanjikan keuntungan tinggi, sehingga
tidak selalu melalui ibukota Jambi. Ditambah lagi pihak Kesultanan
Jambi tidak mempunyai otoritas efektif atas tindakan para pedagang ini,
karena telah kehilangan pengaruh. Pihak Kesultanan Jambi tidak bisa
mengambil tindakan sepihak karena menjadi negara vasal di bawah
Kesultanan Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung). Segala keputusan yang
diambil oleh Kesultanan Jambi harus mendapat persetujuan dari Kesultanan
Pagaruyung, bahkan hingga urusan pemilihan sultan. Keadaan ini memaksa
pihak Kesultanan Jambi tidak bisa leluasa mengambil tindakan atas apa
yang telah dilakukan oleh para pedagang Minangkabau, karena para
pedagang ini mendapat perlindungan langsung dari Kesultanan Pagaruyung
(Locher-Scholten, 2008:44-45).
Sejarah
awal Kesultanan Jambi mulai sedikit terbuka ketika diperintah oleh
Sultan Mohildin yang memerintah sekitar tahun 1811 (Locher-Scholten,
2008:342). Salah satu bagian penting dari sejarah Kesultanan Jambi masa
pemerintahan Sultan Mohildin adalah dilakukannya kontak awal dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Pada 1818, seorang utusan dari Pemerintah
Hindia Belanda mendatangi Sultan Jambi berkenaan dengan konflik di Palembang
dan Rawas (Locher-Scholten, 2008:62). Dalam kontak awal ini, pihak
Kesultanan Jambi menyatakan bahwa Sultan Mohildin mengungkapkan
persahabatan dan menyatakan bahwa dia maupun rakyatnya tidak akan pernah
mendukung Sultan Palembang (Locher-Scholten, 2008:63). Catatan lain
dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan Mohildin adalah
sejarah perang saudara yang melanda Kesultanan Jambi.
Keterangan
lain ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Mohildin adalah
keterangan tentang konflik internal (perang saudara). Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008),
pada 1811 penduduk ibukota yang dipimpin oleh para saudagar Arab dan
suku Raja Empat Puluh bangkit melawan Sultan Mohildin karena dugaan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh istri Sultan Mohildin terhadap
beberapa anak perempuan keluarga kaya raya. Pemberontakan ini memaksa
Sultan Mohildin untuk meminta bantuan saudaranya agar melindungi
keluarga sultan. Saudara Sultan Mohildin setuju dengan syarat bahwa
anaknya, Raden Tabun, dipermaklumkan sebagai pangeran ratu (putra
mahkota) setelah Sultan Mohildin mangkat (Locher-Scholten, 2008:45-46).
Masih dalam buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008),
pergolakan internal lainnya terjadi pada 1817-1818 yang terjadi antara
Sultan Mohildin dengan sepupunya. Pergolakan ini berakibat pada
kekalahan Sultan Mohildin, meskipun beberapa waktu kemudian sang sepupu
tewas. Ketegangan berlanjut ketika putra Sultan Mohildin, Mohammad
Fachruddin naik tahta pada 1821 atau 1829-1841. Naiknya Sultan Mohammad
Fachruddin sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Jambi berarti
mengesampingkan perjanjian antara Sultan Mohildin dan sepupunya melalui
pengangkatan Raden Tabun selaku putra mahkota. Dengan demikian tujuan
pengangkatan Raden Tabun sebagai putra mahkota yang selanjutnya
diproyeksikan sebagai sultan, praktis tertutup dengan naiknya Mohammad
Fachruddin sebagai sultan di Kesultanan Jambi. Bahkan Sultan Mohammad
Fachruddin menunjuk saudaranya sebagai pangeran ratu untuk menggantikan
kedudukan Raden Tabun. Pergolakan antara Sultan Mohammad Fachruddin dan
Raden Tabun terus terjadi hingga tahun 1840-an. Sultan Mohammad
Fachruddin sendiri pada dasarnya tidak dinobatkan secara adat dan baru
menempati istana Kesultanan Jambi pada 1833. Sebelumnya, selama
pergolakan terjadi beliau menempati daerah dataran tinggi padat
penghuni, atau kadangkala di Muara Tebo dan di Sarolangun, Tembesi Hulu (Locher-Scholten, 2008:46-47).
Sultan
Mohammad Fachruddin yang naik menggantikan Sultan Mohildin, tetap
melanjutkan kebijakan ayahnya untuk bersikap kooperatif dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini dibuktikan ketika pada 3Agustus dan
Oktober 1829, Residen Palembang F.C.E. Praetorius mengirimkan seorang
utusan untuk menghadap Sultan Mohammad Fachruddin untuk memerangi
perompak dan melacak kapal Belanda yang telah dirompak pada Mei 1829
(Locher-Scholten, 2008:65-66). Belanda sebenarnya tidak banyak berharap
akan bantuan yang besar dari Kesultanan Jambi, mengingat Sultan Mohammad
Fachruddin sendiri kala itu tidak tinggal di istana, melainkan tinggal
di perbatasan Minangkabau untuk membantu Kesultanan Pagaruyung memerangi
Kaum Paderi. Hanya saja sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan
mengawali hubungan baik, kontak dengan Kesultanan Jambi tetap harus
dilakukan. Hal ini dikukuhkan dengan sebuah perundingan antara Sultan
Mohammad Fachruddin dengan Residen Praetorius pada 1830
(Locher-Scholten, 2008:76).
Pada
14 November 1833 disepakati kontrak sementara antara Sultan Mohammad
Fachruddin dengan Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani di
Sungai Bawang (sebuah dusun kecil di Rawa), di mana Sultan Mohammad
Fachruddin menempatkan dirinya dan Kesultanan Jambi di bawah
perlindungan dan otoritas tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
(Locher-Scholten, 2008:75). Kontrak
sementara ini akhirnya berubah menjadi kontrak permanen yang
ditandatangani pada 1834 (Locher-Scholten, 2008:83). Bagi Belanda
penandatanganan kontrak pada 1833 dan akhirnya dipermanenkan pada 1834,
merupakan sebuah langkah yang sesuai dengan tujuan Pemerintah Kolonial,
yaitu meluaskan otoritas Belanda di Sumatera, mengisolasi Minangkabau,
dan berusaha membasmi Perompak (Locher-Scholten, 2008:78).
Pemerintahan
Sultan Mohammad Fachruddin berakhir dengan kemangkatannya pada Januari
1841 dan digantikan oleh Sultan Abdulrachman Nazaruddin
(Locher-Scholten, 2008:114). Ketika Sultan Abdulrachman Nazaruddin
memerintah, terjadi serangkaian pemberontakan. Pada 1842, salah satu
daerah di Jambi memberontak menentang Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Pada
1845 ancaman akan adanya perang saudara semakin besar. Akan tetapi pada
1846 pertikaian ini berakhir (Locher-Scholten, 2008:114). Seperti
sultan pendahulunya, Sultan Abdulrachman Nazaruddin sangat
menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada Belanda. Otoritas
Kesultanan Jambi yang sangat lemah untuk menanggulangi adanya pergolakan
bahkan sebatas mengatur rakyat, membuat perlindungan dari Belanda
menjadi jalan keluar satu-satunya.
Pada
Oktober 1855 Sultan Taha Saifuddin naik tahta untuk Sultan Abdulrachman
Nazaruddin yang mangkat pada 18 Oktober 1855 (Locher-Scholten,
2008:135). Pemerintahan Sultan Taha Saifuddin ditandai dengan
perseteruan antara Kesultanan Jambi dengan Belanda. Perseteruan tersebut
merupakan efek dari penolakan Sultan Taha Saifuddin terhadap perjanjian
dengan Belanda. Tidak seperti para sultan pendahulunya, Sultan Taha
Saifuddin memilih untuk tidak menjalin kerjasama dengan Belanda. Akibat
dari perseteruan ini, Sultan Taha Saifuddin terdesak dan keluar dari
istana pada 1858 (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:29).
Meskipun
keluar dari istana, perlawanan terhadap Belanda tetap dilakukan sampai
beliau gugur pada 1904. Selama perlawanan terjadi, Belanda yang
menduduki istana Kesultanan Jambi mengangkat sultan pengganti meskipun
Sultan Taha Saifuddin masih hidup. Sultan lain yang naik tahta untuk
menggantikan kedudukan Sultan Taha Saifuddin yang menyingkir keluar
keraton, merupakan sultan yang diangkat oleh Belanda dan dianggap
sebagai Sultan Bayang (tidur) (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:29). Di
kemudian hari, atas perlawanan gigihnya terhadap Belanda, Sultan Taha
Saifuddin mendapat anugerah sebagai sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1977 (Locher-Scholten, 2008:14).
Seperti disebutkan dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi
(1978/1979), sultan pertama yang naik tahta sebagai Sultan Bayang
adalah Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881). Beliau adalah paman dari
Sultan Taha Saifuddin dan adik dari Sultan Abdulrachman Nazaruddin.
Sultan Bayang kedua adalah Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866). Sedangkan
Sultan Bayang yang terakhir adalah Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901).
Sultan ini merupakan Sultan Bayang yang ketiga dan terakhir yang
diangkat oleh Belanda, karena sesudah Sultan Ahmad Zainuddin turun
tahta, tidak terjalin kesepakatan antara para pembesar Kesultanan Jambi
dengan Belanda untuk mengangkat calon sultan pengganti. Ketika Sultan
Ahmad Zainuddin memerintah, beliau mengangkat putra ketiga Sultan Taha
Saifuddin yang bernama Raden Anom Kesumoyudo yang masih berumur empat
tahun sebagai pangeran ratu (putra mahkota). Sedangkan untuk kuasa
pangeran ratu diangkatlah Raden Abdurrachman, putra Sultan Mahmud
Mahiddin dan Pangeran Ario Jayakusumo yang kemudian digantikan oleh
Pangeran Marto Jayakusumo, Putra Sultan Abdulrachman Nazaruddin (R.
Zainuddin et.al., 1978/1979:29-30).
Faktor
pemicu pergolakan yang terjadi di Kesultanan Jambi, khususnya keinginan
Belanda untuk menguasai Jambi, salah satunya disebabkan karena wilayah
Kesultanan Jambi sangat baik sebagai bandar perdagangan. Kesultanan
Jambi merupakan sebuah negeri yang kuat dalam bidang maritim. Kekuatan
Kesultanan Jambi di bidang maritim bisa dilihat dari faktor wilayah yang
ada di Kesultanan Jambi.
A. B. Lapian dalam makalahnya berjudul Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal (1992),
menyatakan bahwa daerah Jambi, Palembang, Indragiri, Kualo Tungkal, dan
lain-lain termasuk ke dalam daerah yang dinamakan the favoured commercial coast.
Pelayaran tempo dulu yang sangat bergantung pada angin muson yang
bergerak berlainan arah setiap tahunnya, menjadikan kawasan pantai timur
sebagai tempat peristirahatan menanti angin untuk melanjutkan
pelayaran. Tempat-tempat ini berperan sebagai penghubung antara “negeri
di atas angin,” yaitu India, Persia, dan Arab, dengan “negeri di bawah
angin” seperti Jawa, dan pulau-pulau lain di sebelah timur
seperti Muangthai, Vietnam, serta Asia Timur di sebelah Utara. Hal itu
berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh masyarakat di kawasan ini,
menyangkut pelayaran niaga, yang dalam bahasa Edwar L. Poelinggomang
dalam bukunya Perdagangan Maritim: Sumberdaya Ekonomi Manusia di Kawasan Indonesia Timur (1996) disebut sebagai prinsip laut bebas atau mare liberium (Budihardjo, 2001:35-36).
A. B. Lapian dalam makalahnya berjudul Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal (1992)
menyatakan, menurut teori kebaharian setidaknya terdapat 6 faktor yang
menentukan sebuah negara dapat menjadi kekuatan laut, yaitu letak
geografis, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk,
karakter penduduk, sifat pemerintahan beserta lembaga-lembaga
pendukungnya (Budihardjo, 2001:36). Menurut Sutikno et.al, dalam bukunya
Tinjauan Geomorfologi-Geografis Situs Muara Jambi dan Sekitarnya (1992),
keadaan geografis di Jambi sangat mendukung bagi negeri tersebut untuk
menjadi negara maritim. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa daerah
Jambi merupakan titik pertemuan antara hulu dan hilir atau hinterland dengan foreland. Keadaan
garis pantai purba wilayah Jambi bagian timur yang menghadap Teluk Wen
dengan dukungan Sungai Batanghari dengan anak-anak sungainya merupakan
bukti geografis yang sangat strategis (Budihardjo, 2001:36).
Menurut buku Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial (2001), ditinjau dari bentuk tanah dan pantainya, Jambi merupakan daerah yang cocok untuk dijadikan lokasi pelabuhan. Tanah
liat dengan kadar 72% tidak membahayakan bagi kapal yang merapat, serta
wilayah pulau-pulau karang kecil-kecil sebagai tempat strategis kapal
dalam perlindungan terhadap ombak. Dalam hal jumlah penduduk,
berdasarkan temuan arkeologis, dapat diketahui bahwa kota-kota/pemukiman
di sepanjang Sungai Bantanghari serta anak-anak sungainya merupakan
daerah pemukiman penduduk yang padat, misalnya: Kualo Tungkal, Muaro
Sabak, Simpang, Muaro Jambi, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Sungai Langsat,
dan sebagainya. Untuk faktor penguasaan penduduk dalam menguasai sumber
laut, Jambi mempunyai suku Bajau yang sangat familier dengan kehidupan
laut. Suku Bajau
merupakan kelompok suku bangsa yang hidup berpindah-pindah di perairan
laut sebelah timur Jambi. Suku ini bertempat tinggal di perahu beratap
dan bermata pencaharian mencari ikan. Sedangkan dalam hal sistem
pemerintahan, Kesultanan Jambi menjalin hubungan baik dengan masyarakat
pantai ataupun wilayah perairan sungainya sebagai faktor yang dominan
dibandingkan masyarakat lainnya. Jadi ada hubungan ketergantungan antara
masyarakat maritim dengan penguasanya, misalnya masyarakat Simpang
dengan Jambi (Budihardjo, 2001:36-37). Berbagai faktor pendukung
tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Kesultanan Jambi terutama sebagai
kekuatan ekonomi, politik, maupun militer. Sebaliknya faktor inilah
yang membuat pihak kolonial Hindia Belanda sangat menginginkan
Kesultanan Jambi menjadi salah satu daerah jajahan di Sumatera.
2. Silsilah
Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda
(2008), dari data yang berhasil dihimpun tentang silsilah para sultan
yang memerintah di Kesultanan Jambi adalah sebagai berikut:
1. Sultan Mohildin (± 1811)
2. Sultan Mohammad Fachruddin (antara 1821 dan 1829-1841)
3. Sultan Abdulrachman Nazaruddin (1841-1855) (Locher-Scholten, 2008:342).
Silsilah para sultan ini ditambah dengan sumber lain dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), yang menyebutkan bahwa setelah Sultan Abdulrachman Nazaruddin turun tahta, pengganti beliau adalah:
4. Sultan Taha Saifuddin (1855-1904)
5. Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881)
6. Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866)
7. Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901) (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:29-30).
3. Sistem Pemerintahan
Dalam buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda
(2008), disebutkan bahwa struktur negara Jambi (sistem pemerintahan
Kesultanan Jambi) sama dengan sistem pemerintahan di banyak kerajaan
Melayu klasik lainnya. Raja atau sultan dilekati dengan kekuatan mistik
dan bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangan kosmis antara langit dan
bumi. Sultan memimpin rakyatnya dalam hubungan luar negeri dan secara
internal bertindak sebagai penengah dan otoritas yudisial tertinggi,
setidak-tidaknya bagi warga Jambi. Sultan dan pangeran ratu (putra
mahkota) dipilih oleh perwakilan empat keluarga bangsawan Jambi atau
suku: Kraton, Kedipan, Perban, dan Raja Empat Puluh. Jika menghendaki,
sultan bisa menunjuk seorang penasehat khusus sebagai duta besar,
mewakili dirinya dalam hubungan dengan pihak-pihak asing seperti
otoritas kolonial. Sultan berkuasa bukan atas populasi homogen Melayu
dengan asal usul Melayu yang sama, tetapi atas banyak kelompok etnis
yang berbeda-beda (batin, Minangkabau, penghulu, suku-pindah, dan Kubu).
Istana sendiri lebih bercorak Jawa ketimbang Melayu, sebagaimana
tercermin dalam gelar-gelar Jawa yang dipakai. Sultan berfungsi sebagai
pemegang kekuasaan yudisial tertinggi hanya pada orang-orang Jambi (yang
berasal usul Melayu) yang hidup di sepanjang Sungai Bantanghari dan
sebagian Tembesi (Locher-Scholten, 2008:53-54).
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan
yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua
Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:
1. Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
2. Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :
1. Pangeran Adipati
2. Pangeran Suryo Notokusumo
3. Pangeran Jayadiningrat
4. Pangeran Aryo Jayakusumo
5. Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.
Sedangkan
Kerapatan Patih Luar dipimpin oleh seorang pangeran yang tertua dan
diberi gelar Pangeran Diponegoro dengan para anggota yang diberi gelar:
1. Pangeran Mangkunegoro
2. Pangeran Purbo
3. Pangeran Marto Joyokusumo
4. Pangeran Kromodilogo
5. Pangeran Kusumodilogo
Kerapatan Patih Luar pada hakekatnya merupakan dewan kabinet atau lembaga eksekutif pada masa sekarang. Para
anggota, baik dalam Kerapatan Patih Dalam maupun Luar berasal dari
kalangan bangsawan tinggi atau bangsawan keraton dan atau dari sultan
yang dipilih dan diangkat oleh sultan.
Alur
pemerintahan dimulai dari sultan yang memberikan perintah kepada
Kerapatan Patih Dalam yang meneruskannya kepada Kerapatan Patih Luar.
Perintah dari Kerapatan Patih Luar kemudian diteruskan kepada kepala
bagian Rapat Dua Belas, terus kepada para jenang, lalu kepada para batin
dalam daerah-daerah perantauan (rantau gebied).
Perubahan
yang cukup signifikan terjadi ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh
Sultan Taha Saifuddin. Sultan Taha Saifuddin tidak hanya mengangkat para
anggota Kerapatan Patih Dalam dan Luar yang berasal dari kalangan
bangsawan tinggi, tetapi juga mengangkat anggota dari kalangan bangsawan
rendah. Para anggota tersebut yaitu:
Kerapatan Patih Dalam
1. Said Idrus bin Hasan Aljufri bergelar Pangeran Wirokusumo
2. Said Ali bin Alwi Aljufri bergelar Pangeran Syarif Ali
3. Said Husin Barakba bergelar Pangeran Mangkunegoro
4. Kemas Suko bergelar Pangeran Kusumoyudo
Kerapatan Patih Luar
1. Ki Demang Gemuk, dari Kampung Tengah, seberang Kota Jambi
2. Ki Demang Dullah Capuk, dari Kampung Jelmu, seberang Kota Jambi
3. Kemas Temenggung Puspowijoyo (Haji Muhammad Yasin), dari Kampung Tanjung Pasir, seberang Kota Jambi
4. Temenggung Surodilogo (Temenggung Tari), dari Kampung Baru, seberang Kota Jambi
5. Temenggung Tando, dari Kampung Tanjung Johor, seberang Kota Jambi (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:21-22)
Menurut A. Mukti Nazaroeddin (1978) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
di samping Kerapatan Patih Dalam dan Luar, di dalam sistem pemerintahan
Kesultanan Jambi juga dibentuk Dewan Kalbu dengan para anggota yang
terdiri dari para hulubalang, ulama, tua tengganai, dan cerdik
pandai. Dewan Kalbu ini pada hakekatnya merupakan Dewan Pertimbangan
Agung pada masa sekarang(R. Zainuddin et.al., 1978/1979:22).
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
secara struktural sistem pemerintahan di Kesultanan Jambi dari tingkat
paling atas sampai tingkat paling bawah dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Kesultanan dipimpin oleh sultan
2. Rantau dipimpin oleh jenang
3. Negeri dipimpin oleh batin
4. Luhak dipimpin oleh penghulu
5. Kampung atau dusun dipimpin oleh tuo-tuo
6. Rumah dipimpin oleh Tengganai.
Para
jenang, batin, penghulu, dan tuo-tuo dengan daerahnya masing-masing
ditetapkan oleh sultan dengan suatu surat perjanjian yang secara
tertulis menyebutkan pula daerah hukum (rechtsgebied), hak untuk mempunyai pemerintahan sendiri (rechtgemeenschap, landschap) dengan disebutkan pula secara lengkap gelar-gelar yang diangkat, seperti:
1. Adipati
2. Rio Muncak
3. Temenggung
4. Ki Demang
5. Lurah
6. Mangku dan seterusnya (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:23).
Menurut A. Mukti Nazaroeddin (1978) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
daerah pemerintahan terendah adalah dusun yang mempunyai kekayaan
sendiri akan tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak karena
berada di bawah perlindungan daerah yang kedudukannya lebih tinggi
seperi luhak, negeri, atau rantau. Demikian juga hak untuk memperluas
daerah bagi dusun tidak diperbolehkan, kecuali ada persetujuan dari
daerah perlindungan yang bersangkutan (R. Zainuddin et.al.,
1978/1979:23).
Ketika
Belanda menaklukkan Kesultanan Jambi, terjadi perubahan dalam sistem
pemerintahan. Perubahan secara signifikan adalah menjadikan Jambi dan
Kerinci dalam satu gewest (daerah) di bawah perintah seorang
residen (R. Zainuddin et.al., 1978/1979:24). Dalam hal ini berarti
pemegang kekuasaan tertinggi tidak lagi berada di tangan sultan, akan
tetapi berada di tangan seorang residen yang merupakan kepanjangan
tangan dari Pemerintah Hindia Belanda.
4. Wilayah Kekuasaan
Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008),
pada permulaan abad ke-19 wilayah selatan Jambi berbatasan dengan
Karesidenan Palembang yang dibentuk sejak tahun 1819. Kesultanan Jambi
sendiri mempunyai hubungan dengan karesidenan ini melalui Bengkulu dan Rawas (sebuah daerah di Palembang). Di sebelah utara berbatasan dengan Kesultanan Indragiri
dan sejumlah kerajaan merdeka Minangkabau seperti Siguntur dan Lima
Kota. Di sebelah barat, di Pegunungan Bukit Barisan, Jambi berbatasan
dengan Dataran Tinggi Padang di Minangkabau, sebuah karesidenan sejak
1816 (Locher-Scholten, 2008:39).
Sedangkan menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
batas wilayah administrasi pemerintahan (batas wilayah kekuasaan)
Kesultanan Jambi meliputi daerah-deerah yang tertuang dalam adagium adat
“Pucuk Jambi sembilan lurah, Batangnyo Alam Rajo”. Adagium ini jika
diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:
a. Pucuk, yaitu Ulu, dataran tinggi.
b. Sembilan lurah, yaitu sembilan negeri atau wilayah.
c. Batangnyo Alam Rajo, yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri atas dua belas suku atau daerah
Khusus
untuk adagium “sembilan lurah” yang diartikan dengan sembilan negeri,
menurut pepatah adat, ditambahkan pula dengan “empat di atas, tiga
ditaruh di bawah, dan dua di Bangko bawah”. Tambahan adagium tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:
a. Empat di atas, meliputi daerah Kerinci, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh empat depati, yaitu:
1. Depati Rencong Talang yang berpusat di Pulau Sangkar dengan daerah kekuasaan meliputi tanah di sebelah barat dan selatan Danau Kerinci.
2. Depati Muara Langkap Tanjung Langkap Sekian yang mempunyai pusat kekuasaan di Tamiang.
3. Depati Biang Sari dengan daerah kekuasaan yang meliputi tanah di sebelah tenggara dan timur Danau Kerinci.
5. Depati
Atur Bumi yang menempatkan pusat kekuasaan di Hiang. Daerah
kekuasaannya meliputi tanah di sebelah barat laut dan tenggara Danau
Kerinci sampai daerah Gunung Kerinci
b. Tiga ditaruh di bawah, meliputi daerah Bangko atas, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh tiga depati, yaitu:
1. Depati Setio Rajo dengan daerah kekuasaan meliputi Lubuk Gaung.
2. Depati Setio Nyato dengan daerah kekuasaan meliput daerah Sungai Manau.
3. Depati Setio Beti dengan daerah kekuasaan meliputi Tantan
c. Dua di Bangko bawah, meliputi:
1. Daerah Batin IX, yang terdiri pula atas Batin IX Ulu dan Batin IX Ilir.
2. Daerah yang disebut Induk Enam anak sepuluh dan lebih dikenal dengan sebutan Luhak XVI, meliputi daerah-daerah :
1. Tiang Pumpung
2. Dusun Tuo
3. Sanggerahan
4. Sungai Tenang
5. Serampas
6. Pembarap
Selain
adagium dari pepatah adat yang ditambahkan tersebut, adapula yang
menganalogikan bahwa “sembilan lurah” dianalogikan dengan sembilan
sungai yang mengalir di daerah Jambi, yaitu:
1. Batang Merangin
2. Batang Masumai
3. Batang Tabir
4. Batang Pelepat
5. Batang Senamat
6. Batang Tebo
7. Batang Bungo
8. Batang Jujuhan
9. Batang Abuan Tungkal
Adapun “Batangnyo Alam Rajo”, diartikan dengan daerah teras kerajaan yang terdiri dari 12 daerah atau suku, yaitu:
1. Jebus, meliputi negeri-negeri Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, Tanjung, dan Landrang.
2. Pemayung, meliputi negeri-negeri Teluk sebelah Ulu, Pudak Kumpeh, dan Berembang.
3. Maro
Sebo, meliputi negeri-negeri Sungai Buluh, Pelayang, Sengketi Kecil,
Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rangas Sembilan, Sungai Aur,
Teluk Lebar, Sungai Bengkal, Mengupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan
Masam, dan Kubu Kandang.
4. Petajin,
meliputi negeri-negeri Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Keruh, Teluk
Rendah, Dusun Tuo, Peninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh.
5. VII
Koto disebut juga Kembang Peseban, meliputi negeri-negeri Teluk
Ketapang, Muara Tabun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang,
dan Tanjung.
6. Awin, meliputi negeri Pulau Kayu Aro dan Dusun Tengah
7. Penagan, meliputi negeri Sudun Kuap
8. Mestong, meliputi negeri-negeri Tarekan, Lopak-Alas, Kota Karang, dan Sarang Burung.
9. Serdadu, meliputi negeri Sungai Terap.
10. Kebalen, meliputi negeri Terusan
11. Aur Hitam, meliputi negeri-negeri Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapa, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung.
12. Pinokawan Tengah, meliputi negeri-negeri Dusun Dure Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai Durian
Secara geografis, paparan wilayah Kesultanan Jambi di atas dapat dirangkum menjadi dua bagian, yaitu:
1. Daerah Hulu Jambi yang meliputi:
1. Daerah Aliran Sungai Tungkal Ulu
2. Daerah Aliran Sungai Jujuhan
3. Daerah Aliran Sungai Batang Tebo
4. Daerah Aliran Sungai Tabir
5. Daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambi.
2. Daerah
Hilir Jambi, meliputi daerah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir sampai
Rantau Benar ke Danau Ambat, yaitu pertemuan antara Sungau Batanghari
dan Batang Tembesi, sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Pertemuan Sungai Batanghari dan Tembesia
yah secara geografis ini, menurut catatan tentara Belanda, luas keseluruhan wilayah Kesultanan Jambi adalah 884 Gm (Geografis mil) atau 1¼ kali luas negeri Belanda.
Sejalan
dengan wilayah daerah administrasi Kesultanan Jambi, pepatah adat Jambi
juga menyebutkan tentang batas-batas wilayah Kesultanan Jambi sebagai
berikut:
“Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo. Dan Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang”.
Terjemahan dari pepatah adat tersebut kurang lebih diartikan sebagai berikut:
1. Ujung Jabung, yaitu daerah pantai Jambi (daerah Tungkal)
2. Durian Takuk Rajo, yaitu daerah Tanjung Samalidu.
3. Sialang belantak besi, yaitu daerah Sitinjau Laut.
4. Bukit Tambun Tulang, yaitu Bukit Tiga (Singkut)
Berdasarkan
paparan wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi serta batas-batas daerah
kekuasaannya, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Provinsi Jambi sekarang
ini merupakan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi (R. Zainuddin
et.al., 1978/1979:26-29).
5. Kehidupan Sosial-Budaya
Menurut buku Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial
(2001), sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horisontal barat ke
timur sangat mendominasi pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek
kehidupan dalam politik, ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi.
Hal ini dapat dilihat dari erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota
hulu, misalnya Padang Roco, Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi,
Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi,
Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, perairan Riau, Selat Malaka, Jawa,
Asia Timur, dan Asia Selatan khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir
dilaksanakan dengan barter, misalnya kain sutera, keramik, tekstil dari
Cina atau India, dengan hasil dari Kepulauan Indonesia berupa
rempah-rempah, kayu wangi, dan lain-lain sehingga menimbulkan sistem
perdagangan dari yang tradisional sampai modern (Budihardjo, 2001:38).
Potensi hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra
perdagangan. Tercatat pada pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad
ke-17, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan.
Pada mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak
1615 dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah
perdagangan di mana orang-orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga
terlibat (Locher-Scholten, 2008:43). Lewat perdagangan ini para Sultan
Jambi memperoleh keuntungan yang sangat berlimpah.
Selain
itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan sungai
besar Batanghari dengan anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo,
Batang Ule (Alai), Batang Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai
ini juga mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai,
Batang Tabir, Batang Pelepat, Batang Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo,
Batang Jujuhan, dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah aliran
sungai ini disebut dengan ”sembilan lurah“ (negeri). Oleh karena itu
daerah Kesultanan Jambi disebut juga dengan ”Pucuk Jambi Sembilan
Lurah“. Di kawasan “sembilan lurah” ini telah terjadi aktivitas
sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah pedalaman.
Dukungan para kepala elite lokal yang menguasai tiap lurah dengan sebutan depati,
membuat terbukanya potensi perdagangan antara Jambi dengan pihak luar.
Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah
pemukiman padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan
temuan-temuan arkeologis berupa lebih dari 149 bekas pemukiman kuno
maupun 70 situs purbakala (Budihardjo, 2001:39-40).
Di
sisi lain, mata pencaharian penduduk di wilayah Kesultanan Jambi adalah
bertani. Di dataran rendah padi ditanam dengan cara membabat dan
membakar hutan; sedang di dataran yang lebih subur seperti Tembesi dan Tebo,
padi ditanam di sawah yang tidak jarang sampai surplus produksi dan
dikirim ke dataran rendah. Di daerah Tebo dan Tembesi hulu, peternakan
juga menjadi mata pencaharian penduduk (Locher-Scholten, 2008:41).
Di luar dari kehidupan perekonomian di daerah Kesultanan Jambi berkembang pula kehidupan seni budaya. Menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi
(1978/1979), perkembangan seni budaya di wilayah Kesultanan Jambi pada
umumnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Hanya saja untuk
beberapa hal terdapat kreasi baru seperti dalam seni musik dan tari.
Sedangkan jenis seni budaya di Kesultanan Jambi dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Seni ukir yang termanifestasi dalam bentuk :
a. Ukiran bunga tampuk manggis
b. Ukiran akar Cina
c. Ukiran tawang
2. Seni tari dan lagu, antar lain terdiri dari :
a. Tari Tauh atau lebih dikenal dengan istilah ”Betauh“
b. Tari nan Belambai
3. Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan pandan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.
(Tunggul Tauladan/01/10-2009).
Referensi
Budihardjo. 2001. Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Philosophy Press
Darman Moenir et.al. 1993. Minangkabau. Jakarta: Yayasan Gebu Minang.
Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Kozok, Uli. 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme (a.b) Jackson, Baverly. 2004. Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907 (a.b) Noor Cholis. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta
M.D. Mansoer et.al. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
R. Zainuddin et.al. 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Artikel di Internet
Sumber Foto
Locher-Scholten, Elsbeth. 1994. Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907) en het Nederlandse Imperialisme (a.b) Jackson, Baverly. 2004. Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907 (a.b) Noor Cholis. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta
R. Zainuddin et.al. 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dibaca : 19.978 kali.
Komentar untuk "kesultanan jambi"
Berikan komentar anda : | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Sabtu, 12 Desember 2015
kesultanan Jambi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar