Senin, 19 Januari 2015

Makalah Sistem Monarki Keraton Yogyakarta Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


SISTEM MONARKI KERATON YOGYAKARTA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
            Indonesia merupakan masyarakat multicultural hal ini terlihat salah satunya dari banyaknya suku yang ada di Indonesia. Salah satu suku yang Indonesia dan dilihat paling dominan adalah suku Jawa. Masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan yang dijalankan warganya sesuai dengan norma yang berlaku. Dalam masyarakat jawa yang merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas yakni masyarakat Indonesia juga mempunyai  struktur yang sangat kompleks. struktur social dalam masyrakat jawa dapat dilihat dari bagaimana masyarakat tetap menjaga kebudayaan Jawa meskipun arus perubahan semakin gencar mengepung. Dan hal ini dapat dilihat salah satunya di DIY Yogyakarta dimana di sana terdapat Keraton Ngayogyakato Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. di Kraton ini terdapat masyarakat pendukung keraton yang mempunyai tugas di masa kini sebagai pelestari budaya Jawa.
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.
Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan terutama bagi Mahasiswa untuk mengetahui secara lebih dalam lagi mengenai Keraton Yogyakarta. Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben).
Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain terdapat pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.
1.2         Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Keraton Yogyakarta secara lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)?
2.    Bagimana susunan Sultan Keraton Yogyakarta?
3.    Bagaimana sistem pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta?
4.    Bagaimana sistem pemerintahan Yogyakarta dalam bingkai NKRI?
1.3         Tujuan
1.    Untuk mengetahui Keraton Yogyakarta secara lebih dalam (sejarah, wilayah, penduduk, perekonomian, kebudayaan, dan kepercayaan di lingkungan Keraton Yogyakarta)
2.    Bagimana susunan Sultan di Keraton Yogyakarta
3.    Untuk mengetahui sistem pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta
4.    Untuk mengetahui sistem pemerintahan Yogyakarta dalam bingkai NKRI?


BAB II
ISI
2.1     Keraton Yogyakarta
A.         Sejarah Singkat Keraton Yogyakarta
          Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
          Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Selanjutnya secara turun-temurun para keturunannya memerintah kesultanan di sana dan untuk membedakan antara sultan yang satu dengan yang lainnya maka di belakang gelar Sultan Hamengkubuwono ditambah dengan huruf romawi untuk menunjukan yang sedang bertahta.
          Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]
          Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
          Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
No.
Nama
Dari
Sampai
Ket
1.
2.
akhir 1810
periode pertama
3.
akhir 1810
akhir 1811
periode pertama  

akhir 1811
periode kedua

periode kedua  
4.
5.
periode pertama

periode ketiga

periode kedua
6.
7.
8.
9.
10.
sekarang
   
C.          Wilayah
          Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
1.    Nagari Ngayogyakarta meliputi:
(1)      Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2)      Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
2.    Nagara Agung meliputi:
1)        Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
2)        Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
3)        Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
4)        Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
5)        Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
D.           Penduduk
          Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
          Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
          Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
E.            Hukum dan Peradilan
          Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
1.     Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
2.     Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
3.     Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
4.     Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
          Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng
          Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
F.            Ekonomi dan Agraria
          Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
          Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
          Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah di tahun 1839 meningkat menjadi 53 di tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
          Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
G.           Kebudayaan, Pendidikan, dan Kepercayaan
            Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
          Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
          Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
          Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
          Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
          Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
H.           Pertahanan dan Keamanan
          Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
          Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
          Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro di tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.
2.2     Sistem Pemerintahan Monarki Keraton Yogyakarta
          Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.
          Pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan.
1.    Kementerian urusan dalam adalah:
1)        Kanayakan Keparak Kiwo, dan
2)        Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
3)        Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
4)        Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
2.    Kementerian urusan luar adalah
1)    Kanayakan Siti Sewu, dan
2)        Kanayakan Bumijo,
     yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
3)     Kanayakan Panumping, dan
4)     Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
          Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
          Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam.
          Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
          Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
          Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati.
2.3     Sistem Monarki Keraton Yogyakarta dalam Bingkai NKRI
Sistem Pemerintahan yang ada di Yogyakarta selama kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir memang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur dan Puro Paku Alaman sebagai Wakil Gubernur. Hal tersebut memang dianggap sebagai salah satu perwujudan nilai-nilai dari keistimewaan yang ada di Yogyakarta. Istimewanya  Yogyakarta bukanlah hal yang sifatnya datang begitu saja tanpa adanya sesuatu yang terjadi dimasa lalu. Yogyakarta punya sejarah yang berbeda dengan daerah-daerah lain ketika akan berintegrasi kedalam Republik Indonesia. Jika kita mau mengkaji sejarah, Yogayakarta terintegrasi kedalam Republik Indonesia adalah melalui Maklumat 5 September 1945.
Maklumat yang sifatnya sangat sakral tersebut telah memposisikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam maklumat tersebut, memang dengan jelas dikatakan bahwa  Yogyakarta adalah bersifat kerajaan dan berstatus istimewa.
Namun dalam perkembangannya memang masih tetap bersifat kerajaan, tetapi implementasi pemerintahan yang dibangun tidaklah bersifat kerajaan. Keraton Yogyakarta sendiri telah merubah atau mereformasi diri dalam hal mengimplementasikan sistem pemerintahan yang menuju modernisasi, tapi tidak meninggalakan kearifan atau budaya lokal yang sudah ada dan berkembang.  
Seperti yang kita ketahui secara bersama, praktek Monarki adalah Pemerintahan dimana kekuasaan berada dalam satu tangan dan tidak ada pembagian kekuasaan. Jika kita mengacu pada kondisi yang ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada pada satu tangan. Kekuasaan yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada dalam kontrol tangan Sultan sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas dimana sejak masa awal-awal kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga legislatif. Bahkan sudah menganut adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
Jika konsep trias politica tersebut ditarik kedalam sistem yang berlaku di  Yogyakarta sudahlah ada dan selama ini telah dijalankan. Pemegang kekuasaan ditingkat eksekutif dipegang oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sultan secara sah dan meyakinkan telah diangkat dan diperpanjang masa jabatannya sebagai Gubernur di Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86/P Tahun 2008 tertanggal 7 Oktober 2008.
Dalam melakukan atau menjalankan Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya monarki. Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga  Yogyakarta, tidak menerapkan adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa lampau, Sultan kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan ada kebebasan bagi rakyat untuk bersuara.
Sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam membuat peraturan-peraturan daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu juga dapat kita lihat dari Perda-perda yang ada di  Yogyakarta, misalnya soal Perda Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didalamnya terlihat jelas bahwa Perda dibuat atas persetujuan bersama Sultan sebagai Gubernur dengan DPRD.
Sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga mengimplementasikan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya sesuai dengan UU yang berlaku di Republik ini. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2) mewajibkan setiap kepala daerah untuk memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD.
Hal ini juga kerap kali dilakukan Sultan sebagai Gubernur dan tidak ada bedanya dengan Gubernur-gubernur lain yang ada di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sultan selalu memberikan laporan pertanggungjawabannya kepada rakyatnya yang dalam hal ini direpresentasikan oleh DPRD DIY.
Selain adanya lembaga eksekutif yang sifatnya menjalankan Pemerintahan, di  Yogyakarta juga terdapat lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Lembaga legislatif yang sifatnya merupakan representasi rakyat dan dipilih langsung oleh rakyat unruk mengawal pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur dalam hal ini Sultan HB X. Tugas dan wewenang dari DPRD ialah: Membentuk Peraturan Daerah Provinsi yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, menetapkan APBD Provinsi bersama dengan Gubernur, Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi, meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD DIY tersebut selalu dijalankan dengan baik oleh DPRD sesuai dengan iklim demokrasi. Sebagai contoh, dalam hal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-DIY) dibahas oleh DPRD bersama pemerintah provinsi yang kemudian mendapat  persetujuan bersama.
Dengan demikian bahwa DPRD telah menjalankan sebagian tugas dan wewenangnya sebagai wakil rakyat. Provinsi DIY juga memiliki lembaga yang sifatnya kehakiman atau lebih dikenal sebagai lembaga yudikatif. Sebagai perwujudan pilar demokrasi, DIY memiliki Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Agama yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkaitan hukum diwilayah atau daerahnya.
Sejarah juga mencatat, puluhan tahun sebelum lembaga yang kini dikenal sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD) diperkenalkan, Yogyakarta telah mempeloporinya terlebih dahulu. Di Yogyakartalah, lembaga legislatif di tingkat paling bawah ini dijumpai untuk pertama kali jauh sebelum ide ini diakomodasi melalui UU No. 22 tahun 1999. Selain itu juga tercatat bahwa  Sultan HB IX mempelopori dan berinisiatif mendirikan Komite Nasional Indonesia di daerah (KNI) sebagai lembaga legislatif bahkan sebelum regulasi nasional (UU No. 1 tahun 1945) dikeluarkan yang menjadikannya sebagai lembaga legislatif daerah yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1946 Sultan Hamengku Buwono IX bekerjasama dengan Badan Pekerja KNI membentuk Dewan Perwakilan di setiap Kabupaten dan Kota  Yogyakarta yang berfungsi sebagai Badan Legislatif.
.
BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Praktik pemerintahan monarki di Keraton Yogyakarta sepenuhnya hanya berlaku dan dilaksanakan di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta berlaku pemerintahan yang dilaksanakan sesuai dengan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan Hamengkubuwono X juga sebagai Raja hanya dalam lingkungan Keraton Yogyakarta saja di luar Keraton Yogyakarta beliau sebagai Gubernur Yogyakarta yang mempunyai peran serta kedudukan yang sama dengan Gubernur lainya yang ada di wilayah NKRI.
Kondisi yang ada di Yogyakarta saat ini, kekuasaan tidak berada pada satu tangan. Kekuasaan yang ada di Yogyakarta sifatnya tidaklah berada dalam kontrol tangan Sultan sendiri dan hal tersebut sudah dijelaskan diatas dimana sejak masa awal-awal kemerdekaan Yogyakarta sudah punya lembaga legislatif. Bahkan sudah menganut adanya pemisahan kekuasaan atau konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
Dalam melakukan atau menjalankan Pemerintahan, Sultan tidaklah memposisikan dirinya sebagai seorang Raja yang punya kuasa tanpa batas seperti halnya dalam Pemerintahan yang sifatnya monarki. Sultan tidaklah membatasi hak-hak dari warga  Yogyakarta, tidak menerapkan adanya upeti bagi rakyatnya layaknya kerajaan-kerajaan dimasa lampau, Sultan kerap membuka ruang-ruang bagi rakyatnya (pisowanan ageng) dan ada kebebasan bagi rakyat untuk bersuara.
Dalam membuat peraturan-peraturan daerah (Perda), Sultan selalu bersama-sama dengan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga selalu memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD yang sesuai dengan UU yang berlaku di NKRI yaitu UU No. 32 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2).
3.2     Saran
          Saran dari kami ditujukan kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat dapat menjaga dan melestarikan keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan bekas peninggalan sejarah yang sangat berharga. Selain daripada itu juga agar pemerintah lebih memperkenalkan Keraton Yogyakarta khususnya kepada masyarakat Indonesia dan umumnya kepada mancanegara karena merupakan objek wisata pariwisata Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar