Minggu, 06 April 2014

Gelar Kebangsawanan Dalam Tradisi Istana-Istana Di Jawa: Part 5

Hallo, rekan-rekan!  Perjalanan kita menelusuri lika-liku aturan gelar di istana-istana di Jawa sudah sampai di penghujungnya, nih.  Tapi "tugas" saya belum selesai.  Masih ada satu Kadipaten lagi yang harus saya unggah, yaitu Pakualaman.  Untuk itu, silakan menyimak, yaaa....

KADIPATEN PAKUALAMAN
Pakualaman adalah dinasti termuda yang ada di Jawa.  Istananya yang disebut Pura Pakualaman, terletak di Jogja, tepatnya di Jl. Sultan Agung.  Kelahiran Kadipaten Pakualaman sebagai princedom baru di wilayah yang semula dikuasai oleh Kasultanan, tidak dapat dilepaskan dari pergolakan politik yang terjadi di Jogja pada sekitar tahun 1811-1812.  
Dalam masa tersebut, terjadi pergantian pemerintah koloni, dari Belanda ke Inggris.  Kekosongan pemerintahan yang ada sebagai akibat dari pergantian tersebut dibaca sebagai sebuah kesempatan untuk memulihkan kedaulatan secara utuh oleh Sultan Hamengku Buwono II.  Beliau pun mencoba berkoordinasi dengan Susuhunan Pakoe Boewono IV di Surakarta untuk membahas strategi yang harus dilakukan.  Namun, ketakutan Susuhunan mengakibatkan konspirasi itu terbongkar bahkan sebelum sempat dilaksanakan.  Jogja pun diserbu oleh Inggris dengan menggunakan kekuatan yang terdiri atas gabungan pasukan Inggris, Kasunanan, dan Mangkunagaran.  Dalam penyerbuan yang berakhir dengan kekalahan Kasultanan itu, banyak benda-benda pusaka dirampas dan dijarah oleh Inggris.  Banyak diantaranya berbentuk naskah-naskah kuno.  Sultan Hamengku Buwono II sendiri dimakzulkan.  Pangeran Adipati Anom (putra mahkota) ditahbiskan sebagai pengganti ayahnya dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III.
Konflik politik yang terjadi di masa itu ternyata tidak surut dengan pemakzulan Sultan Hamengku Buwono II.  Faksi-faksi yang terdiri atas kerabat Sultan dan para pembesar istana telah telanjur terbentuk dengan kepentingannya masing-masing.  Sultan Hamengku Buwono III yang berpribadi lemah, tak cukup punya wibawa untuk meredakan situasi dan mengontrol campur tangan dari pihak Inggris terhadap urusan internal Keraton.  Inggris pun mulai "bermanuver" dengan memfasilitasi terbentuknya pusat pemerintahan swapraja baru yang dipimpin oleh Pangeran Natakusuma.  Pangeran Natakusuma sendiri adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dari Selir Sultan yang bernama B.R.Ay. Srenggara.  Jadi, beliau adalah adik satu ayah beda ibu dengan Sultan Hamengku Buwono II.
Dalam beberapa hal, terutama visi yang jauh ke depan, nasionalisme, dan patriotisme, Pangeran Natakusuma dapat disejajarkan dengan sang kakak, Sultan Hamengku Buwono II.  Mereka berdua anti-penjajah.  Hanya saja, penyikapan mereka yang berbeda.  Sultan Hamengku Buwono II bersikap reaktif dan demonstratif, sedangkan Pangeran Natakusuma, seperti almarhum ayahnya, Sultan Hamengku Buwono I, lebih memilih taktis dan menanti saat yang tepat untuk bertindak.  Di era Belanda pun, sudah banyak manuver dilakukan oleh pihak VOC untuk memisahkan kedua saudara ini, termasuk menggagalkan rencana Sultan Hamengku Buwono II untuk menjadikan adiknya ini sebagai Patih.  Ketika situasi di dalam Keraton masuk dalam babak baru dengan rencana Inggris untuk membubarkan Keraton Kesultanan akibat rencana pemberontakan Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Natakusuma tampil sebagai juru negosiasi untuk membatalkan rencana pembubaran Kasultanan.

Gerbang utama Pura Pakualaman dengan latar belakang Bangsal Sewatama (dok. pribadi)
Atas jasa-jasanya menyelamatkan eksistensi Keraton dan bersikap kooperatif pada Inggris, Pangeran Natakusuma pun mengantongi izin dan restu dari kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono III untuk akhirnya keluar dari istana dan memasuki istana barunya di Pura Pakualaman dengan status baru sebagai Pangeran Mardika atau "pangeran yang dimerdekakan".  Perbedaan status keistimewaan yang diterima oleh Pangeran Natakusuma dengan Pangeran Sambernyawa yang diberi status Pangeran Miji adalah bahwa Pangeran Natakusuma berhak atas otonomi penuh untuk mengatur wilayah kekuasaannya tanpa ada campur tangan dari pihak Kasultanan.  Berikutnya,  Pakualaman berhak untuk menjatuhkan pidana mati kepada pelaku kejahatan di lingkup Pakualaman.  Hak istimewa dalam bidang peradilan ini tidak dipunyai oleh Mangkunagaran.

Nah, cukup dengan sejarah Pakualaman.  Sekarang mari kita masuk ke pokok persoalan tentang gelar kebangsawanan yang berlaku di Pura Pakualaman.

Gelar Bagi Laki-Laki
Gelar Resmi Pakualam
Sampeyan Dalem Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (S.D.K.G.P.A.A.) Pakualam Ingkang Jumeneng Kaping ..... (lalu angka urutan bertahta)
Sebelum tahun 1878, gelar bagi Pakualam I hanya Kangjeng Gusti Pangeran Arya.
Sebutan bagi Pakualam sama dengan sebutan bagi Mangkoenagoro.

Gelar Resmi Bagi Putra Pakualam
K.G.P.A.A. Paku Alam II (dok. pribadi)
G.R.M. = Gusti Raden Mas, gelar bagi putra Pakualam dari Permaisuri.  Selain itu, dikenal pula gelar G.R.M.H. = Gusti Raden Mas Harya bagi putra Pakualam dari Permaisuri yang telah dewasa.  Dua gelar ini dikenal di era K.G.P.A.A. Paku Alam II bagi putra yang dilahirkan dari G.K.R. (Gusti Kangjeng Ratu) Ayu; dan era K.G.P.A.A. Paku Alam VII bagi putra dari G.K.B.R.Ay.Ad. (Gusti Kangjeng Bandara Raden Ayu Adipati) Pakualam.  Setelah dewasa dan menjadi Pangeran, gelar mereka menjadi G.P.H. = Gusti Pangeran Harya.

B.R.M. = Bandara Raden Mas, gelar bagi putra Pakualam berstatus garwa Dalem. Selain itu, dikenal pula gelar B.R.M.H. = Bandara Raden Mas Harya.  Jika telah dewasa dan diwisuda menjadi Pangeran, maka gelarnya menjadi B.P.H. = Bandara Pangeran Harya.

K.G.P.A.A. Paku Alam VII (dok. pribadi)
Untuk putra Paku Alam dari Selir, mendapat gelar B.R.M. lalu B.R.M.H. dan ketika diwisuda menjadi Pangeran diberi gelar K.P.H. = Kangjeng Pangeran Harya.

K.G.P.H. Prabu Suryadilaga = Kangjeng Gusti Pangeran Harya, gelar bagi putra mahkota Paku Alam, atau gelar bagi penguasa Pakualaman yang naik tahta sebelum usia 40 tahun (berlaku sejak K.G.P.A.A. Paku Alam V-K.G.P.A.A. Paku Alam VIII).
K.G.P.A.A. Paku Alam III (dok. pribadi)
Catatan: K.G.P.A.A. Paku Alam III naik tahta dengan gelar K.G.P.H. (Kangjeng Gusti Pangeran Harya) Suryaningrat.  Gelar ini diteruskan oleh K.G.P.A.A. Paku Alam IV yang naik tahta dengan gelar K.G.P.H. Suryaningrat II.  Sementara sumber menyebutkan K.G.P.Ad. (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati) Suryasasraningrat.

K.G.P.A.A. Paku Alam IX mengangkat putra sulungnya sebagai putra mahkota di tahun 2012 dengan gelar K.B.P.H. (Kangjeng Bandara Pangeran Harya) Suryadilaga.

Gelar Resmi Bagi Cucu Laki-Laki Paku Alam
K.G.P.A.A. Paku Alam IV (dok. pribadi)
R.M. = Raden Mas, gelar ini berlaku umum bagi seluruh cucu laki-laki Paku Alam.  Dalam perjalanannya, cucu laki-laki Paku Alam dapat diberi pangkat/gelar kehormatan seperti R.M.T. = Raden Mas Tumenggung; K.R.M.T. = Kangjeng Raden Mas Tumenggung; R.M. Riya = Raden Mas Riya; R.M.Ng. = Raden Mas Ngabehi; R.M.L. = Raden Mas Lurah; K.P.H. = Kangjeng Pangeran Harya.

Gelar Resmi Bagi Cicit Laki-Laki dan Generasi Dibawahnya
K.B.P.H. Suryadilaga, putra mahkota Paku Alam IX bersama istri G.B.R.Ay. Suryadilaga (dok. pribadi)
R.M. = Raden Mas, gelar ini berlaku bagi seluruh cicit laki-laki Paku Alam dan generasi dibawahnya.  Dalam perjalanan selanjutnya, para cicit dan generasi-generasi dibawahnya dapat pula mendapat pangkat dan gelar kehormatan seperti yang disebutkan di atas.

Bagi generasi kelima laki-laki dari Paku Alam berhak menyandang gelar:
R. = Raden, yang juga punya kesempatan untuk mendapat pangkat/gelar kehormatan dengan menghilangkan Mas dan menambahkan pangkat seperti tersebut di atas.  Hanya saja, bagi dharah Dalem (keturunan) Paku Alam yang bergelar Raden, masih dalam pertimbangan untuk juga dapat sampai ke jenjang Pangeran Sentana dengan gelar K.P.H.

Gelar Bagi Perempuan
Gelar Resmi Permaisuri Paku Alam
Terdapat beberapa gelar bagi Permaisuri Paku Alam:
G.K.B.R.Ay.Ad. Paku Alam VII, putri Susuhunan Pakoe Boewono X (dok. pribadi)
G.K.B.R.Ay.Ad. = Gusti Kangjeng Bandara Raden Ayu Adipati dengan diikuti gelar Paku Alam.

Akan tetapi, sebelumnya dikenal pula gelar G.K.R.Ay = Gusti Kangjeng Raden Ayu bagi Permaisuri kedua K.G.P.A.A. Paku Alam III dan K.G.P.A.A. Paku Alam V yang dalam penyebutan sehari-hari dikenal dengan Gusti Kangjeng Nem. 

Gelar G.K.R. (Gusti Kangjeng Ratu) bagi Permaisuri Paku Alam hanya digunakan oleh G.K.R. Ayu, Permaisuri K.G.P.A.A. Paku Alam II yang memang putri Sultan Hamengku Buwono VI dari Permaisuri (serupa kasus Permaisuri K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII).

Gelar Resmi Putri Paku Alam
K.G.P.A.A. Paku Alam IX dan G.K.B.R.Ay.Ad. Paku Alam IX (dok. pribadi)
G.R.Aj. = Gusti Raden Ajeng, gelar bagi putri-putri Paku Alam yang terlahir dari Permaisuri yang belum menikah.  Jika sudah menikah menjadi G.R.Ay. = Gusti Raden Ayu.

B.R.Aj. = Bandara Raden Ajeng, gelar bagi putri-putri Paku Alam yang terlahir dari garwa Dalem dan Selir, yang belum menikah.  Jika sudah menikah bergelar B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu.

Gelar Resmi Cucu Perempuan Paku Alam
R.Aj. = Raden Ajeng, dan bila sudah menikah menjadi R.Ay. = Raden Ayu.

Gelar Resmi Cicit Perempuan Paku Alam dan Generasi Dibawahnya
R.Aj. dan R.Ay.

Keturunan perempuan Paku Alam derajat kelima dan seterusnya menyandang gelar R.Rr. = Raden Rara, dan kalau sudah menikah menjadi R.Ngt. = Raden Nganten.

Gelar Garwa Dalem Paku Alam: B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu; K.B.R.Ay. = Kangjeng Bandara Raden Ayu.

Gelar Selir Paku Alam = B.R.Ay. = Bandara Raden Ayu; B.R. = Bandara Raden; B.M.Aj. = Bandara Mas Ajeng; dll.

Para perempuan keturunan Paku Alam juga berkesempatan mendapatkan gelar pangkat/kehormatan, sama dengan kerabat laki-laki, dengan gelar tertinggi K.R.Ay. = Kangjeng Raden Ayu.

VoilaThis is it!! Kalau kata Farah Quinn, hahahahaha!!!!  Akhirnya tertunaikan juga janji saya untuk menyajikan aturan gelar maha-ribet yang berlaku di keraton-keraton dan kadipaten-kadipaten di Jawa.  Jujur saja, motivasi terkuat saya untuk mengunggah ini semua adalah karena saya masih suka melihat banyak orang yang berusaha menyajikan informasi tentang masalah gelar keraton, akan tetapi seringkali kacau, gak konsisten penjelasannya, dan kurang jelas juga sumber-sumbernya.  Semoga, meskipun informasi dari saya mungkin juga gak valid-valid amat, tapi semoga dapat memberi pencerahan dan meluruskan apa yang kurang lurus dari sumber-sumber lain yang serupa, hehehehe....  Apabila ada kekurangan, mohon dimaafkan lahir dan batin.

Dan, sebagai pertanggungjawaban "agak ilmiah" saya, inilah sumber-sumber yang saya acu:
Kasunanan:
Bratadiningrat, G.R.Ay. tt.  Asalsilah Warni Warni.  Surakarta:  tidak diterbitkan.

Narasumber: R.Ay. Indrohadiningrat untuk gelar Susuhunan.

Kasultanan:
Koesworo, F.X.  2007.  Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.  Artikel dalam Majalah Kerabat No. 14 Tahun II November 2007 hlm. 23.
Purwosemantri, R.L. 2011.  Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat: Sujarah Sarta Sawatawis Pranatan Lampah Budaya Adat.  Yogyakarta: tidak diterbitkan.

Narasumber: K.R.T. Kusumo Bodrowono (Pengageng II Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat) tentang aturan gelar kepangkatan di Keraton Jogja.

Mangkunagaran:
Poncowolo, K.R.Ay. Hilmiyah Darmawan.  1996.  Makam-Makam Dan Sejarah Singkat Kerabat Besar Mangkunagaran.  Surakarta: tidak diterbitkan
Soemahatmaka, R.M.Ng.  1973.  Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara I Hing Soerakarta Hadiningrat.  Mangkunagaran: tidak diterbitkan.

Narasumber: K.R.M.H. Djatmiko Hamidjojo Santoso (cucu K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII) tentang aturan gelar bagi keturunan Mangkunagaran secara umum.
K.P.H. Soelarso Basarah Soerjosoejarso (buyut K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V dan K.G.P.A.A. Paku Alam VI) tentang aturan gelar bagi keturunan Mangkunagaran dan Pakualaman secara umum.

Pakualaman:
Cakrasumarta, H. R.M. dan R.P. Himadigdaya.  tt.  Silsilah Keluarga Paku Alam Sejak Paku Alam I Sampai Paku Alam VIII.  Yogyakarta: Yayasan Notokusumo.

Narasumber:  R. Ribbi Mahmud Ahmad (Trah Paku Alam I dan II) tentang aturan gelar di Pakualaman secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar