Wangsa Oranje dan Monarki di Belanda
Dua abad sudah dinasti Oranje bertahta di negeri bekas penjajah.
Jum'at, 3 Mei 2013
VIVAnews -
Tahun 2013 ini, ketika Belanda memperingati 200 tahun monarki,
berlangsung pelantikan raja baru di negeri kincir angin. Dua abad sudah
dinasti Oranje bertahta di negeri bekas penjajah, tapi ternyata selalu
saja menghadapi masalah.
Ada satu alasan menarik yang dikemukakan oleh Ratu Beatrix Senin malam 28 Januari itu tentang mengapa dia memutuskan untuk berabdikasi, mundur dari tahta kerajaan Belanda. “Pada akhir tahun ini kita akan memperingati 200 tahun silam negeri kita menjadi sebuah kerajaan,” demikian Sri Baginda Ratu yang sekarang sudah bergelar “putri”.
Memang begitulah: tahun ini genap 200 tahun Belanda menganut sistem monarki. Sebelum itu, misalnya pada zaman VOC, Belanda masih merupakan republik. Bekas penjajah ini memang aneh, seperempat abad setelah Prancis menjatuhkan monarki lewat Revolusi Bastille 14 Juli 1789, Belanda malah merangkul raja dan membuang republik. Tapi harus diakui itu sebenarnya juga gara-gara Konperensi Wina tahun 1813 yang menetapkan Belanda harus menjadi satu kerajaan bersama Belgia dengan Willem I sebagai rajanya. Rakyat Belanda menerima keputusan ini, karena di Prancis mereka melihat republik malah mendatangkan gejolak. Monarki dianggap lebih menjamin stabilitas, ketenangan, dan kesinambungan.
Perubahan itu terjadi tepat dua abad silam. Waktu itu Belanda masih punya apa yang disebut overzeese gebiedsdelen (wilayah seberang lautan), bukan hanya di Hindia Barat (sekarang Karibia), tetapi juga di Hindia Timur (sekarang Indonesia).
Dalam 200 tahun itu ternyata seorang raja Belanda selalu menghadapi dua masalah besar. Pertama kekuasaannya yang terus saja berkurang dan kedua wilayahnya yang juga terus menyusut. Seorang raja atau ratu Belanda selalu akan harus berurusan dengan salah satunya.
Baiklah kita lihat satu per satu enam raja yang pernah berkuasa; persisnya tiga raja dan tiga ratu. Willem-Alexander yang dilantik pada tanggal 30 April 2013 itu merupakan raja ketujuh.
Raja pertama, seperti disebut tadi, adalah Willem I yang berkuasa atas Belanda, Belgia dan tentunya atas wilayah koloni di Hindia Barat maupun Hindia Timur. Tapi segera dia menghadapi dua pemberontakan. Pertama pemberontakan Belgia yang tidak sudi diperintah oleh Den Haag. Akibatnya Belgia merdeka tahun 1830, kira-kira seperti Timor Timur yang keluar dari NKRI pada 1999. Ini nyaris menyebabkan Belanda bangkrut, karena waktu itu Belgia merupakan pusat industri. Kebangkrutan bisa dihindari berkat jajahan di Nusantara.
Di Jawa sementara itu juga pecah apa yang disebut Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Diponegoro. Inilah pemberontakan kedua dalam masa pemerintahan Willem I. Dengan tipu muslihat Diponegoro ditangkap dan terhadap Jawa diberlakukan Tanam Paksa untuk mengisi kas negeri induk yang nyaris kosong karena Belgia cabut.
Pengambilalihan hasil pertanian dari Jawa merupakan urusan Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM) atau perusahaan dagang Nederland yang sudah didirikan oleh Willem I tahun 1824. Dan memang NHM menjadi besar berkat Tanam Paksa yang oleh orang Belanda selalu dihaluskan sebagai cultuurstelsel atau sistem budidaya, sehingga unsur paksaannya tidak kentara.
Kehilangan Belgia ini merupakan pukulan hebat bagi Willem I. Upayanya mengembalikan wilayah selatan tidak pernah berhasil, walaupun dia sudah melobi adikuasa Eropa dan mengerahkan pasukan ke perbatasan dengan Belgia sampai 10 tahun. Prancis ternyata lebih suka Belgia merdeka. Dihantam trauma, Willem memutuskan abdikasi, mundur dari tahta. Itu terjadi pada tahun 1840, seperempat abad lebih setelah dia naik tahta.
Penggantinya, Willem II, tidak menghadapi masalah wilayah. Tapi dia harus berurusan dengan UUD baru yang sangat membatasi kekuasaannya. Raja hanya merupakan kepala negara, bukan kepala kabinet, sehingga dia tidak punya wewenang politik lagi. Keputusan politik hanya urusan politisi, sebagai menteri dalam kabinet. Politisi itu pada gilirannya dipilih oleh rakyat melalui pemilu dan mereka harus merupakan anggota De Tweede Kamer, parlemen Belanda.
Willem II yang semula dikenal sangat konservatif, ternyata menerima pembatasan ini, mungkin karena dia melihat banyaknya kepala bermahkota di Eropa yang kehilangan tahta. Dia bersedia menjadi monarki konstitusional, praktis dalam semalam karena mau diyakinkan oleh Johan Rudolph Thorbecke, penyusun UUD itu. Tapi kesehatannya lemah, dia tutup usia tahun 1849, akibat jatuh dari tangga, sembilan tahun setelah bertahta dan setahun setelah konstitusi baru.
Willem III berusaha membalik keputusan ayahnya menerima UUD baru yang menetapkan raja sebagai monarki konstitusional. Sudah sejak diusulkan, Willem III tidak setuju dengan konstitusi baru yang dianggapnya cuma memperkecil kekuasaan raja. Tapi upayanya tidak pernah berhasil, juga karena dia dilihat sebagai raja paling lemah sejauh ini. Bagi orang Belanda 20 tahun pemerintahan Willem III laksana perang gerilya antara raja dengan parlemen.
Zaman yang makin modern, makin sulit menerima raja dengan kekuasaan absolut. Karena itu gagasan monarki konstitusional makin tertanam dalam tradisi politik Belanda. Prinsipnya: raja tidak dapat diganggu gugat, para menterilah yang bertanggung jawab.
Willem III digantikan oleh Wilhelmina yang tidak lagi menghadapi masalah pembatasan kekuasaan, melainkan masalah wilayah. Semula, pada zaman ayahnya, diupayakan perluasan wilayah Hindia dengan mulai menaklukkan apa yang disebut buitengewesten (wilayah luar Jawa). Aceh yang mulai diperangi pada tahun 1873 akhirnya dikuasai pada 1914. Demikian pula Bali. Tapi justru di bawah Wilhelmina Indonesia merdeka.
Akibat Perang Dunia Kedua (Belanda diduduki Nazi Jerman dan Hindia Belanda diduduki Dai Nippon), kemerdekaan Indonesia berlangsung sepihak, tanpa didahului perundingan dengan Belanda. Belanda masih berupaya merebut kembali jajahan itu pada perang kemerdekaan yang berlangsung selama lima tahun, dari 1945-1949. Ketika tahu bahwa Belanda kalah dan akan kehilangan Indonesia, Wilhelmina patah arang. Dia berabdikasi tahun 1948, digantikan oleh putrinya: Juliana.
Julianalah yang menandatangani penyerahan kedaulatan (bagi kita pengakuan kedaulatan) pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana De Dam, Amsterdam. Pada pidatonya Juliana tampil sebagai seorang ratu yang berpendirian progresif dalam soal kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. “Niet langer staan wij gedeeltelijk tegenover elkander, wij zijn nu naast elkaar gaan staan ... onmeetbaar groot is de voldoening van een volk dat zijn vrijheid verwerkelijkt ziet.” Kira-kira berarti: “Kita tidak lagi berhadap-hadapan, kita sekarang sama-sama berdiri berdampingan ... adalah kepuasan yang tak terperikan bagi sebuah bangsa ketika melihat bahwa kemerdekaannya sekarang terwujud”.
Dan memang di bawah Juliana, Belanda masih kehilangan satu koloninya lagi: Suriname yang merdeka pada tahun 1975. Pada zaman itu pikiran kiri progresif bermekaran di Eropa, sehingga Den Haag yang berada di bawah perdana menteri Joop den Uyl dari para buruh PvdA, merasa malu punya koloni. Kalau Indonesia masih dihalang-halangi kemerdekaannya, justru Suriname disuruh cepat-cepat merdeka. Dan Juliana tidak keberatan kehilangan wilayah, walaupun dia bersumpah menjaga dan memelihara wilayah negerinya.
Beatrix yang menggantikan Juliana jelas tidak menghadapi masalah wilayah. Di zamannya banyak jajahan sudah merdeka, wilayah Belanda di Karibia tidak lagi diperlakukan sebagai jajahan, tetapi sebagai bagian kerajaan dengan pemerintahan dan parlemen sendiri. Beatrix justru menghadapi masalah kekuasaannya, apakah dia harus tetap dalam monarki konstitusional atau monarki seremonial.
Selama berkuasa, dari 1980 sampai 2013, Beatrix selalu berperan pada pembentukan kabinet. Dia selalu menentukan partai-partai mana yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Peran terbesarnya terlihat pada tahun 1990an, ketika Belanda diperintah oleh kabinet ungu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah tidak menyertakan partai kristen demokrat CDA.
Semula, partai buruh PvdA dan partai konservatif VVD sudah gagal berunding membentuk koalisi, tapi Beatrix menghendakinya, koalisi ungu itu harus ada. Maka lahirlah kabinet ungu di bawah Perdana Menteri Wim Kok yang berkuasa selama dua periode.
Pada dua kabinet terakhir, yaitu Kabinet Rutte I dan Rutte II, justru peran Beatrix disingkirkan sama sekali oleh politisi Belanda. Mereka tidak menghendaki ratu berperan dalam pembentukan kabinet. Perundingan pembentukan koalisi berlangsung tanpa secuilpun peran ratu. Inilah yang tampaknya menyebabkan Beatrix berkeputusan untuk berabdikasi. Ia emoh monarki seremonial.
Sekarang Belanda diperintah oleh Raja Willem-Alexander. Dalam wawancara menjelang penobatan dia sudah menyatakan tidak keberatan dengan sistem monarki seremonial, raja yang tidak punya peran politik sama sekali, asal semuanya berlangsung secara demokratis. Mungkin itulah bentuk monarki abad 21 ini, yang jelas itu sudah terjadi di Swedia.
Akhir tahun ini, di bawah raja baru, Belanda akan memperingati 200 tahun monarki. Seabad silam, nenek moyang kita di Hindia Belanda disuruh ikut merayakan 100 tahun monarki di Belanda. Tapi ada satu peristiwa besar yang waktu itu memusingkan Gubernur Jenderal Alexander Idenburg. Maklum Soewardi Soerjaningrat memprotes peringatan itu lewat pamfletnya yang berjudul “Als ik eens Nederlander was” (seandainya saja aku ini orang Belanda). Sebaliknya, bagi kita, itulah momentum penting dalam sejarah nasionalisme Indonesia.
)* Joss Wibisono adalah mantan wartawan senior Radio Nederland, bermukim di Belanda.
Ada satu alasan menarik yang dikemukakan oleh Ratu Beatrix Senin malam 28 Januari itu tentang mengapa dia memutuskan untuk berabdikasi, mundur dari tahta kerajaan Belanda. “Pada akhir tahun ini kita akan memperingati 200 tahun silam negeri kita menjadi sebuah kerajaan,” demikian Sri Baginda Ratu yang sekarang sudah bergelar “putri”.
Memang begitulah: tahun ini genap 200 tahun Belanda menganut sistem monarki. Sebelum itu, misalnya pada zaman VOC, Belanda masih merupakan republik. Bekas penjajah ini memang aneh, seperempat abad setelah Prancis menjatuhkan monarki lewat Revolusi Bastille 14 Juli 1789, Belanda malah merangkul raja dan membuang republik. Tapi harus diakui itu sebenarnya juga gara-gara Konperensi Wina tahun 1813 yang menetapkan Belanda harus menjadi satu kerajaan bersama Belgia dengan Willem I sebagai rajanya. Rakyat Belanda menerima keputusan ini, karena di Prancis mereka melihat republik malah mendatangkan gejolak. Monarki dianggap lebih menjamin stabilitas, ketenangan, dan kesinambungan.
Perubahan itu terjadi tepat dua abad silam. Waktu itu Belanda masih punya apa yang disebut overzeese gebiedsdelen (wilayah seberang lautan), bukan hanya di Hindia Barat (sekarang Karibia), tetapi juga di Hindia Timur (sekarang Indonesia).
Dalam 200 tahun itu ternyata seorang raja Belanda selalu menghadapi dua masalah besar. Pertama kekuasaannya yang terus saja berkurang dan kedua wilayahnya yang juga terus menyusut. Seorang raja atau ratu Belanda selalu akan harus berurusan dengan salah satunya.
Baiklah kita lihat satu per satu enam raja yang pernah berkuasa; persisnya tiga raja dan tiga ratu. Willem-Alexander yang dilantik pada tanggal 30 April 2013 itu merupakan raja ketujuh.
Raja pertama, seperti disebut tadi, adalah Willem I yang berkuasa atas Belanda, Belgia dan tentunya atas wilayah koloni di Hindia Barat maupun Hindia Timur. Tapi segera dia menghadapi dua pemberontakan. Pertama pemberontakan Belgia yang tidak sudi diperintah oleh Den Haag. Akibatnya Belgia merdeka tahun 1830, kira-kira seperti Timor Timur yang keluar dari NKRI pada 1999. Ini nyaris menyebabkan Belanda bangkrut, karena waktu itu Belgia merupakan pusat industri. Kebangkrutan bisa dihindari berkat jajahan di Nusantara.
Di Jawa sementara itu juga pecah apa yang disebut Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Diponegoro. Inilah pemberontakan kedua dalam masa pemerintahan Willem I. Dengan tipu muslihat Diponegoro ditangkap dan terhadap Jawa diberlakukan Tanam Paksa untuk mengisi kas negeri induk yang nyaris kosong karena Belgia cabut.
Pengambilalihan hasil pertanian dari Jawa merupakan urusan Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM) atau perusahaan dagang Nederland yang sudah didirikan oleh Willem I tahun 1824. Dan memang NHM menjadi besar berkat Tanam Paksa yang oleh orang Belanda selalu dihaluskan sebagai cultuurstelsel atau sistem budidaya, sehingga unsur paksaannya tidak kentara.
Kehilangan Belgia ini merupakan pukulan hebat bagi Willem I. Upayanya mengembalikan wilayah selatan tidak pernah berhasil, walaupun dia sudah melobi adikuasa Eropa dan mengerahkan pasukan ke perbatasan dengan Belgia sampai 10 tahun. Prancis ternyata lebih suka Belgia merdeka. Dihantam trauma, Willem memutuskan abdikasi, mundur dari tahta. Itu terjadi pada tahun 1840, seperempat abad lebih setelah dia naik tahta.
Penggantinya, Willem II, tidak menghadapi masalah wilayah. Tapi dia harus berurusan dengan UUD baru yang sangat membatasi kekuasaannya. Raja hanya merupakan kepala negara, bukan kepala kabinet, sehingga dia tidak punya wewenang politik lagi. Keputusan politik hanya urusan politisi, sebagai menteri dalam kabinet. Politisi itu pada gilirannya dipilih oleh rakyat melalui pemilu dan mereka harus merupakan anggota De Tweede Kamer, parlemen Belanda.
Willem II yang semula dikenal sangat konservatif, ternyata menerima pembatasan ini, mungkin karena dia melihat banyaknya kepala bermahkota di Eropa yang kehilangan tahta. Dia bersedia menjadi monarki konstitusional, praktis dalam semalam karena mau diyakinkan oleh Johan Rudolph Thorbecke, penyusun UUD itu. Tapi kesehatannya lemah, dia tutup usia tahun 1849, akibat jatuh dari tangga, sembilan tahun setelah bertahta dan setahun setelah konstitusi baru.
Willem III berusaha membalik keputusan ayahnya menerima UUD baru yang menetapkan raja sebagai monarki konstitusional. Sudah sejak diusulkan, Willem III tidak setuju dengan konstitusi baru yang dianggapnya cuma memperkecil kekuasaan raja. Tapi upayanya tidak pernah berhasil, juga karena dia dilihat sebagai raja paling lemah sejauh ini. Bagi orang Belanda 20 tahun pemerintahan Willem III laksana perang gerilya antara raja dengan parlemen.
Zaman yang makin modern, makin sulit menerima raja dengan kekuasaan absolut. Karena itu gagasan monarki konstitusional makin tertanam dalam tradisi politik Belanda. Prinsipnya: raja tidak dapat diganggu gugat, para menterilah yang bertanggung jawab.
Willem III digantikan oleh Wilhelmina yang tidak lagi menghadapi masalah pembatasan kekuasaan, melainkan masalah wilayah. Semula, pada zaman ayahnya, diupayakan perluasan wilayah Hindia dengan mulai menaklukkan apa yang disebut buitengewesten (wilayah luar Jawa). Aceh yang mulai diperangi pada tahun 1873 akhirnya dikuasai pada 1914. Demikian pula Bali. Tapi justru di bawah Wilhelmina Indonesia merdeka.
Akibat Perang Dunia Kedua (Belanda diduduki Nazi Jerman dan Hindia Belanda diduduki Dai Nippon), kemerdekaan Indonesia berlangsung sepihak, tanpa didahului perundingan dengan Belanda. Belanda masih berupaya merebut kembali jajahan itu pada perang kemerdekaan yang berlangsung selama lima tahun, dari 1945-1949. Ketika tahu bahwa Belanda kalah dan akan kehilangan Indonesia, Wilhelmina patah arang. Dia berabdikasi tahun 1948, digantikan oleh putrinya: Juliana.
Julianalah yang menandatangani penyerahan kedaulatan (bagi kita pengakuan kedaulatan) pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana De Dam, Amsterdam. Pada pidatonya Juliana tampil sebagai seorang ratu yang berpendirian progresif dalam soal kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. “Niet langer staan wij gedeeltelijk tegenover elkander, wij zijn nu naast elkaar gaan staan ... onmeetbaar groot is de voldoening van een volk dat zijn vrijheid verwerkelijkt ziet.” Kira-kira berarti: “Kita tidak lagi berhadap-hadapan, kita sekarang sama-sama berdiri berdampingan ... adalah kepuasan yang tak terperikan bagi sebuah bangsa ketika melihat bahwa kemerdekaannya sekarang terwujud”.
Dan memang di bawah Juliana, Belanda masih kehilangan satu koloninya lagi: Suriname yang merdeka pada tahun 1975. Pada zaman itu pikiran kiri progresif bermekaran di Eropa, sehingga Den Haag yang berada di bawah perdana menteri Joop den Uyl dari para buruh PvdA, merasa malu punya koloni. Kalau Indonesia masih dihalang-halangi kemerdekaannya, justru Suriname disuruh cepat-cepat merdeka. Dan Juliana tidak keberatan kehilangan wilayah, walaupun dia bersumpah menjaga dan memelihara wilayah negerinya.
Beatrix yang menggantikan Juliana jelas tidak menghadapi masalah wilayah. Di zamannya banyak jajahan sudah merdeka, wilayah Belanda di Karibia tidak lagi diperlakukan sebagai jajahan, tetapi sebagai bagian kerajaan dengan pemerintahan dan parlemen sendiri. Beatrix justru menghadapi masalah kekuasaannya, apakah dia harus tetap dalam monarki konstitusional atau monarki seremonial.
Selama berkuasa, dari 1980 sampai 2013, Beatrix selalu berperan pada pembentukan kabinet. Dia selalu menentukan partai-partai mana yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Peran terbesarnya terlihat pada tahun 1990an, ketika Belanda diperintah oleh kabinet ungu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah tidak menyertakan partai kristen demokrat CDA.
Semula, partai buruh PvdA dan partai konservatif VVD sudah gagal berunding membentuk koalisi, tapi Beatrix menghendakinya, koalisi ungu itu harus ada. Maka lahirlah kabinet ungu di bawah Perdana Menteri Wim Kok yang berkuasa selama dua periode.
Pada dua kabinet terakhir, yaitu Kabinet Rutte I dan Rutte II, justru peran Beatrix disingkirkan sama sekali oleh politisi Belanda. Mereka tidak menghendaki ratu berperan dalam pembentukan kabinet. Perundingan pembentukan koalisi berlangsung tanpa secuilpun peran ratu. Inilah yang tampaknya menyebabkan Beatrix berkeputusan untuk berabdikasi. Ia emoh monarki seremonial.
Sekarang Belanda diperintah oleh Raja Willem-Alexander. Dalam wawancara menjelang penobatan dia sudah menyatakan tidak keberatan dengan sistem monarki seremonial, raja yang tidak punya peran politik sama sekali, asal semuanya berlangsung secara demokratis. Mungkin itulah bentuk monarki abad 21 ini, yang jelas itu sudah terjadi di Swedia.
Akhir tahun ini, di bawah raja baru, Belanda akan memperingati 200 tahun monarki. Seabad silam, nenek moyang kita di Hindia Belanda disuruh ikut merayakan 100 tahun monarki di Belanda. Tapi ada satu peristiwa besar yang waktu itu memusingkan Gubernur Jenderal Alexander Idenburg. Maklum Soewardi Soerjaningrat memprotes peringatan itu lewat pamfletnya yang berjudul “Als ik eens Nederlander was” (seandainya saja aku ini orang Belanda). Sebaliknya, bagi kita, itulah momentum penting dalam sejarah nasionalisme Indonesia.
)* Joss Wibisono adalah mantan wartawan senior Radio Nederland, bermukim di Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar