MASYARAKAT DAN PERUBAHAN SOSIAL: SURAKARTA AWAL ABAD XX
Pada awal abad XX tumbuh elit modern Indonesia yang gejala dan prosesnya juga tampak dalam konteks lokal Surakarta yang semula merupakan kota kerajaan di pedalaman yang diawasi pemerintah kolonial, mulai berubah wajah dan semangatnya. Perubahan ini disebabkan berbagai faktor yang mendorong berbagai kemajuan di tanah kerajaan berkaitan dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dari status kerajaan hingga berbagai kebijakan ekonomi – politik kolonial.A. Struktur Masyarakat
Surakarta sejak lama telah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Kehadiran bangsa-bangsa lain maupun etnis lain dari luar Surakarta menyebabkan pertemuan beberapa kebudayaan yang berlainan itu semakin “erat”. Kebudayaan asing yang masing-masing didukung oleh etnik berbeda mempunyai struktur sosial yang berbeda pula, bercampur dalam wilayah Surakarta. Akibat pertemuan kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa di Surakarta diperkaya dengan berbagai kebudayaan lain. Lambat laun pengaruh tersebut semakin besar mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Terkait dengan pertemuan berbagai kebudayaan itu menimbulkan perubahan struktur pada masyarakat Jawa. Selain itu wilayah-wilayah kerajaan telah memiliki struktur sosial tradisional yang bertahan hingga pemerintahan kolonial dan bahkan dipertahankan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian politik kolonialnya.
Banyak ahli antara lain Burger[1], Wertheim[2], Larson[3], Kuntowijoyo[4], Sartono Kartodirdjo[5], Houben[6] dan sebagainya yang telah membahas tentang stratifikasi sosial masyarakat Jawa, khususnya Surakarta. Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat di Surakarta sangat bertalian dengan kedudukan keraton di dalam struktur sosial di Jawa. Struktur masyarakat di Surakarta memiliki dua anutan yaitu struktur masyarakat tradisional kerajaan dan struktur masyarakat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut F.A. Sutjipto[7] lapisan atas atau merupakan kelas elite, priyayi luhur, atau wong gede, merupakan kelas yang memerintah. Di strata ini ada raja dan para bangsawan serta pejabat kerajaan. Sebenarnya bila dilihat dalam sistem kategorisasi, kelompok atau golongan ini merupakan kelompok campuran priyayi yang berasal dari darah dalem dengan priyayi yang karena pangkat atau pengabdian. Adapaun lapisan bawah atau rakyat biasa, rakyat kecil atau wong cilik merupakan mayoritas penduduk kelas yang diperintah, baik penduduk kota maupun yang berada di pedesaan. Mereka adalah para pekerja yang tidak terdidik atau sedikit mendapat latihan kerja di perusahaan kecil. Rakyat kecil ini biasanya bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh perkebunan dan pabrik serta tukang, perajin dan lainnya.
Sartono Kartodirdjo lebih menekankan pada analisis tentang struktur pada masyarakat Jawa selama jaman kolonial, yang dipusatkan pada ”peranan pekerjaan dan pendidikan serta sebagai indikasi posisi sosial”. Pengamatan perubahan struktur sosial dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dalam perspektif sejarah karena masyarakat Jawa pada masa itu sebagian besar masih berakar pada tradisi lama.[8] Dampak perkembangan pendidikan dan pengajaran, menurut Sartono, menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda dalam beberapa kelompok sosial, yaitu: 1) elite birokrasi yang terdiri dari Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi, 2) Priyayi birokrasi termasuk Priyayi ningrat, 3) Priyayi profesional, 4) golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa, dan 5) orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung[9].
Struktur sosial tradisional menempatkan raja dan priyayi sebagai kelas penguasa sedangkan rakyat biasa yang terdiri dari petani, pedagang sebagai kelas yang diperintah. Struktur masyarakat tradisional ini mulai dirombak oleh pemerintah kolonial Belanda semenjak diberlakukannya politik liberal dan dilanjutkan hingga politik etis diberlakukan. Dengan direduksinya kekuasaan feodal Surakarta maka struktur masyarakat Surakarta pada masa awal abad XX mengalami perubahan dengan diberlakukannya struktur masyarakat yang dibuat oleh pemerintah kolonial yaitu golongan Eropa menempati piramida tertinggi dilanjutkan dengan golongan Timur asing yang terdiri dari bangsa China, Arab dan asia lainnya. Masyarakat pribumi Surakarta ditempatkan sebagai masyarakat kelas bawah dalam struktur masyarakat kolonial Belanda.
Gambar 1. Bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta tahun 1915 (Sumber: www.kitlv.nl).
Konsekuensi dari pembagian struktur masyarakat kolonial di Surakarta
adalah berhubungan dengan politik yaitu untuk melemahkan kekuasaan
golongan bangsawan yang memiliki kekuasaan penuh dalam struktur
masyarakat tradisional. Walaupun begitu, pemerintah kolonial Belanda
tidak menghapuskan struktur masyarakat tradisional di Surakarta secara
penuh, struktur masyarakat tradisional ini digunakan oleh pemerintah
kolonial Belanda dalam mengatur masyarakat di wilayah Surakarta. Selain
itu, pembagian struktur masyarakat kolonial ini juga memberikan hak dan
kewajiban yang berbeda dalam kehidupan masyarakat di Surakarta.Suhartono[10] menggambarkan bahwa masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dam priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dan lain-lain. Bangsawan adalah golongan sosial atas yang memiliki hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi juga termasuk golongan sosial atas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja.
Gambar 2. Raden Adipati Sosrodiningrat rijksbestuurder Surakarta bersama para nayaka tahun 1900 (Sumber: www.kitlv.nl).
Dua golongan sosial yaitu priyayi dan wong cilik menempati wadah budaya yang berbeda yang ditunjukkan oleh struktur apanage. Di satu pihak, priyayi
dengan gaya hidupnya, kebiasaan, makanan, dan pakaian, serta
simbol-simbolnya menunjukkan gaya aristokrat. Keadaan semacam ini
menjadi pola ideal bagi priyayi, bahkan Dezentje, penyewa tanah asing yang luas meniru gaya hidup bangsawan Jawa. Di lain pihak bagi wong cilik,
lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka. Kebiasaan
polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan.
Gambar 3. Masyarakat desa di Surakarta sebagai penjual arang dan pengrajin anyaman pandan tahun 1920 (Sumber: www.kitlv.nl).
Status sosial memiliki hirarki yang terdiri dari golongan-golongan sosial sebagai berikut, golongan penguasa, bangsawan, dan priyayi menempati status sosial atas. Para elit birokrat yang mendapatkan tanah apanage membentuk golongan penguasa. Mereka hidup dari pajeg, pundhutan,
dan berbagai layanan. Status sosial serta hak-hak pribadi mereka dapat
diketahui dari gelar dan lambang yang dipakai yang menunjukkan dari
golongan mana mereka berasal.Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan agro-industri pada pertengahan abad XIX, golongan birokrat makin kuat statusnya untuk mendukung pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam pemerintahan kolonial mulai diisi oleh priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak dan kasir sampai dengan pengawas-pengawasnya dengan gelar mantri. Jadi kedudukan golongan bangsawan dalam birokrasi kolonial maupun dalam pemerintahan kerajaan mulai tergeser setelah masuknya golongan priyayi cilik.
Kuntowijoyo[11] menegaskan bahwa keberadaan priyayi cilik yang mampu menguasai kedudukan dalam birokrasi kerajaan maupun birokrasi kolonial dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu suwita pada priyayi tinggi kemudian magang pada salah satu profesi. Diwisuda menjadi priyayi sungguhan adalah sebuah kehormatan bagi seseorang. Maka mata rantai kepriyayian yang bergerak dari bawah ke atas itu menjadikan politik bagi priyayi adalah patron-client politics. Hal ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja dalam pemerintahan maupun yang bekerja sebagai abdi dalem keraton.
B. Modernisasi
Perkembangan Masyarakat di kota Surakarta dalam perjalanannya ditunjang dan dibatasi oleh kondisi-kondisi kekinian masyarakat. Tingkat perkembangan masyarakat di Surakarta merupakan hasil dari proses perkembangan jaman yang dipahami bukan sebagai proses yang bersifat kebetulan, melainkan sebagai fenomena historis. Keunikan-keunikan yang terkandung di dalamnya akan dapat dipahami dengan lebih baik apabila realitas-realitas sosio kultural masyarakat tempat berlangsungnya proses perubahan itu tidak dikesampingkan.
Ketika Surakarta mulai bersentuhan dengan modernisasi, masyarakat di daerah ini terbentuk atas beberapa etnis. Selain kelompok pribumi yang menduduki jumlah terbesar, terdapat pula sekelompok orang-orang Eropa dan Timur Asing. Pada tahun 1920 jumlah penduduk Karesidenan Surakarta mencapai 2.049.547 penduduk dan mengalami kenaikan jumlah penduduk ketika sensus pertama kali dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 menjadi 2.564.460 penduduk.[12] Sedangkan penduduk kota Surakarta sendiri pada tahun 1920 berjumlah 343.681 penduduk dan mengalami kenaikan pada tahun 1930 menjadi 391.734 penduduk. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran Tahun 1920 dan Tahun 1930
Kabupaten
|
Banyaknya Jumlah Penduduk
|
Luas Wilayah (km)
|
Banyak Penduduk dalam km
|
||
1920
|
1930
|
1920
|
1930
|
||
Surakarta |
343.681
|
391.734
|
5247
|
656
|
747
|
Sragen |
244.943
|
323.621
|
9953
|
256
|
325
|
Klaten |
476.364
|
574.788
|
7258
|
657
|
792
|
Boyolali |
286.538
|
378.063
|
10643
|
270
|
355
|
Jumlah |
1.351.526
|
1.666.906
|
33101
|
408
|
504
|
Mangkunegaran |
217.524
|
321.441
|
8127
|
267
|
395
|
Wonogiri |
480.497
|
576.113
|
19287
|
244
|
298
|
Jumlah |
698.021
|
897.554
|
27414
|
218
|
327
|
Jumlah Keseluruhan |
2.049.547
|
2.564.460
|
60515
|
337
|
424
|
Sedangkan penduduk yang bertempat tinggal di kota khususnya Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran berjumlah 163.013 jiwa, yaitu di pusat kota Surakarta berjumlah 127.830 jiwa dan Kadipaten Mangkunegaran berjumlah 35.183. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Kota Tahun 1930
Kota
|
Banyak Penduduk
|
Luas Wilayah (km)
|
Banyak Penduduk dalam km
|
Surakarta |
127.830
|
20
|
6.391
|
Kadipaten Mangkunegaran |
35.183
|
4
|
9.021
|
Klaten |
12.166
|
2
|
6.083
|
Boyolali |
10.166
|
54
|
1.804
|
Sragen |
15.381
|
62
|
2.461
|
Wonogiri |
7.831
|
49
|
1.598
|
Jumlah |
208.557
|
191
|
27.358
|
Banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan banyak disebabkan semakin berkembangnya kota Surakarta awal abad XX dengan banyak dibangunnya infrastruktur kota dan juga pembukaan industri-industri baru yang banyak membutuhkan tenaga kerja baru. Sehingga terjadi arus urbanisasi dari pedesaan-pedesaan ke kota yang baru berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa kota Surakarta menjadi tempat yang cukup memberikan harapan bagi usaha-usaha di bidang ekonomi.
Jumlah penduduk di Surakarta pada tahun 1930 memiliki keberagaman suku bangsa. Penduduk pribumi yang tinggal di Surakarta menempati jumlah yang cukup besar selanjutnya diikuti oleh masyarakat Cina, Eropa dan Arab. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.
Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran Menurut Suku Bangsa Tahun 1930.
Kabupaten
|
Jumlah Penduduk
|
|||
Pribumi
|
Belanda
|
China
|
Arab
|
|
Surakarta |
377.153
|
2.493
|
10.745
|
1.343
|
Sragen |
321.385
|
474
|
946
|
16
|
Klaten |
569.422
|
1.754
|
3.580
|
32
|
Boyolali |
376.445
|
466
|
641
|
11
|
Mangkunegaran |
317.558
|
1.222
|
2.593
|
68
|
Wonogiri |
574.463
|
45
|
1.600
|
5
|
Kota Wilayah Dalem Surakarta I |
32.541
|
873
|
1.708
|
61
|
Wilayah Kadipaten Mangkunegaran I |
114.607
|
2.330
|
9.566
|
1.327
|
Jumlah |
2.683.574
|
9.657
|
31.379
|
2.863
|
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah pribumi yang tinggal di wilayah Surakarta cukup besar dan masyarakat pribumi tersebar diberbagai pelosok desa maupun kota Surakarta. Sebagian besar masyarakat pribumi yang hidup di pedesaan hidup sebagai petani maupun buruh perkebunan yang dimiliki oleh orang Eropa maupun China.
Gambar 4. Sebuah perkampungan di desa Djawa (Sumber: P.H. Van Moerkerken J.R dan R. Noordhoof, Atalas Gambar-Gambar Akan Dipakai Oentoek Pengadjaran Ilmoe Boemi, Amsterdam-S.L. van Looy: Balai Pustaka, 1922).
Penduduk Eropa dan Belanda banyak tinggal di daerah perkotaan dengan
ditandai adanya bangunan yang disebut “loji” dan berada di daerah dekat
dengan benteng Vastenburg serta alun-alun utara. Biasanya mereka bekerja sebagai pejabat Gouvernement ataupun sebagai pengusaha perkebunan swasta, dinas militer, dan sebagainya.
Gambar 5. Logegebouw van de vrijmetselarij te Soerakarta 1900 (Sumber: http://www.kitlv.nl).
Jumlah penduduk yang berasal dari Timur Asing di wilayah Surakarta
cukup besar dan biasanya mereka tinggal dekat dengan pusat ekonomi dan
memiliki wilayah tersendiri yang tidak bercampur dengan penduduk
pribumi. Pembagian ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
dapat mengawasi pergerakan masyarakat Timur Asing dan pribumi secara
bersama. Masyarakat Timur Asing China berada di wilayah Balong dan dekat
dengan pusat ekonomi pasar Gedhe sedangkan masyarakat Arab banyak
menempati wilayah Pasar Kliwon.[13]
Masyarakat Timur Asing, China dan Arab beraktivitas sebagai pedagang
perantara yang cukup berperan besar dalam menjalankan perekonomian kota
Surakarta.
Gambar 6. Daerah Pasar Kliwon pada tahun 1900 sebagai wilayah pemukiman masyarakat Arab (Sumber: www.kitlv.nl).
Gambar di atas menunjukkan wilayah Pasar Kliwon yang masih berupa
kampung dengan jalan yang cukup luas sebagai penghubung dengan wilayah
kota Surakarta. Di wilayah ini sebagian masyarakat Arab dan pribumi
tinggal dengan rumah-rumah yang masih sederhana. Sedangkan pemukiman
masyarakat China telah menunjukkan kemajuan dalam bangunan fisik dengan
gedung yang ditembok dan juga terletak di pinggir jalan yang cukup luas.
Gambar 7. Perkampungan China di Surakarta tahun 1901-1902 (Sumber: www.kitlv.nl)
Seiring dengan pertumbuhan sektor demografi dan ekonomi di daerah
Surakarta, maka sektor transportasi juga mengalami perkembangan. Kalau
sebelumnya alat transportasi didominasi oleh kereta-kereta yang ditarik
hewan, maka setelah diperkenalkannya kereta api, alat-alat transportasi
tersebut mulai ditinggalkan. Pembuatan jaringan transportasi kereta api
di Surakarta dilaksanakan pada tahun 1862 atas desakan van de Putte
dengan jalan kereta api yang menghubungkan kota Semarang dengan Vorstenlanden, dibuat dan dikerjakan oleh pihak swasta Belanda, yaitu NIS (Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschapij). Pembangunan jalur kereta api ini menggunakan upah tenaga dari daerah Blora, Rembang, dan Jepara.[14] Jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden
terbagi menjadi empat bagian, pertama, rute Semarang-Kedungjati dibagi
dua yaitu Semarang-Tanggung dan Tanggung-Kedungjati dimulai tahun
1864-1867. Kedua, dari Kedungjati-Surakarta, ketiga, dari Surakarta ke
Yogyakarta dan terakhir dari Kedungjati ke Ambarawa.[15]Pembangunan jaringan kereta api ini dimaksudkan sebagai sarana penunjang eksploitasi dari perkebunan tebu yang sedang berkembang dan menghasilkan produksi gula sangat besar di wilayah Surakarta. Di wilayah Surakarta sendiri terdapat 16 buah pabrik gula yang dimiliki oleh bangsa Eropa maupun kerajaan.[16] Artinya bahwa jaringan kereta ini hanya digunakan sebagai pengangkut barang dari pedalaman ke pelabuhan untuk diekspor, tetapi dalam perjalanan waktu, sarana transportasi ini digunakan sebagai sarana mengangkut manusia. Penambahan fungsi ini membawa dampak semakin meluasnya transformasi nilai-nilai ke daerah pedalaman melalui mobilisasi manusia dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman.
Di Surakarta pengadaan trem untuk angkutan terjadi pada sekitar tahun 1900 yang dimulai dari pusat kota, yaitu dari halte di depan Benteng Vastenburg. Trem ini ditarik dengan kuda yang pada setiap pos akan berhenti karena menjadi tempat naik turunnya penumpang. Rute yang dilalui dari Benteng Vastenburg ke arah selatan ke barat menuju Purwosari,[17] trem berhenti sekali di Kauman menuju Derpoyudan sebelah barat Nonongan, ke barat sampai di halte Pasar Pon, dari situ kereta dapat bersimpangan dengan trem yang datang dari barat. Perjalanan trem melintasi jalan besar di sebelah selatan ke barat berhenti di Bendha depan Sriwedari menuju Pesanggrahan (Ngadisuryan) berbelok ke utara memotong jalan besar sampai stasiun Purwosari dan berhenti di situ. Dari Purwosari kereta menuju ke barat dan berakhir di Dusun Gembongan di mana ada pabrik gula. Trem berhenti di situ sebagai pengangkut punggawa pabrik yang akan pergi ke Solo.
Trem yang ditarik oleh empat ekor kuda itu hanya memiliki satu gerbong dan setiap empat kilometer kuda tersebut diganti. Gerbong itu berisi sekitar 20 orang. Penumpangnya adalah orang-orang Belanda dan China. Sementara itu, untuk orang pribumi sendiri sangat sedikit jumlahnya karena ongkos yang mahal sehingga para pembesar dan saudagar saja yang mampu membayarnya.[18] Selain itu, jalur kereta yang menghubungkan Surakarta-Boyolali telah dibangun pula pada tahun 1908 dengan panajang 27 km dan dikelola oleh Soloshe Tramweg Mij.[19]
Gambar 8. Peresmian Jalur Tram Oleh Solosche Tramweg Maatschappij tahun 1880 (Sumber: www.kitlv.nl).
Perluasan jaringan trem dan kereta api berdampak pada pertumbuhan
kota. Pertama, dilihat dari pusat keramaian di stasiun sebagai tempat
berhentinya kereta. Stasiun menjadi tempat berkumpulnya manusia dan
terakumulasi dengan berbagai sikap , perilakunya. Selain itu, stasiun
menjadi tempat aktivitas ekonomi seperti warung, dan rumah makan juga
para pedagang kecil yang menjajakan dagangan di dalam kereta. Kedua,
munculnya pusat kehidupan yang lebih banyak pada jalur-jalur kereta api.
Tempat-tempat yang terisolasi jauh dari kota dapat dijangkau. Bangunan
seperti pasar, hotel, bengkel kereta dan bangunan barunya bermunculan
untuk keperluan perluasan jaringan kereta api. Pada perkembangan
selanjutnya juga ada dinas jaringan telepon untuk melengkapi jaringan
komunikasi ini.[20]Perusahaan kereta api, gas, listrik, air minum, jaringan telepon mengubah segi fisik kota dengan jalan-jalan baru, gedung-gedung, sekolah, gedung pertemuan, asrama-asrama dan rumah sakit. Berbagai segi perkembangan fisik kota dengan pemukiman baru berpengaruh dalam cara berpikir penduduk kota di Surakarta. Kota kerajaan tumbuh menjadi kota dalam situasi kolonial dengan kemudahan-kemudahan baru yang tidak terdapat dalam kota tradisional. Perkembangan itu turut membentuk Surakarta sebagai kota yang dapat menampung tumbuhnya organisasi sosial dan pergerakan nasional.
Dalam situasi kolonial terbukalah masalah-masalah yang menyangkut penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal yang diperlukan sebagai keseimbangan perubahan administrasi pemerintahan. Pasaran tenaga kerja makin terbuka, baik dalam hubungan pengisian susunan jabatan pemerintah maupun pada perusahaan dan industri perkebunan yang meluas horizontal dan secara terbatas terjadi mobilitas vertikal. Di samping itu, perluasan gagasan Barat tentang kebebasan, hak mengatur diri sendiri, demokrasi dan kemajuan melai melekat pada banyak pribadi elite kota.
C. Perkembangan Pendidikan dan Pers di Surakarta
Semenjak permulaan abad XX, di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran baru yang bermaksud untuk memberikan sebagian keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang Belanda kepada rakyat Bumiputera. Aliran ini berpendapat bahwa sudah saatnya rakyat Bumiputera diperkenalkan dengan kebudayaan dan pengetahuan Barat agar dapat dijadikan bekal hidupnya kelak dikemudian hari. Gagasan dari aliran baru ini kemudian dikenal dengan Politik Etis, yang dijalankan dengan berpijak pada tiga prinsip dasar yaitu pendidikan, perpindahan penduduk dan pengairan.
Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.[21]
Pelaksanaan politik Etis sendiri jauh dari harapan seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Secara nyata bahwa politik Etis semakin memperkuat eksploitasi kolonial terhadap masyarakat pribumi. Namun, secara tidak langsung telah mendorong perubahan sosial budaya dalam kalangan Bumiputera. Perubahan sebagian besar disebabkan adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan Barat dan pola pikir rakyat Bumiputera yang ditandai dengan munculnya kaum intelektual. Tampaknya kaum intelektual telah pula memberikan tenaga dan pikiran untuk membangkitkan semangat bangsa yang terpecah belah dalam kebodohan oleh kaum penjajah.[22] Bahkan sejumlah elit intelektual ini telah mengobarkan semangat pergerakan nasional.
Semenjak dijalankannya politik Etis, terlihat adanya kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya terdapat dua macam sekolah yang didirikan pada tahun 1892, yaitu Sekolah Angka Satu khusus untuk anak Bumiputera terkemuka dan Sekolah Angka Dua bagi anak Bumiputera pada umumnya. Setelah dijalankannya politik etis terjadi peningkatan jumlah anak yang bersekolah, walaupun secara keseluruhan masih banyak yang belum tersentuh pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut:
Tabel 4.
Jumlah Anak Usia 6-13 Tahun Yang Memerlukan Sekolah dan Yang Telah Bersekolah di Hindia Belanda
Tahun
|
Penduduk Negeri
|
Anak-anak Berumur 6-13 tahun
|
|
Yang Memerlukan Sekolah
|
Yang Bersekolah
|
||
1900 |
35.283.248
|
6.739.101
|
78.719
|
1928 |
58.724.286
|
11.216.339
|
1.647.761
|
Penambahan |
23.441.038
|
4.477.238
|
1.564.042
|
Masih banyaknya masyarakat pribumi yang belum bersekolah disebabkan pula oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menciptakan sistem pendidikan bagi masyarakat dengan sistem diskriminasi ras yang didasarkan atas keturunan dan lapisan sosial yang ada. Walaupun terdapat diskriminasi tetapi pendidikan Barat menjadi idaman bagi banyak orang karena dengan pendidikan Barat masyarakat dapat meningkatkan status sosialnya.
1. Pendidikan di Surakarta
Di Surakarta sendiri terdapat bermacam-macam sekolah model Barat. Menurut data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta tahun 1930,[23] secara garis besar dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah
Jumlah sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah di Surakarta sampai tahun 1930 berjumlah sekitar 22 buah. Terdiri dari 13 Sekolah Angka Dua, 2 Sekolah Meisesschool (Sekolah Putri), dan 7 sekolah-sekolah persiapan pendidikan guru vagi Sekolah Desa (Onderbouw Holland Inlander Kweekschool). Sekolah-sekolah tersebut terdapat di daerah Pasar Kliwon, Laweyan, Serengan, Jebres, Kota Mangkunegaran, dan Colomadu.[24]
Gambar 9. Sekolah Putri Bowolaksono di Kauman Solo (Sumber: Koleksi Pribadi).
b. Sekolah-sekolah neutral berbahasa Belanda
Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda khusus
diperuntukan bagi anak-anak Eropa. Sekolah-sekolah jenis ini mempunyai
fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sekolah-sekolah untuk
anak pribumi. Mutu pendidikannya sangat luas, selain memberikan mata
pelajaran yang lebih lengkap juga didukung oleh berbagai macam fasilitas
yang memadai sebagai penunjang bagi kelancaran proses belajar mengajar.
Guru-guru yang mengajar kebanyakan adalah guru-guru berkebangsaan Eropa
yang betul-betul mempunyai ijazah Diploma Guru.Bahasa Belanda merupakan syarat utama dalam penerimaan siswa di sekolah ini, sehingga tidak semua orang dapat memasukkan anaknya ke sekolah ini. Untuk memasuki sekolah ini dibutuhkan biaya yang besar, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah ini. Lingkungan sekolah yang elit menyebabkan sekolah ini terpisah dari sekolah rakyat kebanyakan, siswa dari sekolah lain yang tidak sederajat tidak berani masuk dalam lingkungan sekolah ini. Kondisi semacam inilah yang semakin memperlebar kesenjangan sosial. Di satu pihak, siswa sekolah ini berkembang menjadi elit yang berbudaya Barat, tetapi terasing dalam lingkungannya sendiri. Di lain pihak, siswa dari sekolah lain yang merupakan masyarakat kebanyakan tetap tidak dapat memperoleh kemajuan yang berarti.
Jumlah sekolah ini di Surakarta ada tiga buah, yaitu HIS Jongen School di Mangkunegaran, HIS Meisesschool di Slompretan dan Schakelschool di Mangkunegaran.[25] Namun dengan jumlah sekolah yang hanya berjumlah tiga buah telah mencukupi kebutuhan pendidikan kalangan Eropa. Bahkan presentase pemenuhan kebutuhan sekolah untuk kalangan Eropa atau yang dianggap sejajar lebih besar dibanding dengan murid pribumi yang dapat bersekolah.
c. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia Belanda adalah motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Awalnya sasaran penyebarannya dilakukan secara langsung melalui gereja, penerbitan buku-buku Kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian-pendirian rumah sakit dan sarana pendidikan.
Pada awalnya pendirian rumah sakit dan sekolah-sekolah Kristen di Surakarta mendapat tentangan dari Sunan dan Residen Van Wijk. Akhirnya sekolah Kristen di Surakarta mendapat ijin dan pertama kali diperkenalkan dan dibuka oleh Perkumpulan Zending van de Gereformeerde Kerk te Delf, yang terdiri dari C. Van Proosdij, Van Ansel, C.J. De Zomer, G.C.E. de Man serta pendeta Bekker.
Sekolah ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu sekolah yang dibuka khusus bagi anak-anak Eropa atau yang sederajat serta sekolah Kristen untuk anak Bumiputera. Dalam kurikulumnya selain memperkenalkan ajaran-ajaran Kristen juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Bahasa Belanda menjadi kurikulum pelajaran yang penting, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan. Untuk mendukung program di atas maka siswa maupun guru-guru yang mengajar diharuskan tinggal di asrama yang telah disediakan dan sehari-harinya diwajibkan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Aturan-aturan ini menyebabkan orang-orang yang dididik di tempat tersebut terpisah dari budaya Jawa, lebih-lebih Zending juga mampu menampung para alumni sekolahnya dengan memberikan lapangan pekerjaan di berbagai bidang.
Tujuan dari sekolah ini yaitu menyebarkan ajaran agama Kristen dan sesuai dengan tujuan pemerintah kolonial Belanda maka sekolah ini mendapatkan bantuan dan kemudahan dari pemerintah kolonial. Dalam waktu singkat sekolah-sekolah ini berkembang dengan pesat, di Surakarta sendiri sekolah ini pada tahun 1930 berjumlah 20 buah yang tersebar di daerah Margoyudan, Villapark (dekat Pasar Legi), Sidokare, Jebres, Kerten, Gemblegan, Danukusuman, Kawatan, Gilingan dan Manahan.[26]
d. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie
Sekolah Katolik berhasil didirikan oleh Pastor Keyser di daerah Yogyakarta dan Klaten pada tahun 1892 dan sebelumnya telah didirikan pula sekolah yang sama pada tahun 1890 di Semarang dan Magelang. Semula sekolah ini bercorak Europees yang netral dengan memberi kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama Katolik. Dalam perkembangan selanjutnya dengan masuknya ajaran Kotekismus, pelajaran agama Katolik menjadi pelajaran wajib dan diajarkan juga melalui peraturan-peraturan dalam asrama siswa. [27]
Sekolah Katolik didirikan di Surakarta pada tahun 1921 dan terus berkembang dengan bantuan pemerintah melalui penyediaan dana dan fasilitas. Hingga tahun 1930, jumlah sekolah Katolik di Surakarta berjumlah 17 buah yang meliputi satu sekolah MULO, satu Sekolah ELS, dua buah HIS, satu buah HIS yang khusus bagi perempuan, sepuluh buah Standarschool, satu buah HCS dan dua buah Meijesvervolkschool. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di daerah Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.[28]
e. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah
Perkembangan sekolah-sekolah Neutral, Zending dan Missie yang pesat, mengakibatkan munculnya reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada awal abad XX. Sekolah-sekolah tersebut menyebabkan banyak pemuda pribumiyang lebih memilih pengajaran Barat, karena dianggap sebagai pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga baru yang diperkenalkan oleh administrasi kolonial. Di Surakarta reaksi terhadap penginjilan dan munculnya sekolah-sekolah Kristen dan Katolik paling keras ditentang di daerah Laweyan yaitu daerah yang banyak didiami oleh pedagang Islam Ortodoks.[29]
Penentangan dan untuk menghambat penyebaran sekolah berdasarkan agama Kristen dan Katolik maka Muhammadiyah sebagai organisasi Islam mendirikan majelis pendidikan dan pengajaran tahun 1920. Adanya majelis pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah menyebabkan meluasnya perkembangan sekolah Muhammadiyah diberbagai daerah termasuk di Surakarta. Pada tahun 1930 tercatat ada sepuluh buah sekolah Muhammadiyah di Surakarta yang sebagian besar terdiri atas sekolah Standarschool. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Mangkunegaran, Notokusuman, Kleco, Kampung Sewu, Kauman, Serengan, dan Pasar Legi.[30]
f. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo
Selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sekolah yang dijalankan oleh organisasi keagamaan, pada masa awal abad ke 20 telah banyak bermunculan organisasi pergerakan nasional. Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang memiliki perhatian terhadap kemajuan pendidikan Bumiputera.
Budi Utomo di Surakarta memiliki anggota yang sebagian besar adalah priyayi, sehingga dalam merealisasikan program pendidikannya lebih mengutamakan pendidikan tingkat tinggi bagi anggotanya yang sebagian besar adalah priyayi. Pendidikan tingkat dasar dan menengah bagi kaum pribumi secara menyeluruh kurang mendapatkan perhatian yang besar dari organisasi ini.
Di Surakarta, Budi Utomo hanya mendirikan Standardschool di empat desa yaitu Loemboeng Wetan, Timuran, Colomadu dan Tegalgondo.[31] Pendiriannya memperoleh bantuan dari sekolah-sekolah barat yang telah ada. Sekolah-sekolah tersebut tidak pernah menjadi besar, sebab selain kekurangan dana, Budi Utomo tidak cukup progresif dalam menghadapi peraturan-peraturan pemerintah yang membuat batasan dalam bidang pendidikan.[32]
g. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh pihak Kerajaan
Perkembangan pendidikan modern yang dikelola oleh Kerajaan dimulai dengan didirikannya HIS Kastriyan pada tanggal 1 November 1910 yang disusul kemudian dengan pendirian Froberschool Pamardi Siwi pada tanggal 26 Agustus 1926 dan yang terkahir adalah pendirian HIS Pamardi Putri pada tanggal 1 Juli 1927.[33] Sekolah-sekolah ini khusus diperuntukkan bagi keluarga bangsawan dan priyayi tingkat tinggi.
Pendirian-pendirian sekolah-sekolah model barat tersebut pihak Keraton Kasunanan juga mendirikan sekolah bagi rakyat kebanyakan. Sekolah formal bagi rakyat bumiputera ini dinamakan Sekolah Desa (Volkschool) dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dan lama pendidikannya adalah 3 tahun. Jumlah sekolah ini di Kasunanan pada tahun 1923 masih sedikit barulah mulai tahun 1925 jumlahnya bertambah berkat kerjasama antara pemerintah Kerajaan, pemerintah kolonial Belanda dan desa. Dalam pendirian sekolah ini, pihak Kasunanan memberikan bantuan biaya pembuatan gedung dan mebel, pihak pemerintah kolonial Belanda memberikan peralatan mengajar seperti buku-buku, sedangkan pihak desa membayar gaji guru-gurunya.[34] Hingga tahun 1933 jumlah Sekolah Desa telah mencapai 66 buah sekolah dan bertambah menjadi 153 buah sekolah pada tahun 1938.[35]
Selain sekolah desa pihak Kasunanan juga mendirikan sekolah bagi anak-anak abdi dalem Mutihan yang diberi nama Mambaul Ulum yang didirikan pada tahun 1905. Sekolah ini menghasilkan kader-kader ulama dan mendidik calon pejabat keagamaan yang ahli dan cakap. Dalam perkembangannya sekolah ini juga menerima murid anak-anak putro sentana dan anggota masyarakat lain.
2. Pers di Surakarta
Perkembangan pers di kota Surakarta merupakan bentuk modernisasi yang terjadi di kota ini. Sejak masa kolonial kota Surakarta merupakan tempat dimana pers tumbuh dan berkembang secara dinamis, dan merupakan tempat pertama perkembangan pers pribumi dan memasuki abad XX pers di Surakarta berkembang pesat bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional.[36]
Surat kabar pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 1615 oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendral pertama VOC di Batavia. Surat kabar tersebut bernama Memorie der Nouvelles yang ditulis dengan tangan.[37] Memorie der Nouvelles ternyata tidak hanya dibaca oleh orang Batavia saja, tetapi samapai tahun 1644 merupakan pembawa berita-berita dari Nedherland serta kepulauan lainnya dan menjadi bacaan tetap bagi pejabat Belanda di Ambon.
Pada tanggal 7 Agustus 1744 surat kabar atau koran pertama yang dicetak dan diterbitkan di Batavia dengan nama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang disingkat menjadi Bataviasche Nouvelles yang dipimpin oleh Jan Erdman Jordens.[38] Koran ini terdiri dari selembar kertas folio yang dicetak atas tiga kolom dan terbit setiap hari Senin. Surat kabar ini memuat pengumuman-pengumuman pemerintah, berita-berita dagang, kapal, kemudian terdapat juga iklan, umumnya berita mengenai kematian, penguburan, penawaran dan pembelian barang.[39]
Sejarah pers dan wartawan di Surakarta dimulai sejak terbitnya surat kabar Bromartani pada tahun 1855. Surat kabar ini diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan menggunakan bahasa dan aksara Jawa serta terbit setiap hari kamis. Surat kabar Bromartani pada awalnya terbit secara teratur dengan menerbitkan nomor-nomor contoh sebagai perkenalan dan ajakan kepada pembaca agar suka berlangganan dan memasang iklan.[40]
Memasuki permulaan abad XX penerbitan surat kabar di Surakarta semakin semarak berkaitan dengan tumbuhnya organisasi-organisasi pergerakan. Surat kabar dijadikan sebagai alat propaganda tujuan dari organisasi-organisasi tersebut, hal ini juga dilakukan oleh surat kabar yang dimiliki oleh pemerintah kolonial maupun surat kabar milik bangsa Eropa lainnya. Isi dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Surakarta beraneka ragam selain berita-berita juga biasanya berisi iklan-iklan sebagai bagian dari pembiayaan surat kabar tersebut.[41]
Penerbit di Surakarta pada tahun 1912 tercatat sebanyak 9 buah dengan menerbitkan berbagai macam terbitan seperti surat kabar, majalah maupun buku-buku. Surat kabar yang terbit di Surakarta hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda tercatat sebanyak 62 buah.[42] Dengan terbitan sebanyak itu menjadikan kota Surakarta menjadi kota yang dinamis terhadap masuknya pengaruh berbagai kebudayaan terutama budaya Eropa.
[1] D.H. Burger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bharata, 1983).
[2] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
[3] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).
[4] Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004).
[5] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 92.
[6] Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hal. 604.
[7] F.A. Sutjipto, Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, Seri Bacaan Sejarah Indonesia, No. 11, t.t.), hal. 1-2.
[8] Sartono Kartodirdjo, Sejarah…loc.cit.
[9] Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hal. 11.
[10] Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 32-33.
[11] Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula: Surakarta 1900-1915, ( Yogayakarta: Ombak, 2004), hal. 109.
[12] Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).
[13] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Grafiti Pers: Jakarta, 1985, hlm. 12-13.
[14] Benny Juwono, “Etnik Cina di Surakarta 1890-1927”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 2 No. 1, (Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1999), hal. 57.
[15] Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM, 1989), hal. 111-112.
[16] Suhartono, loc.cit., hal. 89.
[17]
Stasiun Purwosari didirikan tahun 1875 dan hingga kini stasiun ini
masih berfungsi. Struktur bangunan utama dengan dinding batu bata dan
rangka baja, bahan penutup atap dari seng. Sidharta Eko Budiharjo, Konservasi dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), hal. 81.
[18] R. M. Sajid, Babad Sala, (Solo: Reksopustoko, 1984), hal. 68-69.
[20] Benny Juwono, loc. cit., hal. 58.
[21] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: UGM Press, 1995), hal. 228.
[22] P.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hal. 67.
[23] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: YOI, 1987), hal. 362.
[28] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[29] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Dunia Politik di Surakarta 1912-1942, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hal. 52.
[30] Opgave van Openvare Onderwijsriehtingen in Het Gewest Soerakarta, (Surakarta: Arsip Mangkunegaran tahun 1931, No. B 108).
[31] Ibid.
[32] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta: Grafitti Press, 1989), hal. 123.
[33] Kabar Paprentahan, (Reksopustaka Mangkunegaran, 1932), hal. 44.
[34] Kabar Paprentahan, (Reksopustaka Mangkunegaran, 1936), hal. 122-123.
[35] Ibid., hal. 32.
[36]
Budaya tulis di Surakarta sendiri telah berlangsung lama dan biasanya
sebuah peristiwa dicatat oleh para pujangga keraton dan tidak
dipublikasikan secara umum, hasil pencatatan tersebut dalam bentuk babad
maupun serat-serat. Pada waktu itu sudah terdapat kertas yang dinamakan
kertas gendong atau kertas Ponorogo, dengan media ini para pujangga istana melakukan aktivitas pencatatan-pencatatan.
[37] Soebagijo I.N., Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hal. 7.
[38] Ibid.
[39] I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: Trinity Pers, 1977), hal. 15.
[40] Marwari Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Depdikbud, 1993), hal. 239.
[41] Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915, (Jogjakarta: Tarawang, 2000), hal. 76.
[42] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar