Senin, 19 Januari 2015

 

Pakualaman Awalnya untuk Memecah Belah Kasultanan

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Kanjeng Pangeran Haryo Tjondrokusumo, Ketua Panitia Peringan Dwi Abad Puro Pakualaman, menyatakan, awalnya memang ada maksud dari Inggris untuk memecah belah Keraton Yogyakarta. Berawal dari perjanjian Tuntang pada 18 September 1811, muncullah kekuasaan di dalam kekuasaan.
Pada tanggal 22 Juni 1812, Pengeran Notokusumo oleh Raffles diangkat sebagai pangeran merdiko, pangeran yang merdeka di dalam Keraton Yogyakarta, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.
Pangeran Notokusumo adalah trah Keraton Yogyakarta, yaitu putra dari Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I (Sultan HB I). Ia putra terkasih, dan itu yang direlakan oleh HB I untuk dijadikan adipati di Puro Pakualaman.
Kadipaten Pakualaman memang diberi wilayah kekuasaan yang diambilkan dari wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta, yaitu di wilayah Kulonprogo.
Selain Puro Pakualaman diberi kekuasaan turun-temurun, Kadipaten Pakualaman juga diberi hak untuk membentuk tentara atau prajurit.
Awalnya, pengambilan kekuasaan Keraton Yogyakarta ini memang politik memecah belah (devide et impera) dan dirasa sangat menyakitkan. Namun dalam perjalanan waktu, pihak Keraton Yogyakarta tidak memandang lagi itu sebuah perpecahan karena adanya komitmen untuk menyatukan Dinasti Mataram.
Puncak dari Komitmen Keraton itu adalah munculnya tokoh dari Kesultanan Yogyakarta, yaitu Sultan Hamengku Bowono IX, dengan tokoh dari Puro Pakualaman Paku Alam VIII, pada era-era sebelum kemerdekaan.
Bahkan, sesaat setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, dua tokoh berkuasa ini dengan tegas mendukung dan berada di belakang Republik Indonesia (RI). Pernyataan dukungan itu secara otentik dinyatakan dalam Amanat 5 September 1945.
Pernyataan itu dibalas oleh Presiden Soekarno yang mengukuhkan Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan HB IX) dan Paku Alam VIII sebagai penguasa pemerintahan Yogyakarta, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Komitmen dwi tunggal penguasa Yogyakarta itu berlanjut ketika pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 sampai 29 Desember 1949. Presiden Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta, sempat tinggal di Puro Pakualaman untuk menunggu selesainya pembangunan Gedung Agung yang sampai sekarang menjadi Istana Kepresidenan.
Sultan HB IX juga memberikan biaya untuk jalannya pemerintahan RI. Perjuangan itu sampai turun-temurun, sampai jauh setelah kemerdekaan. Sultan HB X yang menggantikan ayahnya, Sultan HB IX, pada tahun 1998,  bersama Paku Alam VIII, menyampaikan maklumat di alun-alun utara Yogyakarta.
Maklumat yang dibacakan di depan puluhan ribu masyarakat Yogyakarta itu isinya melakukan reformasi menegakkan hak asasi manusia, demokrasi, dan kedaulatan rakyat Indonesia. Karena itulah, kata Kanjeng Pangeran Haryo Tjondrokusumo, sudah selayaknya jika dua abad Pakualaman ini diperingati.
Leluhur Mataram
Menurut Kanjeng Pangeran Haryo Tjondrokusumo, urgensi peringatan yang berlangsung sejak 21 juni-25 Juni 2012 ini sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur Mataram yang telah membangun Kadipaten Pakualaman yang turut mewarnai pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di samping itu, kata Tjondrokusumo, serangkaian kegiatan yang digelar dalam peringatan ini merupakan upaya terus merevitalisasi nilai-nilai budaya yang dimiliki Puro Pakualaman sehingga dapat diapresiasi oleh masyarakat sekarang untuk dikembangkan menjadi karya yang sesuai kondisi sekarang.
Sekretaris Panitia Peringatan, Kanjeng Pangeran Haryo Kusumoparastho, menambahkan, peringatan ini juga menjadi momentum untuk membangun kebersamaan dan cipta kondisi masyarakat, untuk turut mengawal  pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan penetapan Sultan HB X dan Puku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejarah Pendirian Negeri Pakualaman, Kadipaten Pakualaman, Praja Pakualaman Tanggal 17 Maret 1813-1950

Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles [Gubernur Jendral Britania Raya yg memerintah saat itu] sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.
Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta. Paku Alaman juga dilengkapi dengan sebuah legiun tetapi tak pernah menjadi legiun tempur yg besar karena selanjutnya hanya berfungsi sebagai seremonial & pengawal pejabat Kadipaten. Kadipaten Pakualaman ialah negara dependen yg berbentuk kerajaan. Kedaulatan & kekuasaan pemerintahan negara diatur & dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yg dibuat oleh negara induk bersama-sama negara dependen. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yg dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kadipaten Pakualaman [bersama-sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat] diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perekonomian

Seperti banyak kerajaan di pulau Jawa pada umumnya, kegiatan perekonomian Negeri Pakualaman di dominasi dengan pertanian & sedikit perdagangan. Pernah tercatat negeri ini mempunyai beberapa pabrik gula di Kabupaten Adikarto.

Budaya

Negeri Pakualaman berusaha mengembangkan budaya yg mempunyai ciri berbeda dengan Kesultanan untuk menunjukkan independensi status pricipality-nya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari bentuk pakaian tradisional yg dikenakan. Pengembangan budaya ini dimulai sejak Pakualam II.

Sistem Pemerintahan Negeri Paku Alaman

Negeri Paku Alaman, Daerah Pakualaman, Praja Pakualaman, Kadipaten Pakualaman ialah nama resmi yg dipergunakan oleh monarki terkecil di Jawa Tengah bagian selatan. Monarki yg didirikan pada tahun 1813 itu berbentuk Monarki kepangeranan [Principality]. Pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman bersama-sama Residen/Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta. Status Pakualaman berganti-ganti seiring dengan perjalanan waktu. Pada 1813-1816 merupaken negara dependen dibawah Pemerintah Kerajaan Inggris India Timur [East Indian].
Selanjutnya tahun 1816-1942 merupaken negara dependen Kerajaan Nederland, dengan status Zelfbestuurende Landschappen Hindia Belanda. Dari 1942 sampai 1945 merupaken bagian dari Kekaisaran Jepang dengan status Kooti dibawah pengawasan Penguasa Militer Tentara XVI Angkatan Darat. Mulai tahun 1945 Negeri kecil ini bergabung & menjadi daerah Indonesia. Kemudian dengan Kasultanan Yogyakarta membentuk pemerintahan bersama sampai tahun 1950 saat secara resmi keduanya dijadikan sebuah daerah istimewa bukan lagi sebagai sebuah negara.

Pertahanan & Keamanan

Pertahanan secara umum dikendalikan oleh pihak Hindia Belanda. Kadipaten ini diperkenankan memelihara sepasukan kecil yg digunakan untuk memelihara keamanan & upacara kerajaan.

Nama Raja-raja Praja Pakualaman, Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta

  1. Paku Alam I [1813-1829]
  2. Paku Alam II [1829-1858]
  3. Paku Alam III [1858-1864]
  4. Paku Alam IV [1864-1878]
  5. Paku Alam V [1878-1900]
  6. Paku Alam VI [1901-1902]
  7. Paku Alam VII [1903-1938]
  8. Paku Alam VIII [1938-1998]
  9. Paku Alam IX [1998-sekarang]
kerajaan paku alam keraton pakualaman sejarah kadipaten keraton pakualam pakualaman jogja skrg ke berapa sejarah kerajaan paku alam raja paku alam pakualaman jogja berdirinya pakualaman terbentuknya pakualaman berdirinya paku alaman keraton pakualaman keraton pakualam keraton pakualaman keraton di yogyakarta pakualam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar