Sabtu, 05 April 2014

Gelar Kebangsawanan Dalam Tradisi Istana-Istana Di Jawa: Part 3

Hallo, teman-teman!  Ketemu lagi dengan saya.  Setelah kemarin beribet-ribet ria dengan aturan gelar yang berlaku di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, saya akan lanjutkan lagi kali ini dengan aturan gelar di keraton berikutnya.  Selamat menyimak dan mengerutkan kening.

KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti (1755) yang telah saya uraikan dalam bagian terdahulu dari unggahan saya.  Raja pertamanya adalah yang semula bergelar Pangeran Mangkubumi, putra Susuhunan Mangku Rat IV dari Selir beliau, B.M.Ay. Tejawati.  Sekadar agar Anda tahu saja, terjadinya Perjanjian Giyanti yang juga sering diistilahkan sebagai peristiwa palihan nagari atau pembagian negara itu, bukan tanpa latar belakang.  
Dalam beberapa sumber sejarah yang pernah saya baca, Pangeran Mangkubumi semula adalah pendukung setia Susuhunan Pakoe Boewono II yang tak lain adalah kakak beliau dari ibu yang berbeda (ibu Susuhunan Pakoe Boewono II adalah Permaisuri Susuhunan Mangku Rat IV yang bernama G.K.R. Ageng)Beliau senantiasa membela kepentingan negara dan menjaga kewibawaan sang kakak.  Ketika itu, Mataram dilanda berbagai pertikaian yang bersumber pada kekurangtegasan sikap Susuhunan Pakoe Boewono II.  Dalam diri beliau ada semacam dualitas kesetiaan, antara kepada Belanda yang pada masa itu telah sangat jauh campur tangannya dalam urusan internal istana, dan kesadaran beliau sendiri bahwa kedaulatannya sebagai penguasa besar telah terdegradasi oleh masuknya Belanda sampai ke dalam urusan-urusan yang, sebenarnya, bukan menjadi kewenangannya.  Sikap tidak tegas Susuhunan ini kian parah karena intrik yang dimainkan oleh Perdana Menteri alias Patih Dalem (saya agak lupa namanya.  Kalau tidak salah, Pringgalaya), yang juga "punya kepentingan" sendiri, antara lain adalah menyelamatkan karir dan reputasinya di mata Belanda.  Patih, kala itu, sering sekali memberikan saran-saran dan nasehat yang sebenarnya menjerumuskan Susuhunan, dan mengakibatkan perlawanan dari para Pangeran, saudara-saudara kandung, dan paman-paman Susuhunan, kian merajalela.

Ketika itu, Sukawati yang kini dikenal dengan nama Sragen, tengah diduduki pasukan pemberontak yang sebenarnya adalah saudara-saudara Susuhunan sendiri.  Dalam kepanikannya mengatasi pemberontak tersebut, Susuhunan mengutus Pangeran Mangkubumi untuk memimpin pasukan istana dalam rangka memadamkan pemberontakan di Sukawati.  Susuhunan menjanjikan bahwa ketika pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Tanah Sukawati akan dihadiahkan kepada Pangeran Mangkubumi.  Cerita selanjutnya adalah, Pangeran Mangkubumi indeed berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.  Akan tetapi, Susuhunan mencabut hadiah yang semula telah dijanjikannya.  Pencabutan ini, menurut sebagian sumber, adalah akibat bujukan (mungkin harusnya hasutan) dari Patih, dan ada pula yang menyebutkan adalah atas desakan Belanda, dan ada pula sumber yang mengatakan bahwa kedua pihak tersebut keberatan jika Pangeran Mangkubumi dihadiahi Tanah Sukawati, karena hal tersebut akan membahayakan posisi Susuhunan mengingat luasnya Tanah Sukawati.  Pencabutan hadiah tersebut terjadi dalam forum publik istana.  Jelas saja Pangeran Mangkubumi yang konon dikenal berwatak keras itu merasa sakit hati, malu, dan terkhianati dengan peristiwa tersebut.  Setelah itu, beliau pun keluar dari istana dan memulai pemberontakannya terhadap Belanda yang beliau anggap sebagai biang keladi dari segala kekisruhan yang terjadi di istana.  Konon, Pangeran Mangkubumi memulai pemberontakannya atas restu Susuhunan, yang dilegitimasi dengan pemberian pusaka keraton.  Susuhunan berharap, Pangeran Mangkubumi berhasil dalam perjuangannya sehingga mampu mengembalikan kedaulatan Mataram atas wilayah kekuasaannya yang telah dirampas oleh Belanda.
Nah, demikian itu, sekelumit sejarah yang melatarbelakangi terjadinya Perjanjian Giyanti yang untuk pertama kalinya membagi dua kekuasaan Mataram Islam yang semula berada di bawah Susuhunan Pakoe Boewono.  Bagaimana dengan aturan gelar yang berlaku di Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat?  Silakan simak berikut ini.
Gelar Bagi Laki-laki
Gelar Resmi Sultan
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping ..... (lalu angka urutan bertahta) 
Dalam penyebutan, Sultan tidak dikatakan Sultan, melainkan Ngarsa Dalem.  Ini yang membedakan dengan penyebutan Susuhunan dalam unggahan sebelumnya.
Gelar Resmi Bagi Putra Sultan
G.R.M. = Gusti Raden Mas, gelar bagi putra Sultan yang dilahirkan dari Permaisuri.  Sebelum masa Sultan Hamengku Buwono IX, putra Sultan yang lahir dari Selir diberi gelar B.R.M. = Bandara Raden Mas, dan bagi putra tertua Sultan dari Selir diberi gelar B.R.M.G. = Bandara Raden Mas Gusti.
Sultan Hamengku Buwono IX (dok.pribadi)
G.P.H. = Gusti Pangeran Harya, gelar bagi putra Sultan yang telah diwisuda menjadi Pangeran.  Untuk putra Sultan dari Selir diberi gelar B.P.H. = Bandara Pangeran Harya.  Sejak bertahtanya Sultan Hamengku Buwono IX, beliau menghapuskan gelar B.P.H., dan mengangkat putra-putranya dari keempat Garwa Dalem (bukan Permaisuri) dengan gelar G.B.P.H. = Gusti Bandara Pangeran Harya. 
G.P. = Gusti Pangeran, gelar bagi Pangeran tertua di antara putra-putra Sultan dari Selir.
K.G.P.Ad. Anom = Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, seperti yang berlaku di Keraton Kasunanan, gelar ini juga diperuntukkan bagi putra mahkota Sultan, dengan diikuti nama Hamengkunagara Sudibya Rajaputra Narenda Ing Mataram.
K.G.P.Ad. = Kangjeng Gusti Pangeran Adipati, gelar bagi putra Sultan yang dikuasakan untuk memegang kepercayaan dalam kualitas yang besar, sekaligus gelar kehormatan yang cukup tinggi.  Ini merupakan kasus khusus yang amat jarang terjadi.  Salah satu penyandang gelar K.G.P.Ad. yang cukup terkenal di kalangan Keraton Kasultanan adalah K.G.P.Ad. Mangkubumi, putra Sultan Hamengku Buwono VI, yang dahulu menjadi tangan kanan Sultan Hamengku Buwono VII, hingga sering disebut raja njaba atau "raja di luar (istana)" karena besarnya kewenangan beliau yang dipercayakan oleh Sultan.  Ada pula K.G.P.Ad. Hangabehi dan K.G.P.Ad. Juminah yang merupakan putra-putra Sultan Hamengku Buwono VII.

K.G.P.H. = Kangjeng Gusti Pangeran Harya, gelar bagi putra Sultan yang menjadi lurah Pangeran atau semacam koordinator bagi para Pangeran.  Selain itu, gelar ini juga merupakan gelar kehormatan yang diberikan Sultan kepada putra-putranya berdasarkan pertimbangan pribadi beliau.
K.G.Pnb. = Kangjeng Gusti Panembahan, gelar kehormatan tertinggi bagi putra Sultan.

K.R.Ad. = Kangjeng Raden Adipati, gelar bagi pepatih Dalem.  Di Jogja, umumnya diikuti dengan nama Danureja.  Namun sejak Sultan Hamengku Buwono IX jabatan Patih ditiadakan.
Gelar Bagi Cucu Laki-laki Sultan
B.R.M. = Bandara Raden Mas, sejak masa Sultan Hamengku Buwono IX, gelar ini diberikan kepada cucu Sultan dari putra mahkota.
R.M. = Raden Mas, gelar bagi semua cucu dan cicit laki-laki Sultan.
Gelar Bagi Generasi-Generasi Dibawah Cicit Sultan
R.B. atau R.Bg. = Raden Bagus, gelar bagi keturunan ke-5 dari Sultan sejak lahir hingga berusia 15 tahun.  Sesudah itu, atau jika yang bersangkutan telah menikah, gelarnya berubah menjadi R. = Raden.
Gelar Kepangkatan Bagi Laki-laki
Tingkat pemula 1 Jajar, belum diberi gelar.
Tingkat pemula 2 Magang, belum diberi gelar.
Tingkat 3 Bekel Enem diberi gelar R.B. = Raden Bekel.
Tingkat 4 Bekel Sepuh diberi gelar R.B. = Raden Bekel.
Tingkat 5 Lurah diberi gelar R.L. = Raden Lurah
Tingkat 6 Kliwon diberi gelar R.K. = Raden Kliwon
Tingkat 7 Wedana diberi gelar R.W. = Raden Wedana
Tingkat 8 Riya Bupati Anom diberi gelar R.Ry.= Raden Riya
Tingkat 9 Bupati Anom diberi gelar K.R.T. = Kangjeng Raden Tumenggung
Tingkat 10 Bupati Sepuh diberi gelar K.R.T. = Kangjeng Raden Tumenggung
Tingkat 11 Bupati Nayaka diberi gelar K.R.T. = Kangjeng Raden Tumenggung
Tingkat 12 Pangeran Sentana diberi gelar K.P.H. = Kangjeng Pangeran Harya
Catatan:  
  1. Kerabat Sultan yang memeroleh salah satu dari keduabelas pangkat di atas, baik laki-laki maupun perempuan, dicabut gelar dan nama lahirnya, dan sejak saat pemberian anugerah gelar pangkat hanya dikenal dengan gelar pangkat dan nama barunya;
  2. Jenjang kepangkatan dari nomor 1 hingga 11 bersifat terbuka bagi kerabat Sultan dari generasi keberapa pun.  Hanya saja, khusus nomor 12, kesempatannya lebih "sempit" dan harus diputuskan oleh Sultan sendiri dengan rekomendasi dari para putra-putri Sultan;
  3. Jenjang di atas diperoleh tidak harus dari tingkat 1.  Bisa saja seseorang langsung "meloncat" ke tingkat 8 atau 9 saat pertama kali memerolehnya, tentu saja tergantung kepada pertimbangan dari Tepas Dwara Pura atau semacam kantor urusan kepegawaian keraton;
  4. Seluruh penerima gelar pangkat tersebut, disebut abdi Dalem dalam perspektif yang luas dan kekinian, yaitu bahwa mereka tidak literally dan directly melayani Sultan, bekerja untuk dan di dalam Keraton, serta mendapat gaji dari Keraton, melainkan bertindak sebagai agen-agen budaya Keraton yang memiliki tanggungjawab moral untuk senantiasa menjaga nama baik Keraton yang terkait dengan pangkat yang disandangnya;
  5. Terkait dengan butir 4 di atas, abdi Dalem dalam aturan Keraton Kasultanan terbagi dalam dua golongan, yaitu abdi Dalem Reh Punakawan yang biasanya terdiri atas kerabat terdekat Sultan (cucu, cicit, kemenakan), dan mereka yang memang secara langsung bekerja di dalam Keraton.  Golongan kedua adalah abdi Dalem Reh Kaprajan yang secara umum terdiri atas unsur kerabat/non-kerabat Sultan (non-kerabat, gelar Raden diganti dengan Mas) yang bekerja di instansi-instansi pemerintah;
  6. Gelar-gelar kepangkatan tersebut tidak diberikan oleh Keraton, melainkan harus diminta dengan mekanisme yang hampir sama dengan proses melamar pekerjaan (pengiriman berkas, wawancara, pengisian formulir, penentuan layak/tidaknya seseorang diluluskan permohonan pangkatnya, dan untuk kenaikan jenjang bagi kerabat Sultan lebih dari generasi keempat dan non-kerabat, harus melalui ujian).
Gelar Bagi Perempuan
Gelar Resmi Permaisuri Sultan
G.K.R. = Gusti Kangjeng Ratu, seperti yang berlaku di Kasunanan, gelar ini biasanya diikuti dengan nama khusus seperti Kencana, Hemas, Kadipaten, dsb.  Gelar dan nama G.K.R. Ageng khusus diberikan kepada ibu suri atau ibu dari Sultan yang bertahta.
Gelar Resmi Putri-Putri Sultan
G.R.Aj. = Gusti Raden Ajeng, gelar bagi putri-putri Sultan dari Permaisuri.  Sebelum masa Sultan Hamengku Buwono IX, putri Sultan yang lahir dari Selir diberi gelar B.R.Aj. = Bandara Raden Ajeng, dan bagi putri tertua Sultan dari Selir diberi gelar B.R.Aj.G. = Bandara Raden Ajeng Gusti.
G.R.Ay. = Gusti Raden Ayu, gelar bagi putri-putri Sultan yang dilahirkan dari Permaisuri dan sudah menikah.   Untuk putri Sultan dari Selir yang telah menikah diberi gelar B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu (atau B.R.Ay.G. = Bandara Raden Ayu Gusti bagi putri sulung dari Selir).  Sejak bertahtanya Sultan Hamengku Buwono IX, beliau menghapuskan gelar B.R.Aj. dan B.R.Ay., dan mengangkat putri-putrinya dari keempat Garwa Dalem (bukan Permaisuri) dengan gelar G.B.R.Ay. = Gusti Bandara Raden Ayu.

G.K.R. = Gusti Kangjeng Ratu, selain untuk Permaisuri Sultan, gelar ini juga diberikan kepada putri-putri Sultan dari Permaisuri, biasanya sesudah menikah, atau sebelum menikah namun sudah dewasa.
K.R. = Kangjeng Ratu, dahulu diberikan kepada putri sulung Sultan dari Selir.
Gelar Resmi Bagi Cucu dan Cicit Perempuan Sultan
B.R.Aj. = Bandara Raden Ajeng, gelar bagi cucu perempuan Sultan yang merupakan putri dari putra mahkota, yang belum menikah.
B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu, gelar bagi putri pangeran mahkota yang telah menikah.  Saat ini juga diberikan sebagai gelar bagi menantu perempuan Sultan.
R.Aj. = Raden Ajeng, gelar bagi seluruh cucu dan cicit perempuan Sultan yang belum menikah.  Jika sudah menikah, gelarnya menjadi R.Ay. = Raden Ayu.
Gelar Resmi Bagi Generasi-Generasi Di Bawah Cicit Sultan
R.Rr. = Raden Rara, untuk generasi keenam (putri dari cicit Sultan) yang belum menikah.  Jika sudah menikah, gelarnya menjadi R.Ngt. = Raden Nganten atau R. = Raden.
Gelar Bagi Selir dan Garwa Dalem Sultan
K.B.R.Ay. = Kangjeng Bandara Raden Ayu, dahulu digunakan untuk lurah Ampeyan Dalem atau pimpinan dari seluruh Selir Sultan; K.R.Ay. = Kangjeng Raden Ayu, di masa Sultan Hamengku Buwono IX diberikan bagi seluruh istrinya.  Semula, gelar ini diberikan bagi Permaisuri putra mahkota, atau Permaisuri K.G.P.Ad.; B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu; B.M.Ay. = Bandara Mas Ayu; B.M.Aj. = Bandara Mas Ajeng; R.Rr. = Raden Rara; dll.
Untuk gelar kepangkatan bagi perempuan di lingkup Keraton Kesultanan, sama dengan laki-laki, hanya ditambah Nyai didepannya.  Misalnya, Nyai K.R.T. Retnohadiningrum (cucu Sultan Hamengku Buwono VIII), Nyai Raden Wedana Puspitaningsih (keturunan keenam Sultan Hamengku Buwono II), dst.  Apabila yang bersangkutan bukan berasal dari keturunan bangsawan, gelar Raden diubah menjadi Mas.
Nah, demikian itu aturan gelar yang berlaku di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.  Sepertinya lebih sederhana, ya..?  Hehehehe...  Oke.  Saya pamit dulu, tapi jangan khawatir, semoga secepatnya saya bisa menyambung kembali dengan aturan gelar dari Mangkunagaran dan Pakualaman.  Sampai jumpa!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar