Kasunanan Surakarta
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian. Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya. |
Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat | ||||||
|
||||||
|
||||||
Wilayah Kasunanan Surakarta pada 1830 (berwarna merah tua dan berada di sebelah utara)
|
||||||
Ibu kota | Kota Surakarta | |||||
Bahasa | Jawa | |||||
Agama | mayoritas Islam | |||||
Pemerintahan | Monarki | |||||
Susuhunan (Sunan) | ||||||
- | 1745-1749; t. 1726 | SISKS Pakubuwana II | ||||
- | 1945-1946 (status diturunkan); w. 2004 | SISKS Pakubuwana XII | ||||
- | 2004-Sekarang | SISKS Pakubuwana XIII | ||||
Sejarah | ||||||
- | Hadeging Nagari Surakarta (berdiri) | 1745 | ||||
- | Pendirian Daerah Istimewa Surakarta | Agustus 1945 | ||||
- | Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 (pembekuan) | 16 Juni 1946 |
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Daftar isi
Latar belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa keping emas[1] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Perkembangan
Naskah Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua.
Pendopo Kepatihan pada tahun 1890.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Pakubuwana IV
Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.Pakubuwana V dan VI
SISKS Pakubuwana VI.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.Pakubuwana VIII dan IX
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.Pakubuwana X
SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas dan putri, GKR Pembajoen.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Pakubuwana XI
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.Masa Perjuangan Kemerdekaan
Pakubuwana XII
SISKS Pakubuwana XII.
Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. [2]
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi[3].
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Era Indonesia
KGPHPA Tejowulan mencium tangan kakaknya, SISKS Pakubuwana XIII, sesaat sebelum prosesi Kirab Tingalandalem Jumenengan, 17 Juni 2012.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.
Sepeninggal Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; dua-duanya mengklaim pemangku tahta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar SISKS Pakubuwana XIII.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar